Berawal dari munculnya komunitas-komunitas film pada tahun 2000-an, Yogyakarta kini menjadi salah satu barometer perkembangan film nasional. Para kreator muda terus bereksperimen dengan ide-ide orisinal.
Oleh
HARIS FIRDAUS/GREGORIUS M FINESSO
·5 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Sutradara Agni Tirta (kanan) mengawasi proses editing atau penyuntingan film karyanya, Selasa (2/3/2021), di kantor rumah produksi Belantara Films di Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lahirnya banyak komunitas film independen pada 2000-an, menjadi cikal Yogyakarta sebagai salah satu barometer film nasional. Para sineas bergerilya tanpa tergantung industri. Festival dipilih sebagai pintu gerbang unjuk daya cipta.
Kedua mata Agni Tirta (35) menanap layar besar di hadapannya. Tersaji sejumlah potongan adegan film yang sedang dalam proses sunting. Bersama rekannya, dia mencermati beberapa adegan, lalu berdiskusi. “Ini sedang proses editing film panjang kedua saya. Judulnya Dari Hal Waktu,” kata Agni di kantor rumah produksi Belantara Films di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa (2/3/2021) sore.
Sejak tahun lalu, Agni memulai proses pembuatan Dari Hal Waktu yang berkisah tentang tokoh teater Yogyakarta, Fajar Suharno. Perencanaan film itu dilakukan sejak Agustus 2020, sedangkan proses syuting mulai November. Agni menyebut, Dari Hal Waktu merupakan film dokumenter eksperimental karena menggabungkan cerita nyata kehidupan Fajar Suharno dengan adegan-adegan teater yang dikreasi bersama sejumlah seniman Yogyakarta.
Proses syuting film dokumenter berjudul Cipto Rupo yang disutradarai Catur Panggih Raharjo. Film tersebut diproduksi dengan bantuan pendanaan dari Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2019. Sumber pendanaan itu berasal dari dana keistimewaa DIY.
Rencananya, film yang diproduksi dengan dukungan program Fasilitasi Bidang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu akan dirilis tahun ini. “Rencananya akan kami daftarkan ke festival-festival film internasional dan di dalam negeri, lalu diputar di komunitas-komunitas,” tutur Agni yang juga ketua Paguyuban Filmmaker Jogja.
Agni merupakan sutradara film sekaligus pendiri rumah produksi Belantara Films. Dia telah memproduksi beberapa film, misalnya film dokumenter panjang Rock for Kamtis (2012) dan film dokumenter pendek Dluwang: The Past from the Trash (2017). Pada Festival Film Indonesia (FFI) Tahun 2017, Dluwang: The Past from the Trash masuk ke dalam Nominasi Film Dokumenter Pendek Terbaik.
Ninndi Raras (31), sutradara muda Yogyakarta menuturkan, atmosfer Yogyakarta sangat mendukung proses kreatif para sineas muda. "Di sini, kami punya ruang untuk bereksperimen. Ini mungkin privilege (hak istimewa) yang bisa jadi tidak dimiliki teman-teman di Jakarta," ujarnya.
Para sineas di Yogyakarta, termasuk dirinya tumbuh di alam komunitas yang solid. Dengan idealisme masing-masing, mereka saling bertukar pikir dalam proses berkarya. (Ninndi Raras)
Ia mengenang, para sineas di Yogyakarta, termasuk dirinya tumbuh di alam komunitas yang solid. Dengan idealisme masing-masing, mereka saling bertukar pikir dalam proses berkarya. Ruang peradaban dan interaksi manusia di Yogyakarta pun seolah menjadi inspirasi yang tak habis-habis untuk diulik.
Sutradara asal Yogyakarta, Senoaji Julius (44), mengatakan, saat ini ada dua kota yang bisa disebut barometer perkembangan film di Indonesia, yakni Jakarta dan Yogyakarta. Namun, karakteristik keduanya berbeda. Aktivitas perfilman di Jakarta lebih berkait dengan industri film yang diarahkan untuk diputar di bioskop dan televisi.
Adapun dunia sinema Yogyakarta tumbuh tanpa ketergantungan pada industri, dalam konteks pendanaan dan jaringan pemasaran. Menurut Senoaji, banyak sineas Yogyakarta lebih mengandalkan festival film untuk mengenalkan karya-karyanya. “Mulai tahun 2000, lebih banyak kreator film yang sirkuitnya di festival, bukan industri,” ungkap pendiri rumah produksi Hompimpa Sinema Nusantara itu.
ARSIP SATRIA DEWA STUDIO
Suasana pengambilan gambar film Satria Dewa Gatotkaca di Yogyakarta.
