Disparitas dan Iming-iming Gaji Bekerja di Luar Negeri
Tak hanya penghasilan, Malaysia juga ditampilkan sebagai tujuan favorit pekerja migran Indonesia karena kesamaan bahasa dan budaya, termasuk karakter majikan yang dinilai relatif sama dengan orang Indonesia.
Iming-iming penghasilan yang lebih besar di negeri jiran Malaysia beserta berbagai kemudahan akses membuat pekerjaan sebagai pekerja migran Indonesia di Malaysia tampak begitu indah di mata pencari kerja Indonesia. Malaysia tampaknya masih akan menjadi pasar terbesar migran pencari kerja Indonesia untuk mengadu nasib.
”Gaji aku bekerja di Malaysia sebulan 3.000 ringgit. Kalau dirupiahin sekitar Rp 10 juta,” kata Nila Sari Safitri, seorang pekerja migran Indonesia (PMI) wanita muda asal Jawa Tengah, di kanal Youtube-nya.
Gaji pokoknya berkisar 1.500 ringgit atau sekitar Rp 5,4 juta. Gaji sebesar itu diperolehnya setelah sekitar tiga tahun bekerja di sebuah pabrik di Negara Bagian Melaka dengan jam kerja hingga 12 jam per hari, termasuk lembur.
Kanal Youtube milik Nila itu memang baru memiliki 319 pelanggan (subscriber) dan ditonton 6.418 kali sejak diunggah pada 2 Februari 2021. Dia memperlihatkan secara jelas resi penerimaan gaji, penghasilan yang diterima dari lembur, tunjangan asuransi kesehatan, dan berbagai potongan.
Baca juga : Prapenempatan Pekerja Migran Indonesia Menjadi Awal Persoalan
Melihat komentar netizen yang bermunculan, rata-rata menilai gaji sebesar itu melebihi gaji bulanan di Malaysia sebagai asisten rumah tangga (sekitar 900 ringgit atau Rp 3,1 juta) atau pekerja kebun sawit (sekitar 1.600 ringgit atau Rp 4,7 juta).
Fenomena video blog (vlog) media sosial yang berisikan pencapaian penghasilan sebagai PMI semacam itu banyak bertebaran dengan daya tarik yang orisinal. Akun Youtube seperti milik Nikmatul Rosidah bahkan lebih dahsyat. Dengan 1,4 juta subscriber, salah satu videonya tentang rumah kakaknya dari hasil bekerja di Malaysia telah ditonton oleh 840.000 netizen sejak diunggah pada 18 Juli 2019.
Sulit dimungkiri, berbagai kesaksian tentang bekerja menjadi PMI di Malaysia kini sudah seperti iklan masif yang ”membombardir” publik pencari kerja dengan hanya berselancar di media sosial. Di sana tersedia berbagai informasi tentang upaya awal untuk bekerja, prosedur resmi, kondisi pekerjaan di tempat kerja, hingga akhirnya pencapaian yang membanggakan. Tak sedikit youtuber yang membandingkan gambar rumah tinggal sebelum dan setelah menjadi PMI yang sedemikian kontras kemewahannya.
Tak hanya penghasilan, Malaysia juga ditampilkan sebagai tujuan favorit pekerja migran Indonesia karena kesamaan bahasa dan budaya, termasuk karakter pemilik usaha (majikan) yang dinilai relatif sama dengan orang Indonesia. Sejumlah akun Youtube pekerja migran menilai kesamaan budaya dan bahasa tersebut menjadikan mereka lebih mudah diterima dan itu menjadikan bayangan bekerja di luar negeri tidak terlalu menakutkan.
Berbagai daya tarik itu agaknya menjadikan Malaysia menjadi prioritas pertama negara tujuan menjadi pekerja migran di Asia, selain Hong Kong dan Taiwan. Saat ini standar gaji pekerja formal di Malaysia 1.200 ringgit (sekitar Rp 4 juta), sedangkan di Taiwan 17.000 dollar Taiwan atau sekitar Rp 8,7 juta dan jika di Hong Kong mencapai 5.000 dollar Hong Kong atau sekitar Rp 9,2 juta. Untuk dua negara tersebut, meski memiliki standar gaji lebih tinggi dibandingkan Malaysia, dinilai lebih sulit dijalani karena hambatan bahasa dan budaya.
Kuatnya daya tarik Malaysia terekam pula dalam data Bank Indonesia serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Hingga tahun 2020, jumlah pekerja migran di Malaysia terekam 1,63 juta orang, menurun dari tahun sebelumnya 1,88 juta orang karena sejumlah kebijakan terkait pandemi. Namun, jumlah itu masih sangat dominan karena mencakup sekitar separuh jumlah seluruh pekerja migran Indonesia yang tersebar di sekitar 40 negara di dunia.
Hal itu tentu akan makin mencengangkan jika memperhitungkan pekerja migran ilegal di Malaysia. Tidak ada data pasti jumlah pekerja ilegal itu. Namun, data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sebagaimana dikutip LSM Migrant Care bisa dijadikan patokan awal. ”Berdasarkan perhitungan BP2MI, pekerja migran Indonesia jumlahnya dua kali dari jumlah yang bekerja di suatu negara,” ujar Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care (Bisnis.com, 5/1/2021).
