Pembangunan Dua Jembatan di Maluku Dibatalkan Kementerian PUPR
Kementerian PU membatalkan pembangunan dua jembatan di Pulau Seram, Maluku. Jembatan itu diperuntukan bagi sekitar 30.000 jiwa di sana. Warga sangat kecewa dengan pembatalan itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pembangunan dua unit jembatan di Pulau Seram, Maluku, yang sudah mulai dikerjakan, dibatalkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Padahal, jembatan itu sangat dibutuhkan oleh sekitar 30.000 jiwa penduduk di Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Timur. Masyarakat setempat sangat kecewa.
Demikian disampaikan Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi Maluku Anos Yeremias, lewat sambungan telepon, pada Kamis (11/3/2021) siang. Anos bersama rombongan DPRD Maluku menemukan kondisi itu ketika melakukan kenjungan kerja bersama rombongan selama beberapa hari terakhir.
Anos menuturkan, dua jembatan itu awalnya akan dibangun melintasi Sungai Waipulu di Kabupaten Maluku Tengah dan Sungai Arpunsa di Kabupaten Seram Bagian Timur. Panjang jembatan yang dibangun di atas dua sungai itu masing-masing lebih kurang 100 meter. Setiap proyek jembatan membutuhkan anggaran sekitar Rp 70 miliar.
”Padahal, menurut informasi yang kami dapatkan, anggaran sudah cair sekitar 14 persen. Banyak material sudah didrop, seperti tiang pancang pada Juni 2020. Namun, secara tiba-tiba Kementerian Pekerjaan Umum menghentikan pembangunan jembatan tersebut,” kata Anos.
Ia mengatakan, dua jembatan tersebut membantu kelancaran transportasi antara kedua kabupaten dengan jumlah warga yang terdampak lebih kurang 30.000 jiwa. Selain kedua jembatan itu, masih terdapat pula sejumlah ruas jalan yang perlu dibangun jembatan. ”Dua jembatan itu paling panjang dan sangat berisiko diseberangi,” kata Anos.
Dalam catatan Kompas selama dua kali mendatangi wilayah tersebut, terdapat belasan sungai yang tidak memiliki jembatan. Ketika musim hujan, kendaraan tidak bisa menyeberangi sungai. Jika nekat menyeberang, pengemudi harus menghitung kecepatan arus sungai.
Tidak jarang terjadi, kendaraan yang melewati jalur di selatan Pulau Seram itu terbawa arus sungai hingga ke laut. Banyak juga warga yang menjadi korbannya. Kondisi itu menjadi keresahan bagi warga selama bertahun-tahun. Mereka mendambakan adanya jembatan.
Anos pun mendesak pemerintah daerah untuk mempertanyakan alasan penghentian pembangunan jembatan itu kepada pemerintah pusat. ”Masyarakat sangat kecewa dengan penghentian ini. Padahal, saat tiang pancang didatangkan ke sungai itu, masyatakat sudah senang,” katanya.
Saleh Tianotak, tokoh pemuda Seram Bagian Timur, menuturkan, penghentian pembangunan jembatan itu semakin memperpanjang penderitaan warga di daerah itu. Perjalanan warga masih tetap terhambat. Itu paling sering dialami warga pada saat musim hujan mulai Mei hingga Agustus.
”Yang paling menyedihkan adalah ketika ada orang sakit. Mereka tidak bisa ke rumah sakit di kota dengan cepat sehingga banyak yang meninggal di jalan,” kata Saleh.
Di daerah itu minim fasilitas kesehatan. Tidak semua kecamatan memiliki puskesmas memadai dari sisi fasilitas dan tenaga medis.
Sementara itu, tokoh agama di Maluku Tengah, Pendeta Carlos Titahena, mengatakan, minimnya infrastruktur membuat perekonomian di daerah itu tidak bisa berkembang. Banyak komoditas petani tidak bisa dibawa ke kota untuk dijual. Ketiadaan jembatan menyebabkan waktu perjalanan lebih lambat 3 jam dibandingkan kondisi normal.
”Bahkan, pernah ada mobil yang mengangkut cengkeh dan pala hanyut saat menyeberangi sungai. Akibatnya, mereka terpaksa menjual kepada tengkulak di kampung-kampung dengan harga yang sangat murah. Kondisi ini membuat petani tetap miskin, padahal alamnya sangat kaya,” ucapnya.