Korban tindak pidana tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan, tetapi dibiayai Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi. Ironisnya, anggaran LPSK terbatas sehingga tidak semua korban kejahatan terlindungi.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
Korban kejahatan di Kota Padang memikul beban ganda. Tak hanya cedera atau nyawanya terancam, mereka juga didera minimnya perlindungan kesehatan.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Suasana di rumah Rehan Kurnia (17), korban tebasan samurai geng motor, di Kelurahan Kalumbuk, Kecamatan Kuranji, Padang, Sumatera Barat, Rabu (3/3/2021). Keluarga Rehan masih utang puluhan juta rupiah tagihan rumah sakit karena korban tindak kejahatan tidak ditanggung BPJS Kesehatan.
Rehan Kurnia (17) sesekali meringis menahan sakit. Puluhan jahitan tersebar di tubuh siswa kelas X SMK 1 Padang, Sumatera Barat, itu, yakni mulai dari kepala belakang dekat telinga, bahu, pinggang, hingga jemari. Tangan kirinya yang diselimuti kain penyangga biru tua mendekap ke dada. Jari manis dan jari tengahnya sudah tak ada. Lukanya mulai mengering.
”Kadang-kadang masih nyeri, terutama pada malam hari,” kata Rehan di rumahnya, Simpang Rambutan, Kelurahan Kalumbuk, Kecamatan Kuranji, Padang, Rabu (3/3/2021). Rumah panggung dari kayu itu berdiri di tanah berukuran 8 meter x 12 meter.
Rehan hampir kehilangan nyawa pada 7 Februari 2021 dini hari. Sekitar pukul 03.00, siswa jurusan teknik listrik itu berboncengan dengan sahabatnya di Jalan Bypass, Kelurahan Kalumbuk. Niat hati dua sekawan ini hendak membeli nasi goreng.
Tak disangka, saat tiba di jalanan dekat Kantor Camat Kuranji, sekitar 2 kilometer dari rumah Rehan, belasan pemuda bersenjata tajam menyerang. Sabetan-sabetan senjata tajam mengenai tubuh. Dua jemari hilang saat melindungi kepala dengan tangan.
Sahabat Rehan beruntung karena bisa lari dan meminta pertolongan warga. Saat warga tiba di lokasi, Rehan sudah terkapar dan terluka parah. Mereka membawa Rehan ke RSUP Dr M Djamil Padang.
Nyawanya terselamatkan. Total dua operasi dijalani Rehan. Sepuluh kantong darah ditransfusikan untuk mengganti darahnya yang hilang. Anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan Arma Zakri (51) dan Eli Afrida (47) ini menjalani perawatan selama dua pekan tiga hari.
Rehan Kurnia (17), korban tebasan samurai geng motor, sedang beristirahat di serambi rumah bersama ayah dan ibunya di Kelurahan Kalumbuk, Kecamatan Kuranji, Padang, Sumatera Barat, Rabu (3/3/2021).
Luka yang mulai mengering tak lantas mengeringkan duka Rehan dan keluarganya. Keluarga dari kalangan ekonomi tidak mampu ini tak tahu bagaimana membayar tagihan rumah sakit sebesar Rp 51 juta.
Biaya operasi dan perawatan Rehan tidak masuk tanggungan BPJS Kesehatan meski ia terdaftar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN- KIS) bantuan pemerintah.
”Saya benar-benar bingung. Sudah nyawa anak terancam hilang, ditambah pula beban biaya rumah sakit. Apa artinya kami ikut BPJS Kesehatan?” kata Arma Zakri, ayah Rehan.
Kepulangan Rehan dari rumah sakit tertunda dua hari. Ia bisa pulang setelah ada jaminan Rp 10 juta dari Baznas Padang, Rp 200.000 dari keluarga, BPKB sepeda motor, dan KTP asli Eli Afrida, serta surat pernyataan utang.
Saya benar-benar bingung. Sudah nyawa anak terancam hilang, ditambah pula beban biaya rumah sakit. Apa artinya kami ikut BPJS Kesehatan. (Arma Zakri)
Arma masih bingung mencari jalan keluar untuk melunasi sisa utang Rp 41 juta dengan tenggat 24 Mei 2021. Jangankan untuk membayar utang, untuk biaya harian saja, ia masih kesulitan. Penghasilan tukang serabutan ini sehari- hari cuma Rp 70.000-Rp 100.000. Keluarga Rehan hanya bisa berharap pada donasi orang-orang baik hati.
Belakangan, keluarga Rehan berencana mengirimkan proposal kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selama ini, mereka tak tahu bahwa biaya pengobatan korban tindak kejahatan bisa ditanggung LPSK.
Korban meninggal
Kejadian dan beban serupa dialami Yudha (16) serta keluarganya di Kelurahan Pisang, Kecamatan Pauh, Padang. Naasnya, nyawa Yudha melayang dalam kejadian ini.
Pada 17 Mei 2020, sehabis waktu sahur, ia dibacok enam anggota geng motor. Yudha dibawa ke RSUP Dr M Djamil Padang, tetapi meninggal lima hari kemudian.