Independen
Dalam buku Pemetaan Pembuat Film Yogyakarta (2015), Dyna Herlina dkk mencatat, napas kebanyakan para pekerja film Yogyakarta yakni independen. Namun, independen di sini bukan soal membangun gagasan kesenian tersendiri atau gerakan membebaskan diri dari kekuasaan ekonomi-politik tertentu, tetapi swadaya karena keadaan dan keterpisahan.
Mekarnya aktivitas perfilman di Yogyakarta bukan tanpa proses. Dyna Herlina, yang juga dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta, mengatakan, embrio geliat perfilman di kota tersebut berawal dari kemunculan komunitas-komunitas independen sejak 2000-an yang kebanyakan didirikan para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta.
Selain komunitas, faktor lain yang turut berperan penting adalah banyaknya ajang pemutaran dan festival film. Pemutaran yang biasanya diikuti diskusi film independen menjadi panggung gratis promosi, sedangkan festival menjadi celah pembiayaan karena menawarkan hadiah uang.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Wisatawan mengunjungi Studio Alam Gamplong di Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (2/3/2021). Studio alam yang menjadi lokasi pengambilan gambar sejumlah film karya Sutradara Hanung Bramantyo itu juga dikembangkan menjadi obyek wisata.
Dyna menyebut, lahirnya komunitas-komunitas film itu dipengaruhi beberapa faktor. Salah satunya kebebasan berpendapat dan berekspresi setelah reformasi 1998. Faktor lain adalah perkembangan teknologi dan peralatan produksi film yang semakin murah dan mudah diakses.
“Di sisi lain, pengetahuan tentang pembuatan film juga mulai menyebar dengan adanya workshop (pelatihan) film yang digelar di Yogyakarta,” ujar Dyna. Pemutaran film alternatif dan penyelenggaraan sejumlah festival film di Yogyakarta, misalnya Festival Film Dokumenter dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), juga membuat aktivitas perfilman “Kota Gudeg” kian semarak.
Meski demikian, seiring waktu, sejumlah sutradara asal Yogyakarta yang awalnya berproses melalui festival film juga masuk ke industri dengan memproduksi sinema layar lebar. Sejumlah sutradara asal Yogyakarta, misalnya Ifa Isfansyah, Yosep Anggi Noen, Eddie Cahyono, Ismail Basbeth, dan BW Purbanegara, mewarnai perfilman nasional selama beberapa tahun terakhir. Film-film mereka berseliweran di bioskop dan ruang pemutaran alternatif serta berkali-kali meraih penghargaan festival film nasional pun global.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Wisatawan mengunjungi Studio Alam Gamplong di Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (2/3/2021).
Selain itu, pondasi pendidikan juga menumpu ruang cipta perfilman Yogya. Dalam buku Kronik Revolusi : 1948 (2003) Pramoedya Ananta Toer menulis, pada Juli 1948, Kementerian Penerangan membuka sekolah film dan teater, Cine Drama Institute, di Manduretna, Notoprajan. Namun hanya bertahan dua bulan karena agresi Belanda dan Yogyakarta diduduki. Pada 1950, Front Seniman Yogyakarta mendirikan Sekolah Seni Drama dan Film, yang menjadi cikal bakal Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) pada 1953.
Selain itu, kota ini juga memiliki Institut Seni Indonesia dengan Fakultas Seni Media Rekam serta Sekolah Tinggi Multimedia (MMTC). Terbaru, pada 2014 lahir Jogja Film Academy, yang salah satunya diinisiasi Ifa Isfansyah. Dipadu dengan geliat seni teater dan budaya, pondasi pendidikan ini memperkokoh persinemaan di Yogya.
Tak berlebihan menyebut Yogyakarta telah menjelma sebagai salah satu barometer perkembangan film. Hal ini tak lepas dari maraknya aktivitas produksi, pemutaran, dan apresiasi film di kota tersebut.
Kini, tak berlebihan menyebut Yogyakarta telah menjelma sebagai salah satu barometer perkembangan film. Hal ini tak lepas dari maraknya aktivitas produksi, pemutaran, dan apresiasi film di kota tersebut. Film-film yang diproduksi sutradara asal Yogyakarta juga banyak memenangi penghargaan di level nasional dan internasional.
Melalui sinema, anak-anak muda Yogyakarta mengekspresikan daya cipta. Tanpa bergantung pada industri yang sudah mapan, mereka berani memerdekakan ide hingga lahir karya-karya otentik.
Sejumlah pengunjung sedang bercakap-cakap seusai menonton film pertama yang diputar dalam pembukaan Festival Film Dokumenter, di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (5/12/2018).