Sertifikasi CHSE belum terjangkau semua pelaku usaha pariwisata di Sulawesi Utara. Sertifikasi ini akan mendukung kebangkitan sektor pariwisata selagi pandemi Covid-19 masih ada.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA UTARA, KOMPAS — Sertifikasi kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan atau CHSE belum terjangkau para pelaku usaha pariwisata di Sulawesi Utara. Padahal, sertifikasi itu akan mendukung kebangkitan sektor pariwisata selama pandemi Covid-19 masih terjadi, yang dimulai dari sektor pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran atau MICE.
Hingga kini, belum ada data pelaku usaha pariwisata di Sulut yang mengantongi sertifikat CHSE yang dikenal sebagai Sertifikat I Do Care itu. Di Minahasa Utara, misalnya, baru empat dari setidaknya 21 hotel yang telah menyertifikasi standar dalam menerapkan protokol kesehatan. Padahal, kabupaten itu adalah lokasi destinasi superprioritas Likupang.
Sertifikasi juga belum populer di kalangan usaha pariwisata lainnya seperti penyedia jasa transportasi wisata. Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Asosiasi Agen Perjalanan Indonesia (Astindo) Sulut Jouvendi Rompis mengatakan, usaha persewaan bus lesu selama pandemi. Biaya sewa semakin tinggi akibat konsep penjarakan sosial (social distancing).
”Pembatasan kapasitas bus menjadi hanya 50 persen menjadi kendala kami, pelaku biro perjalanan. Akibatnya, banyak pembatalan rental karena biayanya jadi terlalu mahal,” kata Jouvendi dalam acara sosialisasi CHSE dalam MICE di Minahasa Utara, Kamis (4/3/2021).
Wakil Ketua DPD Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Sulut Mario Ben Gavriel mengatakan, panduan CHSE untuk pramuwisata baru terbatas pada beberapa jenis wisata, seperti wisata selam. ”Belum ada untuk pemandu wisata umum yang bisa kami sampaikan kepada para anggota kami,” katanya.
Kepala Dinas Pariwisata Sulut Henry Kaitjily mengatakan, Pemprov Sulut ingin mendongkrak lagi pariwisata yang mati suri akibat pandemi Covid-19 setahun kemarin. Pemerintah pun mendorong gelaran pertemuan di fasilitas konferensi dan hotel, begitu juga perjalanan insentif, untuk bisa mewujudkannya.
Pada 2020, produk domestik regional bruto dari lapangan usaha akomodasi dan makan minum di Sulut hanya Rp 1,96 triliun, turun dari Rp 2,7 triliun setahun sebelumnya. Henry menyebutkan, momentum telah ditandai dengan peningkatan okupansi hotel di Sulut ke kisaran 55-60 persen sejak awal 2021, meningkat dari 42,39 persen pada Desember 2020.
”Karena itu, semua stakeholder (pemangku kepentingan) pariwisata yang terlibat harus mempersiapkan diri, bagaimana kita bisa melaksanakan MICE dengan didampingi penerapan CHSE dengan baik. Ini akan jadi penentu, apakah kita mampu melaksankan MICE di Sulut, terutama Likupang yang menjadi destinasi superprioritas,” kata Henry.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah membuat panduan CHSE khusus MICE. Pelatih Sertifikasi CHSE Kemenparekraf Aldo Sumolang mengatakan, panduan itu dapat meningkatkan kembali keyakinan masyarakat untuk kembali mengadakan pertemuan-pertemuan dan perjalanan insentif.
Panduan ini akan membantu pencegahan, deteksi, dan penanganan Covid-19 dalam penyelenggaraan MICE, seperti pengadaan cairan pembersih tangan, pengukur suhu tubuh, pengenaan masker, dan kerja sama dengan satuan tugas Covid-19 setempat menjadi kewajiban semua pihak yang terlibat, dari peserta hingga penyelenggara MICE.
Karena itu, semua stakeholder pariwisata yang terlibat harus mempersiapkan diri, bagaimana kita bisa melaksanakan MICE dengan didampingi penerapan CHSE dengan baik. (Henry Kaitjily)
Aldo menambahkan, sertifikat CHSE bisa diajukan secara daring dan didapatkan tanpa biaya. Sertifikat itu perlu diperbarui setiap tahun agar penerapan protokol kesehatan di pusat-pusat pariwisata terkontrol oleh pemerintah.
Konferensi internasional
Mengawali kebangkitan MICE, September 2021, Sulut akan menjadi tuan rumah konferensi internasional yang diadakan Kemenparekraf dalam kerja sama dengan harian Kompas. Konferensi itu mengangkat tema ”Wallacea: Home of Endemic Flora and Fauna”.
Konferensi itu adalah bagian lima konferensi serupa yang digelar di empat destinasi superprioritas lainnya, yaitu Borobudur (Jawa Tengah), Danau Toba (Sumatera Utara), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), dan Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur). Subkoordinator Promosi Wisata MICE Kemenparekraf Aryanti Prima Restu mengatakan, konferensi tersebut akan menjadi sarana memperkenalkan kelima destinasi unggulan itu.
Koferensi tersebut digelar secara hibrida, secara luring untuk 100 peserta asal Indonesia dan secara daring bagi 300 peserta internasional. ”Konferensi akan mengangkat keunggulan khas setiap daerah destinasi superprioritas. Akan ada juga pameran produk UMKM khas daerah-daerah tersebut,” kata Aryanti.
Menurut Aryanti, pemulihan pariwisata tidak bisa menunggu kedatangan wisatawan asing yang jumlahnya mencapai 129.000 orang di Sulut selama 2019 sebelum perbatasan ditutup. Karena itu, semua pelaku usaha pariwisata diharapkan dapat menerapkan protokol kesehatan dan konsep-konsep CHSE.
”Sosialisasi kepada pelaku usaha agak susah sehingga kami mengharapkan ada bantuan dari asosiasi-asosiasi usaha untuk mengabarkan kepada anggotanya. Nantinya, saya harap ada pergerakan ekonomi lokal ketika konferensi ini berlangsung, tanpa adanya kluster Covid-19 baru. Asalkan ada protokol CHSE yang ketat, pasti bisa terhindarkan,” tuturnya.