Menyusuri Jejak "Minke" di Gamplong, Jogja
Geliat perfilman turut memacu roda pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejumlah obyek yang menjadi latar belakang syuting diburu. Perekonomian warga pun secara tidak langsung ikut terangkat.
Geliat perfilman turut memacu roda pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejumlah obyek yang menjadi latar belakang syuting diburu. Selain daya tarik otentik, kisah di balik pengambilan gambar film juga jadi pemikat.
Teriknya panas matahari tak menyurutkan minat para wisatawan berkunjung di Studio Alam Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Minggu (28/2/2021) siang. Hampir setiap lima menit selalu saja ada rombongan baru wisatawan yang masuk.
Wuchi (23), wisatawan asal Klaten, datang berdua dengan temannya. Ini kali pertamanya berkunjung ke tempat tersebut. Ia sengaja mengincar berencana berfoto ria bersama temannya di sana. Dari informasi yang dikumpulkannya, destinasi tersebut menawarkan titik-titik foto yang menarik.
“Saya tahu tempat ini dari Instagram. Memang ingin tahu popularitasnya studio ini. Ternyata, seru sekali tempatnya. Dan, saya baru tahu set-set film itu setelah berkunjung di studio ini,” kata Wuchi.
Baca juga : Abdi Dalem Keraton Yogyakarta Segera Didata untuk Divaksin Covid-19
Studio Alam Gamplong mulai dibangun pada tahun 2017. Pembangunannya dilakukan di atas tanah kas desa milik Desa Sumberrahayu. Syuting film mulai dilakukan di studio tersebut pada tahun 2018.
Awalnya, tempat itu hanya digunakan untuk keperluan syuting film. Maka, ada kata “studio” dalam penamaannya. Baru dua tahun terakhir, studio itu menjadi destinasi wisata yang pengelolaannya dilakukan sebagian warga dari Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu.
Adalah Hanung Bramantyo, sutradara ternama asal Yogyakarta, yang menjadi salah satu sosok di balik berdirinya studio tersebut. Hal ini bermula dari perburuan Hanung mencari lokasi syuting tiga filmnya, yakni “Sultan Agung: the Untold Love Story”, “Bumi Manusia”, dan “Habibie Ainun 3”. Ketiga film itu masuk kategori film sejarah. Film dengan kategori tersebut membutuhkan tempat yang luas karena biasanya harus membuat bangunan-bangunan khusus untuk set adegannya.
Hanung pun berburu lokasi syuting ke seluruh wilayah DIY. Mulai dari Bantul, Gunung Kidul, Sleman, hingga Kulon Progo. Namun, belum ada tempat yang sesuai keinginannya. Kemudian, salah seorang anggota tim produksi Hanung memperkenalkannya dengan Lurah Sumberrahayu Sigit Tri Susanto. Sigit menawarkan agar Hanung melakukan syuting filmnya di Desa Sumberrahayu.
“Dari situ, saya datang ke desa tersebut. Saya lihat kondisinya. Akhirnya, saya menemukan sebuah lapangan yang sekarang menjadi Studio Alam Gamplong,” kata Hanung.
Hanung mau menerima tawaran syuting di desa itu. Tetapi, catatannya, ia enggan membayar sepeser pun sewa dan direpotkan dengan birokrasi yang berbelit-belit untuk keperluan syutingnya. Lebih-lebih, ia menolak diajak kongkalikong mengambil celah korupsi. Uniknya, pihak desa menyetujui semua syarat yang diajukan Hanung. Bahkan, segala urusan perizinan pembangunan studio diurus sendiri oleh pihak desa.
“Saya melihat, kalau bukan dari mereka yang punya keinginan, mustahil ada studio ini,” tutur Hanung.
Baca juga : Kerumunan Tidak Terelakkan di Destinasi Wisata Kota Yogyakarta
Sebagai gantinya, Hanung berjanji menghadirkan orang-orang tenar dalam dunia perfilman, di Indonesia, ke desa tersebut. Mulai dari Reza Rahardian, Christine Hakim, Lukman Sardi, hingga Iqbal Ramadhan, sudah pernah didatangkan untuk syuting di desa tersebut. Bahkan, studio tersebut diresmikan oleh orang nomor satu di Indonesia, yakni Presiden Joko Widodo, pada Juli 2018.
Awalnya, tempat itu hanya digunakan untuk keperluan syuting film. Maka, ada kata “studio” dalam penamaannya. Baru dua tahun terakhir, studio itu menjadi destinasi wisata yang pengelolaannya dilakukan sebagian warga dari Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu.
Pembangunan studio tersebut sempat terganjal persoalan status tanah yang merupakan tanah kas desa. Dengan kondisi itu, mau tidak mau, Hanung harus membayar sewa tanah berluas 2,5 hektar tersebut minimal 20 tahun. Namun, pada akhirnya, Hanung tetap tidak ditarik biaya sewa. Kedua belah pihak membuat kesepakatan. Setelah syuting selesai, warga desa mengelola studio tersebut menjadi tempat wisata.
Ide warga
Ide pengelolaan set studio menjadi daya tarik wisata berasal dari warga desa. Hanung tak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, selama ini, suatu set film kerap kali tak terawat dan rusak sia-sia setelah tidak lagi digunakan syuting. Di Gamplong, bekas set film justru memberi manfaat lebih dengan dijadikan destinasi wisata.
