Batam Dikenal sebagai Jalur Gelap Buruh Migran Ilegal, Pemerintah Bisa Apa?
Akibat pandemi, puluhan ribu buruh migran terpaksa pulang lewat Batam, Kepri. Yang jadi pertanyaan, berapa lama mereka sanggup bertahan di kampung tanpa pekerjaan sebelum mencoba menyusup lagi dengan lebih nekat.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Sepanjang 2020, ratusan buruh migran mencoba menyusup ke Malaysia dan Singapura lewat Batam, Kepulauan Riau. Ada yang berhasil, tetapi banyak juga yang tertangkap lalu dipaksa pulang ke daerah asal. Yang menjadi pertanyaan, berapa lama mereka akan sanggup bertahan di kampung tanpa pekerjaan sebelum mencoba menyusup lagi dengan cara yang mungkin lebih nekat.
Data Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Kepri menunjukkan, sepanjang 2020, ada 40.940 pekerja migran Indonesia (PMI) yang pulang lewat Batam. Mereka adalah PMI yang pulang mandiri (38.257), PMI tanpa dokumen yang dipulangkan (2.146), dan calon PMI yang tertangkap aparat saat mencoba berangkat secara ilegal (519).
Sebelum dipulangkan ke daerah asal, khusus PMI tanpa dokumen biasanya ditampung dulu di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Tanjung Pinang. Tempat penampungan itu milik Kementerian Sosial yang dikelola Dinas Sosial Provinsi Kepri.
Selama pandemi Covid-19, puluhan ribu buruh migran membanjiri sebagian kota/kabupaten di Kepri. Selain di Tanjung Pinang, tempat penampungan sementara bagi PMI juga ada di Batam, yakni di Rumah Susun Badan Pengusahaan Batam. Hal serupa dilakukan Pemerintah Kabupaten Karimun yang menyediakan sejumlah sekolah dan gedung olahraga untuk menampung PMI.
”Memang yang kami tangani mayoritas bukan orang Kepri, tetapi itu bukan masalah. Sebagai daerah perbatasan, suka tidak suka, Kepri harus membantu pekerja migran dari daerah lain. Itu tugas kami sebagai saudara dan sesama orang Indonesia,” kata Kepala Dinas Sosial Kepri Doli Boniara, Jumat (5/3/2021).
Namun, yang menjadi soal, Kepri bukan hanya menjadi jalur kepulangan, tetapi sejak lama juga dikenal sebagai jalur gelap keberangkatan favorit PMI tanpa dokumen. Jaringan Safe Migran Batam mencatat, sepanjang 2020, ada 75 kasus perdagangan orang dan buruh migran bermasalah yang diungkap di kota ini. Sebanyak 111 orang dari berbagai daerah menjadi korbannya.
Aktivis kemanusiaan di Batam, RD Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong, mengatakan, pandemi Covid-19 memberi pengaruh besar terhadap tren kasus buruh migran bermasalah. Selama pandemi, daerah asal PMI bermasalah menjadi lebih beragam dari sebelumnya yang terkonsentrasi di Nusa Tenggara dan Jawa. Ketika pandemi, Paschalis juga melihat banyak PMI bermasalah ternyata berasal dari golongan yang mengenyam jenjang pendidikan menegah ke atas.
”Saat pandemi, impitan ekonomi semakin keras. Banyak orang, mau tidak mau, harus berangkat ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. Tidak ada pilihan lain,” kata Paschalis.
Bukan solusi
Pada 1 Juni 2020, Singapura mulai melonggarkan pembatasan sosial secara bertahap. Hal ini, kata Paschalis, dimanfaatkan jaringan mafia perdagangan orang. Anggota mafia itu bergentayangan ke daerah-daerah miskin menawarkan janji surga untuk bekerja di Singapura dengan gaji besar. Saat ini, penjahat itu juga memanfaatkan media sosial untuk menjangkau korbannya.
Kepala Seksi Kelembagaan dan Pemasyarakatan Program UPT BP2MI Tanjung Pinang Darman M Sagala menegaskan, Singapura hanya membuka perbatasan bagi urusan bisnis dan diplomatik. Negara itu belum membuka lagi kesempatan untuk pekerja sektor informal. Sementara Malaysia sama sekali belum membuka perbatasan.
Kenyataannya, sepanjang 2020, Polda Kepri mencatat 11 kali pengungkapan kasus terkait perdagangan orang dan buruh migran bermasalah. Yang terbaru, pada 24 Januari 2021, polisi menggerebek sebuah penampungan dan menemukan enam pekerja migran tanpa dokumen. Salah satu korban diketahui merupakan PMI yang pulang saat pandemi dan mencoba berangkat lagi secara ilegal lewat Batam.
Paschalis mengkritisi cara negara menangani PMI ilegal. Setelah ditangkap polisi atau aparat lainnya, buruh migran bermasalah biasanya akan diserahkan kepada BP2MI untuk selanjutnya dipulangkan ke daerah asal. Hal ini, menurut Paschalis, sama sekali tidak menyelesaikan persoalan dan justru menambah rumit masalah terkait buruh migran tanpa dokumen.
”Kalau mereka adalah korban perdagangan orang yang diculik, memang harus segera dikembalikan kepada keluarga. Namun, kalau mereka ingin bekerja ke luar negeri karena situasi di kampung sulit, seharusnya pemerintah membantu orang itu mencari lapangan pekerjaan,” ujar Paschalis.
Menurut dia, memaksa buruh migran pulang ke daerah asal justru akan membuat buruh migran tanpa dokumen menjadi korban dua kali. Di Batam, mereka ditangkap aparat karena mencoba menyusup ke negara tetangga secara ilegal. Di kampung, mereka akan ditolak masyarakat karena dianggap gagal merantau dan miskin.
Paschalis menyarankan agar Kementerian Ketenagakerjaan membuat balai latihan kerja khusus bagi PMI tanpa dokumen yang tertangkap aparat di Batam. Pemerintah harus membantu mereka untuk mendapat pekerjaan lewat jalur yang benar.