Kejari Purwokerto Usut Manipulasi Bantuan Kemenaker, Rp 470 Juta Disita
Kejari Purwokerto menyita uang Rp 470 juta. Diduga, terjadi penyalahgunaan bantuan dari Kementerian Tenaga Kerja untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Banyumas.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Kejaksaan Negeri Purwokerto mengusut dugaan kasus korupsi penyalahgunaan bantuan jaring pengaman sosial bidang ketenagakerjaan, khususnya peningkatan wirausaha baru di masa pandemi, dari Kementerian Tenaga Kerja. Petugas menyita uang Rp 470 juta, bagian dari keseluruhan bantuan Rp 1,92 miliar dari AM (26), yang diduga makelar proyek.
Dari pantauan Kompas, tim kejaksaan kembali ke kantor kejaksaan dengan 3 mobil sekitar pukul 22.30 dengan membawa 2 boks kontainer berisi dokumen.
”Jadi, sebenarnya total bantuan dari Ditjen Binapenta (Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja) Kemenaker ini untuk 48 kelompok dengan nilai total Rp 1,92 miliar. Setiap kelompok menerima Rp 40 juta,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Purwokerto Sunarwan, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (9/3/2021) tengah malam.
Sunarwan memaparkan, ketika uang dari pemerintah pusat ditransfer ke rekening tiap-tiap kelompok, setiap ketua kelompok kemudian mengambil atau mencairkan dana itu di Bank BRI. Saat para ketua kelompok mengambil ke BRI, di depan kantor BRI sudah menunggu seseorang.
”Kemudian semuanya diminta, total Rp 1,92 miliar. Sebenarnya bantuan ini untuk pemberdayaan masyarakat akibat Covid-19, ada yang dikenai PHK dan ada yang menganggur,” jelasnya.
Menurut Sunarwan, satu kelompok masyarakat terdampak Covid-19 itu beranggotakan 20 orang dan dana itu seharusnya dipakai, antara lain, untuk budidaya singkong atau pembibitan benih durian. Tujuan pemberian bantuan untuk memberdayakan kelompok tersebut supaya bisa mendirikan usaha mandiri.
Namun, pada praktiknya, uang dari 48 kelompok ini diambil oleh seseorang. ”Mungkin akan berkembang nantinya. Sisa total uang itu yang bisa ditemukan malam ini,” ungkap Sunarwan.
Sunarwan mengatakan, uang Rp 470 juta itu adalah sisa dari Rp 1,92 miliar yang telah dicairkan. Uang itu disita dari rumah AM (26) di Desa Sokawera, Cilongok. Adapun AM adalah orang yang meminta uang dari para ketua kelompok itu.
”Itu semua disita dari rumah AM. Karena baru diperiksa hari ini, jadi AM masih diperiksa sebagai saksi. Profesi AM kalau dari KTP itu swasta,” katanya.
Sunarwan memaparkan, 48 kelompok usaha mandiri itu ternyata dibentuk oleh satu orang saja, yaitu AM. Jadi, nama-nama kelompok ini, menurut Sunarwan, hanya dicatut saja. ”Setiap kelompok ini ada ketua kelompoknya dan mereka menyertakan KTP sehingga sesuai juknis (petunjuk teknis). Rekening itu dibukakan oleh pusat. Tapi, ternyata ini dikumpulkan ke satu orang,” tuturnya.
Meski demikian, Sunarwan belum bisa menyampaikan secara gamblang peran AM dalam kasus ini dan uang itu akan digunakan untuk apa atau siapa. Adapun uang Rp 1,45 miliar lainnya diduga telah disalahgunakan.
Dia menegaskan, tim Kejari Purwokerto mendalami hal tersebut. Namun, dia meyakini uang itu tidak digunakan untuk kepentingan kelompok, tapi untuk kepentingan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Padahal, tujuan pemerintah mengucurkan dana tersebut untuk memberdayakan masyarakat terdampak Covid-19.
Kejaksaan Negeri Purwokerto, kata Sunarwan, telah menangani kasus ini sejak tiga pekan lalu. Pada Selasa ini, ada tujuh orang yang diperiksa sebagai saksi. Lima orang adalah ketua kelompok dan dua orang berasal dari swasta, yaitu AM dan MT (37). Sunarwan menduga AM dan MT adalah broker atau makelar proyek. ”Nanti setelah ada dua alat bukti yang cukup, baru akan kami ekspose siapa yang bertanggung jawab,” katanya.
Selain menyita uang Rp 470 juta, Kejari Purwokerto juga menyita 38 stempel nama kelompok, 1 komputer berupa CPU dan monitor, segepok buku tabungan BRI, dan sejumlah telepon seluler.