Wali Kota Palu Pastikan Pembangunan Berbasis Mitigasi Kegempaan
Wali Kota Palu Hadianto Rasyid memastikan membangun daerah itu ke depan dengan memperhatikan mitigasi gempa dan bencana ikutannya.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Bagian rumah yang tersisa akibat diterjang tsunami dua tahun lalu di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulteng, Selasa (13/10/2020).
PALU, KOMPAS — Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah, Hadianto Rasyid memastikan membangun daerah itu ke depan dengan memperhatikan mitigasi gempa dan bencana ikutannya. Gempa yang diikuti tsunami dan likuefaksi pada 28 September 2019 menjadi pelajaran luar biasa.
”Kami berusaha untuk menyiapkan cara-cara yang baik untuk menghadapi kondisi kegempaan. Kita harus beradaptasi dengan keadaan itu. Saya pastikan Pemerintah Kota Palu akan memperhatikan itu (kerawanan gempa),” kata Hadianto di Palu, Sulteng, Senin (8/3/2021).
Ia menegaskan, pembangunan berbasis pengurangan risiko (mitigasi) akan jadi bagian penting dari rencana pembangunan jangka menengah daerah yang sedang disusun. ”Beri kami kesempatan agar menyiapkan langkah-langkah teknis terkait mitigasi itu,” ujarnya.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Wali Kota Palu Hadianto Rasyid. Foto diambil di Palu, Sulteng, Senin (8/3/2021).
Hadianto menyebut hal-hal teknis mitigasi, antara lain aturan atau panduan untuk mendirikan bangunan, baik rumah maupun gedung. Ia mencontohkan rumah atau hunian tetap untuk penyintas gempa yang direlokasi berspesifikasi tahan gempa.
Seusai dilantik pada Jumat (26/2/2021), Hadianto menyatakan dirinya telah meminta agar ada dukungan besar dari segi anggaran untuk program mitigasi. Ini agar upaya-upaya mitigasi berjalan dengan baik.
Hadianto dan Reny Lamadjido memimpin Kota Palu setelah memenangi pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2020. Hadianto mengalahkan petahana Hidayat.
Beri kami kesempatan agar menyiapkan langkah-langkah teknis terkait mitigasi itu. (Hadianto Rasyid)
Hadianto memiliki tantangan nyata akan kerawanan ibu kota Provinsi Sulteng itu terhadap gempa dan bencana ikutannya seperti tsunami dan likuefaksi.
Ketaksiapan Palu menghadapi bencana tersebut nyata pada 28 September 2018 saat daerah itu bersama dengan Kabupaten Donggala dan Sigi diguncang gempa bermagnitudo 7,4. Korban meninggal mencapai 4.000 orang dengan sebagian besar terjadi di Kota Palu.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Para penyintas, Sabtu (28/9/2019), berdoa di bekas tempat tinggalnya di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, yang masih porak poranda akibat likuefaksi yang dipicu oleh gempa, tepat setahun lalu. Peristiwa tersebut menyebabkan 3.124 orang tewas, 705 orang hilang, dan 1.016 orang tanpa identitas dikubur massal.
Saat ini, pemerintah tengah menyelesaikan pembangunan hunian tetap untuk penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi yang harus direlokasi karena kawasan permukiman lama mereka ditetapkan sebagai zona merah.
Artinya di daerah itu dilarang adanya pembangunan hunian baru untuk menghindari jatuhnya korban jiwa jika terjadi gempa lagi di kemudian waktu. Gempa biasanya memiliki pola untuk berulang di tempat yang sama dalam jangka waktu (siklus) tertentu.
Menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang meminta tak ada lagi pembangunan infrastruktur baru di Palu, Hadianto mengatakan hal itu bentuk peringatan dari pemerintah pusat. ”Saya pahami ini perhatian dari pemerintah pusat agar Pemerintah Kota Palu melindungi warganya,” katanya.
Luhut dalam rapat koordinasi kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada Kamis (4/3/2021) meminta tak ada lagi pembangunan infrastruktur baru di Kota Palu karena tanah di Palu sangat labil.
Dua fase
Pegiat literasi kebencanaan Neni Muhidin menjelaskan kunci mitigasi pada dasarnya pada dua fase penting, yakni prabencana dan pascabencana. Dua fase itu saling mengisi dan melengkapi dalam konteks pengurangan risiko bencana. Satu fase lainnya, tanggap darurat, juga penting, tetapi tetap harus dipersiapkan pada dua fase lainnya.
Neni berharap pemerintah fokus pada dua fase itu. Di fase tersebut mitigasi struktural (terkait bangunan) dan nonstruktural (edukasi, sosialisasi, simulasi, dan regulasi) harus diimplementasi secara nyata di masyarakat.
”Kami terutama fokus pada mitigasi nonstruktural dengan harapan edukasi, sosialisasi, dan simulasi menghadapi gempa dan bencana lainnya harus menjadi kebiasaan baru ke depan,” ujarnya.
Untuk itu jangan beranggapan bahwa gempa lalu masih kuat dalam ingatan sehingga tak perlu lagi rupa-rupa program mitigasi. Warga atau komunitas harus selalu diingatkan dan dibekali pengetahuan praktis terkait tanggap gempa, tsunami, dan likuefaksi.
Langkah praktis bisa dilakukan saat gempa terjadi, antara lain melindungi kepala di bawah kolong meja atau material kuat lainnya untuk menghindari robohnya elemen bangunan, lari ke luar ruangan dengan tetap melindungi kepala jika hal itu bisa segera dilakukan, serta menghindari bangunan atau gedung tinggi.
Jika berada di pinggir pantai, begitu merasakan gempa kuat, segera menjauhi pantai untuk menghindari kemungkinan terjadinya tsunami.