Demonstrasi Hari Perempuan Internasional di Yogyakarta Dibubarkan, Peserta Aksi Dipukul
Demonstrasi peringatan Hari Perempuan Internasional di depan kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (8/3/2021) siang, dibubarkan oleh sekelompok orang. Sejumlah peserta aksi juga menjadi korban kekerasan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS -- Aksi demonstrasi untuk memperingati Hari Perempuan Internasional yang digelar di depan kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Senin (8/3/2021) siang, dibubarkan oleh sekelompok orang. Sejumlah peserta aksi juga mengalami kekerasan, seperti dipukul dan didorong.
Berdasarkan pantauan Kompas, puluhan peserta aksi yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Yogyakarta tiba di depan kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta, pada Senin sekitar pukul 14.50. Para peserta aksi itu mengendarai sejumlah sepeda motor dan satu mobil pikap.
Para demonstran hendak menggelar aksi di depan pintu gerbang kantor Gubernur DIY yang ada di Jalan Suryatmajan. Pintu gerbang kantor tersebut berlokasi di sisi timur kawasan Malioboro yang merupakan salah satu destinasi wisata favorit di Yogyakarta.
Namun, hanya beberapa saat setelah para peserta aksi itu tiba di depan kantor Gubernur DIY, mereka dihadang oleh sekelompok orang yang menolak aksi. Sekelompok orang yang datang dari arah kawasan Malioboro itu lalu berteriak-teriak dan mendesak para peserta aksi membatalkan aksi demonstrasi.
Beberapa peserta aksi yang masih mengendarai sepeda motor dipaksa putar balik meninggalkan lokasi aksi. Selain itu, sejumlah motor peserta aksi juga diangkat paksa oleh beberapa orang yang menolak aksi.
Bahkan, sejumlah peserta aksi juga menjadi korban kekerasan. Mereka sempat dipukuli dan didorong oleh orang-orang yang menolak penyelenggaran demonstrasi tersebut. Mendapat perlakuan seperti itu, sebagian besar peserta aksi akhirnya terpaksa membubarkan diri.
Hanya beberapa saat setelah para peserta aksi itu tiba di depan kantor Gubernur DIY, mereka dihadang oleh sekelompok orang yang menolak aksi. Sekelompok orang yang datang dari arah kawasan Malioboro itu lalu berteriak-teriak dan mendesak para peserta aksi membatalkan aksi demonstrasi.
Akan tetapi, beberapa peserta aksi tampak bertahan di dekat kantor Gubernur DIY dan mencoba bernegosiasi dengan petugas kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang berjaga di sana. Berdasarkan hasil negosiasi itu, perwakilan demonstran sebanyak 10 orang akhirnya diizinkan untuk menyampaikan orasi di depan kantor Gubernur DIY.
Datang damai
Salah seorang peserta aksi, Arif, menuturkan, para demonstran yang tergabung dalam FPR datang ke kantor Gubernur DIY dengan damai. Arif menyebut, para peserta aksi itu juga menaati protokol kesehatan dengan mengenakan masker.
"Massa aksi FPR datang dengan aman, juga memakai masker semua. Tapi ketika baru sampai kantor Gubernur DIY, kami langsung direpresi," ujar Arif.
Arif menyebut, sejumlah orang yang menolak aksi itu sempat memukuli beberapa orang peserta aksi. Bahkan, Arif mengaku juga menjadi korban pemukulan. "Saya sendiri dipukul tanpa alasan yang jelas. Kurang lebih ada tiga sampai lima orang yang mukul saya," ungkapnya.
Arif juga menilai, represi yang dialami oleh para peserta aksi itu juga merupakan imbas dari Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Pergub itu antara lain melarang penyelenggaraan demonstrasi di lima kawasan di Yogyakarta, termasuk kawasan Malioboro.
Alasannya, kawasan Malioboro dan empat tempat lainnya, yakni kawasan Istana Negara Gedung Agung, Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, dan kawasan Kotagede, tergolong sebagai obyek vital pariwisata. Oleh karena kantor Gubernur DIY berlokasi di kawasan Malioboro, maka demonstrasi di kantor tersebut juga dilarang.
"Mungkin juga ini imbas dari pergub itu ya. Padahal, hak menyampaikan pendapat harus dilindungi oleh negara dan itu merupakan hak asasi manusia," ungkap Arif.
Represi yang dialami oleh para peserta aksi itu juga merupakan imbas dari Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Pergub itu antara lain melarang penyelenggaraan demonstrasi di lima kawasan di Yogyakarta, termasuk kawasan Malioboro.(Arif)
Sementara itu, dalam pelaksanaan aksi peringatan Hari Perempuan Internasional, FPR menyampaikan sejumlah tuntutan, misalnya hentikan perampasan dan monopoli tanah; hentikan diskriminasi upah pada buruh dan buruh tani perempuan; berikan jaminan perlindungan terhadap perempuan dari segala bentuk kekerasan; serta berikan cuti haid dan cuti hamil pada buruh perempuan.
Perwakilan FPR, Ana Mariana Ulfa, mengatakan, FPR juga menuntut pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja, pencabutan Pergub DIY No 1 Tahun 2021, serta pencabutan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. FPR juga menuntut pemerintah untuk mewujudkan demokrasi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan sejumlah tuntutan lainnya.
Penolakan
Sementara itu, Kepala Seksi Pengendalian dan Operasional Satpol PP DIY Edhy Hartana mengatakan, aksi demonstrasi itu memang ditolak oleh sejumlah warga. Menurut Edhy, penolakan itu muncul karena situasi pandemi Covid-19 saat ini belum terkendali sehingga warga menolak adanya demonstrasi yang mengundang kerumunan.
"Warga memang menolak adanya aksi ini karena saat ini situasi pandemi. Jadi, warga menolak terjadi kerumunan," ujar Edhy.
Edhy menambahkan, setelah terjadinya insiden tersebut, pihaknya melakukan negosiasi dengan kedua belah pihak. Berdasarkan hasil negosiasi tersebut, perwakilan peserta aksi sebanyak 10 orang akhirnya diizinkan melakukan orasi di depan kantor Gubernur DIY dengan syarat menjaga protokol kesehatan.
Salah seorang warga yang membubarkan aksi, Heru, mengatakan, dirinya merupakan anggota Paguyuban Becak Motor Yogyakarta (PBMY). Menurut Heru, dia menolak aksi demonstrasi karena aksi tersebut bisa mengganggu kenyamanan wisatawan yang berjalan-jalan di kawasan Malioboro.
Padahal, kedatangan wisatawan menjadi sumber penghasilan bagi para pelaku usaha di kawasan Malioboro, termasuk pengemudi becak motor. "Kami ini cari nafkah aja masih susah. Kalau demo-demo, wisatawan kan takut. Wisatawan itu kalau ada demo pasti takut," tutur Heru.