Tak hanya diselimuti duka, pasangan Iril (60) dan Teti (43) juga dibayang-bayangi utang. Iril hanya buruh angkat yang kerjanya serabutan, sedangkan Teti buruh cuci dan setrika pakaian.
Kartu JKN-KIS bantuan pemerintah miliknya tak berlaku. Keluarga juga tak tahu bahwa LPSK bisa menanggung biaya pengobatan jika mengirim permohonan bantuan.
Total tagihan rumah sakit untuk pengobatan dan perawatan Yudha Rp 77 juta. Untungnya sebagian sudah diangsur dengan bantuan Baznas, Yayasan Hamasah Insani Peduli, dan donatur lain. Utang yang tersisa sekitar Rp 40 juta.
Pejabat Pembuat Informasi dan Dokumentasi RSUP Dr M Djamil Gustafianof mengatakan, Rehan dirawat sebagai pasien umum. Untuk alasannya, hal itu wewenang BPJS Kesehatan. Yang pasti, rumah sakit sudah memberi layanan sampai pasien sembuh.
”Masalah biayanya, pasien sudah pulang. Sesuai prosedur rumah sakit pemerintah, tentu harus ada pengakuan utang. Berapa keluarga sanggup mengangsur setiap bulan, tidak ada unsur paksaan. Keluarga pasien boleh berutang jika tak ada uang,” kata Gustafianof.
Kepala BPJS Kesehatan Cabang Padang Rizka Adhiati mengatakan, biaya pengobatan dan perawatan pasien korban tindak kejahatan tidak masuk dalam tanggungan program JKN-KIS. Hal itu sesuai Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. ”Dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018, ada jenis pelayanan yang tidak dijamin program JKN, termasuk korban tindak pidana kekerasan,” kata Rizka.
Kepala LPSK Hasto Atmojo Suroyo menyarankan keluarga Rehan dan Yudha mengirimkan permohonan. Namun, ia tidak menjanjikan permohonan dapat dikabulkan. Keputusan akhir dirapatkan di jajaran pimpinan untuk mengkaji bentuk kasusnya.
Dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018, ada jenis pelayanan yang tidak dijamin program JKN, termasuk korban tindak pidana kekerasan. (Rizka Adhiati)
Menurut dia, dalam memberi bantuan biaya kesehatan kepada korban tindak kejahatan, pihaknya mempertimbangkan banyak hal. Di sisi lain, LPSK kewalahan menanggung beban yang sebelumnya ditanggung BPJS Kesehatan.
”Kami kewalahan karena anggaran kecil. Yang kami tanggung seluruh Indonesia. Kami sudah protes berkali-kali (terkait kebijakan ini). Semestinya ini menjadi tanggungan BPJS Kesehatan,” ujar Hasto.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Sepeda motor yang dikendarai Rehan Kurnia (17) saat menjadi korban tebasan samurai geng motor di Jalan Bypass Kelurahan Kalumbuk, Kecamatan Kuranji, Padang, Sumatera Barat, Rabu (3/3/2021).
Pengamat hukum kesehatan Universitas Ekasakti, Firdaus Diezo, berpendapat, keberadaan Perpres No 28/2018 sebenarnya bertujuan baik, yaitu untuk menghilangkan celah pembiayaan ganda. Biaya pasien korban tindak kejahatan kini memang ditanggung LPSK.
Namun, kata Diezo, keterbatasan anggaran LPSK, mekanisme pembiayaan berdasarkan permohonan, serta minimnya pengetahuan masyarakat tentang lembaga itu berpotensi memicu kekosongan perlindungan kesehatan terhadap korban tindak kejahatan. hukum kesehatan Universitas Ekasakti, Firdaus Diezo, berpendapat, kebijakan presiden mengeluarkan Perpres Nomor 28 Tahun 2018 sebenarnya bertujuan baik untuk menghilangkan celah pembiayaan ganda. Untuk pasien korban tindak kejahatan, sekarang memang menjadi tanggungan LPSK.
Kami kewalahan karena anggaran kecil. Yang kami tanggung seluruh Indonesia. Kami sudah protes berkali-kali (terkait kebijakan ini). Semestinya ini menjadi tanggungan BPJS Kesehatan. (Hasto Atmojo Suroyo)
Akan tetapi, kata Diezo, terbatasnya anggaran LPSK, mekanisme pembiayaan berdasarkan permohonan, serta minimnya pengetahuan masyarakat terhadap lembaga itu memang berpotensi memicu kekosongan perlindungan kesehatan terhadap korban tindak kejahatan.
Berkaca pada kasus Rehan dan Yudha, Diezo menyarankan agar LPSK terus menyosialisasikan kepada masyarakat tentang fungsi dan perannya. Hal sama juga mesti dilakukan BPJS Kesehatan terkait kebijakan dalam Perpres Nomor 28 Tahun 2018.
Diezo juga menyarankan pemerintah mengkaji dan menyesuaikan kembali besaran anggaran LPSK sesuai kebutuhannya. Atau pemerintah bisa mengubah kebijakan agar semua perlindungan kesehatan diintegrasikan dalam satu program di BPJS Kesehatan.