Harga singkong di Lampung merosot sehingga merugikan petani. Pemerintah diminta turun tangan untuk mengatasi persoalan anjloknya harga jual salah satu komoditas utama di Lampung tersebut.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Harga singkong di Lampung merosot sehingga merugikan petani. Pemerintah diminta turun tangan untuk mengatasi persoalan anjloknya harga jual salah satu komoditas utama di Lampung tersebut.
Asosiasi Petani Singkong Kabupaten Lampung Utara Syahrul Effendi mengatakan, saat ini harga jual singkong berkisar Rp 700-Rp 800 per kilogram. Harga itu lebih rendah jika dibandingkan dengan November 2020. Saat itu, harga jual singkong di tingkat petani masih berkisar Rp 1.000-Rp 1.100 per kg.
Menurut Syahrul, harga jual yang rendah itu pun belum dikurangi potongan rendemen berkisar 15-20 persen. ”Harga bersih yang diterima petani saat ini hanya Rp 500-Rp 600. Itu pun kami juga yang menanggung ongkos angkut ke pabrik,” ungkap Syahrul saat rapat dengar pendapat dengan anggota DPRD Lampung di Bandar Lampung, Senin (8/3/2021).
Dia menjelaskan, petani hanya mendapat sekitar Rp 10 juta dengan rata-rata hasil panen 20 ton singkong per hektar. Adapun biaya pengolahan lahan dan biaya angkut singkong ke pabrik berkisar Rp 5 juta. Sedihnya, petani harus menunggu 8-9 bulan untuk panen.
Merosotnya harga singkong membuat petani kekurangan modal untuk mengolah kembali lahan pertaniannya. Pasalnya, uang hasil panen singkong hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kondisi itu juga membuat semangat petani turun. Sejumlah petani memilih membiarkan kebunnya karena persoalan anjloknya harga singkong kerap berulang jelang musim panen seperti sekarang. Dia berharap, pemerintah dapat mengatasi persoalan merosotnya harga jual singkong di tingkat petani.
Ketua DPRD Lampung Mingrum Gumay mengatakan, pemerintah daerah perlu menyampaikan persoalan anjloknya harga singkong di Lampung kepada pemerintah pusat. Pasalnya, anjloknya harga jual komoditas utama di Lampung itu diduga terkait dengan kebijakan impor tapioka. Untuk itu, Pemprov Lampung dapat meminta pemerintah pusat untuk membatasi kebijakan impor tapioka agar stabilitas harga singkong di daerah terjaga.
Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Lampung, pada 2020, produksi ubi kayu di Lampung mencapai 5,69 juta ton (angka sementara). Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan produksi ubi kayu pada 2019 yang tercatat 4,92 juta ton.
Tak hadir
Ketua Komisi I DPRD Lampung Yozi Rizal mengatakan, DPRD sebenarnya telah mengundang tujuh perwakilan perusahaan pengolahan singkong di Lampung untuk hadir dalam rapat dengar pendapat tersebut. Sayangnya, tidak ada satu pun perwakilan perusahaan yang datang untuk membahas permasalahan merosotnya harga singkong.
Untuk itu, pihaknya berencana memanggil ulang perwakilan dari perusahaan pengolahan singkong. Hal itu penting agar persoalan anjloknya harga singkong yang kerap berulang ini bisa diatasi.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Lampung Satria Alam mengatakan, sampai saat ini memang belum ada regulasi yang mengatur harga jual singkong. Fluktuasi harga singkong amat bergantung pada ketersediaan stok dan permintaan pasar.
Kendati begitu, pemerintah daerah sudah melaporkan terkait penurunan harga jual singkong di Lampung kepada pemerintah pusat. Pihaknya juga siap menindaklanjuti keluhan terkait merosotnya harga singkong kepada pemerintah pusat.
Sementara itu, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha Kantor Wilayah II Sumatera Wahyu Bekti Anggoro menuturkan, pihaknya masih menyelidiki dugaan praktik oligopoli dan monopoli dalam tata niaga singkong di Lampung. Hal itulah yang diduga membuat harga jual singkong kerap merosot jelang musim panen.
Saat ini tercatat ada 71 pabrik tapioka di Lampung yang menyerap singkong dari petani. Jumlah pabrik pengolahan singkong yang ada di Lampung belum sebanding dengan banyaknya produksi singkong karena kapasitas pabrik terbatas.