Pandemi, Anggaran Pembasahan Gambut di Sumsel Terpotong
Di tahun 2021, anggaran pembasahan gambut di Sumsel yang semula Rp 12 miliar turun menjadi Rp 9 miliar. Sementara tahun 2020 dari alokasi awal sekitar Rp 12 miliar hanya terealisasi Rp 2,5 miliar.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Dalam dua tahun berturut-turut, anggaran untuk pembasahan lahan gambut di Sumatera Selatan terpotong cukup signifikan. Akibatnya, penanganan pembasahan gambut sangat terbatas dan difokuskan pada daerah yang rawan terbakar.
Kepala Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Sumatera Selatan Dharna Dahlan, Rabu (10/3/2021), menuturkan, akibat pandemi, anggaran untuk pembasahan lahan tahun 2021 menurun signifikan dari Rp 12 miliar menjadi Rp 9 miliar. Akibatnya, pembangunan hanya sebatas pembangunan sekat kanal. Meskipun begitu, pemotongan anggaran kali ini tidak setinggi tahun 2020. Saat itu dari alokasi awal sekitar Rp 12 miliar hanya terealisasi Rp 2,5 miliar.
Walau anggaran dikurangi, ujar Dharna, sejumlah langkah intervensi tetap berlangsung. Tahun ini TRGD Sumsel dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) berencana membangun sekat kanal di kawasan yang rawan terbakar. Pembangunan sekat kanal dilakukan hanya di dua kabupaten, yakni Musi Rawas Utara dan Musi Banyuasin, sebagai daerah gambut yang memang paling rawan terbakar.
Luas lahan gambut di Sumsel sekitar 1,27 juta hektar yang tersebar di Ogan Komering Ilir seluas 638.379 hektar, Banyuasin seluas 303.350 hektar, dan Musi Banyuasin seluas 254.050 hektar. Kemudian, di Musi Rawas Utara seluas 28.000 hektar, Muara Enim 21.860 hektar, Penukal Abab Lematang Ilir 19.771 hektar, dan Musi Rawas 4.977 hektar.
Karena anggaran terbatas, kawasan gambut yang diintervensi tidak akan seluas itu. Pemilihan kawasan yang perlu diintervensi didasarkan pengamatan lapangan secara spesifik.
Pembangunan sekat kanal dinilai paling efektif diterapkan tahun ini. Teknologi tersebut dinilai mampu membasahi gambut karena mampu menahan debit air agar tidak keluar dari kawasan gambut. ”Walaupun pada musim kemarau, air dipastikan tetap menurun, penurunannya tidak secepat di kawasan yang belum diintervensi,” kata Dharna.
Tahun 2020, lanjut Dharna, tidak ada kawasan gambut di Sumsel yang terbakar karena memang curah hujan yang tinggi. Namun, tahun ini semua pihak perlu waspada karena di awal tahun saja sudah terjadi kebakaran di lahan gambut dalam di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin.
Intervensi pemulihan gambut dibutuhkan karena kawasan itu rawan terbakar. Secara keseluruhan dana yang dikucurkan BRGM untuk rehabilitasi gambut di Sumsel sekitar Rp 23,3 miliar dengan sejumlah program intervensi seperti revegetasi kawasan gambut seluas 50 hektar di kawasan Sepucuk Ogan Komering Ilir dan revitalisasi di beberapa kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan gambut.
Sumsel akan memasuki musim kemarau pada dasarian ketiga Mei 2021. (Hartanto)
Kepala Stasiun Klimatologi Kelas 1 Palembang Hartanto menuturkan pembasahan lahan gambut perlu dilakukan sedini mungkin mengingat Sumsel akan memasuki musim kemarau pada dasarian ketiga Mei 2021. ”Untuk saat ini, kemungkinan lahan gambut masih tetap basah karena curah hujan masih tinggi, namun waspada mesti di tingkatkan di bulan April dan selanjutnya karena curah hujan sudah mulai menurun,” katanya.
Ketika Sumsel memasuki musim kemarau, ujar Hartanto, hari tanpa hujan (HTH) akan semakin panjang. Di awal musim kemarau HTH berkisar 5 hari-10 hari. Namun, pada masa puncak kemarau yang diperkirakan akan terjadi pada Agustus HTH akan mencapai 60 hari. ”Dengan begitu, lahan akan kering dan potensi lahan terbakar pun semakin meningkat,” ucapnya.
Sejak awal Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru sudah menekankan untuk memelihara gambut dan membiarkannya tetap basah walau di tengah musim kemarau. Caranya dengan membuat sumur bor, sekat kanal, dan embung. Pembasahan juga bisa dilakukan dengan cara teknologi modifikasi cuaca (TMC) berupa hujan buatan untuk membasahi lahan gambut yang rentan terbakar.
Herman menuturkan Sumsel memiliki lahan gambut yang cukup luas. Bahkan beberapa diantaranya merupakan kawasan gambut dalam dengan kedalaman hingga 28 meter.
Akibat degradasi alam, ujar Herman, gambut di Sumsel tidak bisa menahan air lebih lama sehingga saat kemarau tiba kondisinya akan kering. Gambut yang kering inilah yang membuat potensi kebakaran lahan meningkat. Ketika kawasan itu terbakar maka akan sulit dipadamkan.
Karena itu, menjelang musim kemarau, ujar Herman, menjaga kadar air di lahan gambut menjadi keharusan. ”Jangan sampai gambut menjadi kering. Kawasan tersebut tetap tergenang minimal 40 cm di atas permukaan gambut,” ucapnya.
Menurutnya, dengan membiarkan gambut tetap basah maka akan memperkecil potensi kebakaran hutan dan lahan. Karena itu, lanjut Herman, penting untuk mencari solusi permanen agar lahan gambut tidak mudah terbakar.