Sumsel Tetapkan Status Siaga Darurat Karhutla, Langkah Pencegahan Jadi Prioritas
Sumsel sudah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan yang berlaku mulai 1 Maret sampai musim kemarau berakhir. Dengan status ini, pemerintah 10 daerah yang rawan terbakar dituntut untuk selalu waspada.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
INDRALAYA, KOMPAS — Sumsel sudah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan yang berlaku mulai 1 Maret sampai musim kemarau berakhir. Dengan status ini, pemerintah 10 daerah yang rawan terbakar dituntut untuk selalu waspada dengan menyiapkan sejumlah langkah antisipasi. BMKG memprediksi musim kemarau di Sumsel akan mulai terjadi pada dasarian III Mei 2021.
Hal ini disampaikan Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru ketika menghadiri Apel Kesiapsiagaan Personel dan Peralatan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kebun Raya Sriwijaya, Kabupaten Ogan Ilir, Selasa (9/3/2021). Dalam apel tersebut dipertunjukkan sejumlah atraksi pemadaman kebakaran dan peralatan yang akan digunakan saat memadamkan api.
Herman mengatakan, status siaga darurat kebakaran lahan di Sumsel sudah mulai berlaku sejak 1 Maret 2021 dan akan selesai ketika kemarau berakhir. Penetapan status ini jauh sebelum musim kemarau tiba di Sumsel pada dasarian III Mei 2021.
Penetapan status ini diharapkan dapat mempercepat koordinasi antarinstansi dalam melakukan upaya pencegahan, seperti menyiapkan sarana dan prasarana pemadam kebakaran dan memasifkan sosialisasi kepada masyarakat terutama yang tinggal di daerah rawan kebakaran.
Helikopter waterboombing tidak perlu jauh-jauh mengambil air bisa dari embung ini. Api pun bisa cepat dipandamkan agar tidak meluas. (Herman Deru)
Herman menegaskan agar pemerintah daerah lebih mengedepankan langkah antisipasif agar tidak terjadi kebakaran dengan menyiapkan embung, sumur bor, dan sekat kanal agar lahan yang rawan bisa tetap basah ketika musim kemarau tiba. Langkah pencegahan dinilai lebih efektif dibanding pemadaman.
Biaya yang dikeluarkan untuk pencegahan lebih rendah dibanding biaya operasional pemadaman ketika lahan sudah terlanjur terbakar. Herman pernah menyebut, untuk operasional helikopter waterboombing, pemerintah harus menggelontorkan uang sekitar Rp 200 juta per jam.
Pembuatan embung
Herman memberi contoh pembuatan Embung Konservasi di Kebun Raya Sriwijaya hasil kerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Kabupaten Ogan Ilir. Selain untuk penelitian dan juga pariwisata, embung ini juga dapat digunakan untuk pembasahan lahan di sekitar atau sebagai tempat persediaan air jika sewaktu-waktu kawasan di sekitarnya terbakar.
”Helikopter waterboombing tidak perlu jauh-jauh mengambil air, bisa dari embung ini. Api pun bisa cepat dipandamkan agar tidak meluas,” ucapnya.
Dalam beberapa kasus, memang kebakaran lahan di Sumsel juga disebabkan oleh sulitnya petugas mendapatkan air terutama puncak musim kemarau. Itulah sebabnya, pembangunan sekat kanal, embung, dan sumur bor menjadi prioritas.
”Walau di puncak musim kemarau, terus diupayakan kawasan gambut tetap tergenang minimal 40 cm dari permukaan,” ucapnya.
Dari sisi warga, lanjut Herman, upaya sosialisasi lebih dikedepankan dibanding memberikan sanksi. Herman meyakini warga Sumsel dan perusahaan sudah sadar untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar. Hal ini terbukti dari penurunan luas lahan terbakar tahun 2020 dibanding tahun sebelumnya. Kalaupun masih ada kawasan yang terbakar, itu disebabkan oleh kelalaian atau ketidaksengajaan warga.
Sebelumnya, Koodinator Manggala Agni Sumatera Selatan Tri Prayogi menuturkan, sekitar 99 persen penyebab kebakaran lahan di Sumsel disebabkan ulah manusia. Karena itu, sosialisasi sejak dini menjadi strategi yang harus dilakukan untuk menekan potensi kebakaran.
Kepala Stasiun Klimatologi Klas 1 Palembang Hartanto menuturkan, musim kemarau di Sumsel akan terjadi pada dasarian ke III Mei 2021 dan bersifat normal. ”Kemarau tahun ini lebih kering dibanding 2020 dan lebih basah dibanding tahun 2019,” ucapnya. Musim kemarau tahun ini juga mundur 20 hari dibanding kemarau biasanya di waktu normal.
Ketika awal musim kemarau tiba, Hartanto memprediksi hari tanpa hujan (HTH) di Sumsel bisa berlangsung sekitar 5-10 hari. Dalam kondisi tersebut, lahan akan kering dan potensi munculnya titik panas pun meningkat. Adapun pada puncak musim kemarau yang terjadi pada Agustus 2021, diperkirakan HTH bisa mencapai 60 hari.
Ketika itu terjadi, potensi kebakaran lahan semakin besar. ”Karena itu, langkah pemerintah untuk melakukan antisipasi dini sudah sangat tepat,” ucapnya.