Remitansi yang dikirimkan pekerja migran kepada kerabatnya di Tanah Air juga menjadi indikator berikutnya kuatnya daya tarik Malaysia bagi pekerja migran Indonesia. Data per 4 April 2019 menunjukkan, jumlah remitansi PMI di Malaysia tahun 2018 mencapai 3,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 48 triliun yang mencakup sepertiga bagian dari total remitansi PMI di seluruh dunia yang mencapai 10,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 163 triliun. Jumlah uang yang teramat besar yang menjadi devisa masuk bagi negara ini.
Peluang terbuka
Pemerintah Malaysia memperkirakan saat ini ada 2 juta pekerja asing berdokumen dan 4 juta pekerja asing tak berdokumen. Mayoritas pekerja asing di Malaysia adalah kelas bawah, tidak terampil, dan tidak berpendidikan tinggi. Proporsi pekerja asing sudah mencakup seperlima angkatan kerja di Malaysia yang banyak terdapat di sektor manufaktur, konstruksi, perkebunan, dan agroindustri. Dilihat dari komposisi angka-angka, PMI tampaknya mendominasi proporsi pekerja asing Malaysia.
Kondisi ini telah menimbulkan kritik di kalangan ahli ekonomi di Malaysia karena dinilai bisa menjebak Malaysia menjadi negara berpendapatan menengah (middle income trap). Nilai tambah yang diperoleh dari tenaga kerja terampil dan berpendidikan lari ke negara kompetitor (Singapura, China), sedangkan Malaysia terperosok ke jebakan pola industrialisasi yang bertenaga kerja murah-massal, tetapi kalah efisien (K Kathirgugan, freemalaysiatoday.com, 2/3/2021).
Ketergantungan pemilik usaha Malaysia terhadap pekerja asing berupah murah (dibandingkan upah pekerja lokal) juga dinilai berbahaya bagi kelangsungan sektor tenaga kerja kelas bawah di Malaysia. Pada gilirannya, ini bisa menciptakan gejolak pengangguran bagi pekerja kelas bawah Malaysia sendiri.
Baca juga : Kementerian Ketenagakerjaan Bangun 45 Layanan Terpadu Satu Atap
Menyadari berbagai problematika itu, pada Juli 2020 Menteri Tenaga Kerja Malaysia M Saravanan mengumumkan penghentian masuknya tenaga kerja asing baru ke Malaysia hingga akhir tahun. Tujuannya semata agar memberi kesempatan bagi tenaga kerja Malaysia sendiri untuk bekerja. Sang menteri bahkan harus jujur mendorong pencari kerja asli Malaysia untuk ”tak menunggu pekerjaan yang cocok” untuk segera melamar pekerjaan (Esther Lee, The edgemarket.com, 3/8/2020).
Penghentian tenaga kerja asing ke Malaysia yang hanya beberapa bulan dan tidak berkelanjutan itu ternyata terkait dengan kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor industri utama negara jiran yang masih kekurangan tenaga kerja. Asosiasi Kelapa Sawit Malaysia (MPOA) mengeluhkan hilangnya 25 persen keuntungan dari potensi kelapa sawit akibat kekurangan tenaga kerja. Jumlah itu berarti kerugian bernilai 7,5 miliar ringgit atau sekitar Rp 26 triliun setahun.
Kebutuhan senada disuarakan Asosiasi Kontraktor Malaysia (MBAM) dan Federasi Manufaktur Malaysia (FMM) yang menyuarakan kerugian operasional akibat dihentikannya arus pekerja migran. Kalangan industri konstruksi Malaysia masih belum mampu memenuhi 85 persen kapasitas akibat kekurangan tenaga kerja.
Niaz Asadullah, profesor Fakultas Ekonomi Universitas Malaya, menilai keadaan tersebut dengan komentar yang konklusif. ”Itu adalah langkah populer dan cepat di saat sentimen negatif terhadap pekerja migran menguat. Pemerintah ingin mendistribusikan pekerjaan kepada warga negara (Malaysia). Namun, tenaga kerja lokal tampaknya tak siap untuk itu,” kata Niaz.
Segala cara
Dengan melihat kenyataan masih besarnya pasar permintaan tenaga kerja di Malaysia, besarnya gaji bekerja di Malaysia, dan relatif mudahnya akses transportasi, tak heran upaya pencari kerja Indonesia tetap akan mengalir ke sana.
Jalur formal adalah yang dipilih dalam hal kondisinya memungkinkan, terutama kondisi keuangan pencari kerja. Namun, jika calo pekerja migran bergentayangan di desa-desa miskin dan menawarkan segala kemudahan akses dengan iming-iming gaji besar, tampaknya masih sulit menahan keinginan berangkat para pekerja Indonesia.
Pemerintah perlu mengatasi masalah makro permintaan pasar tenaga kerja yang timpang antara Indonesia dan Malaysia jika ingin tuntas mengatasi masalah ini. Menemukan format jumlah PMI dan kualitas pekerja yang dibutuhkan menjadi salah satu cara menekan banjir PMI ilegal dari Indonesia. Sementara dari segi prosedur, ada kemudahan dalam formalisasi PMI agar mampu menampung kebutuhan pencari kerja.
Politik pasar tenaga kerja Malaysia tak akan selamanya berasa ”manis” bagi PMI, terlebih jika sentimen negatif terhadap pekerja asing semakin meningkat dan menjadi keputusan politik. Pencari kerja harus menyadari bahwa kini mulai ada kesadaran publik di Malaysia untuk membatasi arus masuk pekerja migran demi kelangsungan angkatan kerja mereka sendiri.