Sejumlah set film yang ada di studio tersebut, yakni pendopo, benteng, kereta trem, hingga rumah-rumah klasik semi permanen. Untuk masuk studio, pengunjung hanya perlu membayar seikhlasnya. Pengunjung harus membayar paket tiket tambahan untuk masuk ke tiga set khusus seharga Rp 25.000 per orang. Ketiga set khusus itu, yakni Rumah Annelis, Rumah Ainun, dan Galeri Antik. Pengunjung juga bisa merasakan naik kereta trem seperti salah satu adegan dari film “Bumi Manusia”, dengan tokoh utama Minke.
Hafiz Kurniawan, Pengelola Studio Alam Gamplong, menyatakan, studio itu mulai resmi dijadikan destinasi wisata pada pertengahan tahun 2019. Awalnya, hanya 5-10 orang yang datang per harinya. Kini, jumlah kunjungan bisa mencapai 1.500 orang per harinya.
“Mereka adalah orang-orang yang penasaran dengan set filmnya. Rata-rata ingin berfoto di set-set film yang ada,” kata Hafiz.
Selain itu, ada juga paket wisata edukasi berupa belajar proses pembuatan film singkat. Paket wisata ini menyasar kalangan mahasiswa dan SMK Multimedia. Kelas film tersebut dapat digelar jika minimal ada 10 orang pemesan. Durasi kelas mulai berkisar 2-4 jam dengan harga paketnya Rp 150.000-250.000 per orang.
Hafiz menyampaikan, sejak awal, Hanung meminta agar studio ini bisa ikut memberdayakan warga. Untuk itu, para pengelola diprioritaskan berasal dari warga setempat. Saat ini, ada 26 orang yang bekerja di studio tersebut. Sebesar 70 persen merupakan warga Dusun Gamplong. Para penjual makanan pun semuanya berasal dari desa tersebut.
Lurah Sumberrahayu Sigit Tri Susanto menyatakan, pihaknya ingin menggerakkan ekonomi dari sektor pariwisata. Hal itu mendasari kegetolannya mengajak Hanung untuk syuting di desanya. Lambat laun, pamor desa terangkat lewat kehadiran Studio Alam Gamplong.
“Kami ingin memberikan peluang baru bagi warga. Tidak hanya dari pertanian, tetapi juga pariwisata. Sebab, lokasi desa ini juga lebih dekat dengan bandara baru (Yogyakarta International Airport), seharusnya wisatawan yang hadir bisa diserap di desa ini juga,” kata Sigit.
Lokasi lain
Tidak hanya Studio Alam Gamplong yang menjadi terkenal akibat aktivitas perfilman. Sejumlah destinasi wisata lain, di DIY, juga sempat terangkat dengan adanya film “Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2”, pada 2016. Beberapa adegan di film tersebut diambil di destinasi wisata hingga tempat makan terkenal. Misalnya, Candi Ratuboko, Kotagede, Pantai Parangkusumo, Warung Makan Bu Ageng, Sate Klathak Pak Bari, dan lain sebagainya.
Euforia film tersebut mendorong sejumlah agen wisata membuat paket wisata bertema “AADC 2”. Salah satu yang pernah membuat paket tersebut, yakni MasJo Tour.
“Waktu itu, kami membuat paket tersebut empat bulan setelah film itu ditayangkan. Kebetulan, saya juga penggemar film tersebut sehingga langsung mencoba survei perkiraan paket wisata dengan rute itu,” kata Divisi Wisata, MasJo Tours and Travel, Murniady Muchran, atau yang akrab disapa Mumu.
Mumu menjelaskan, paket wisata AADC 2 yang ditawarkannya berdurasi dua hari satu malam. Harganya sekitar Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per orang. Bergantung jumlah rombongan dalam satu kali tur. Semakin sedikit jumlah orangnya akan semakin tinggi biayanya. Peminatnya sebagian besar berusia 30-40 tahun. Semuanya merupakan penggemar AADC dari seri pertama.
“Paket wisata ini banyak peminat hanya sampai dua tahun setelah film rilis. Terakhir, seingat saya yang memesan tur ini adalah pasangan suami istri,” kata Mumu.
Kepala Dinas Pariwisata DIY Singgih Raharjo menyadari film merupakan salah satu sarana efektif promosi pariwisata. Untuk itu, pihaknya sangat mendukung insan perfilman yang berencana membuat film di DIY. Lebih-lebih, apabila para sineas mengambil latar destinasi wisata di daerah tersebut.
“Kami sangat welcome. Terlebih jika sampai sutradara luar negeri yang membuat film di sini. Tentu, DIY akan semakin mendunia lagi. Saya kira, permudahan perizinan untuk pembuatan film ini sudah kami lakukan untuk semua pihak,” kata Singgih.
Sebuah karya film tidak berhenti menjadi produk hiburan visual semata. Lebih dari itu, aktivitas perfilman mampu memunculkan daya tarik wisata tersendiri. Berkah dari geliat wisata yang bertumbuh setelahnya ikut menggerakkan perekonomian warga.