Nenuah Terbang ke Rumah Baru di Hutan Lindung Bukit Batikap, Kalteng
Di tengah pandemi Covid-19, upaya pelestarian satwa langka tak berhenti. Pelepasliaran dan suaka satwa harus terus dijalankan. Hal itu yang membuat para penyelamat orangutan perlu menyesuaikan diri.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO dan SUCIPTO
·5 menit baca
Setelah 16 tahun menjalani rehabilitasi, Nenuah, orangutan betina berumur 19 tahun, diantar menuju rumah baru. Menggunakan helikopter, tubuhnya yang berbobot 16 kilogram dibawa ke hutan lindung Bukit Batikap, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah.
Sebelum menapakkan kaki di tempat baru, Nenuah diajak merasakan pengalaman, yang bisa jadi pertama di Indonesia. Bila sebelumnya pelepasliaran cukup menggunakan jalur darat, pandemi Covid-19 membuat prosesnya dilakukan lewat udara.
Cara itu menghemat waktu dan meminimalkan potensi penularan Covid-19. Maklum, genom orangutan (Pongo pygmaeus) identik dengan milik manusia hingga 97 persen. Ada sembilan orangutan lain yang menjalani perjalanan yang sama dengan Nenuah.
Dibawa menggunakan helikopter Bell 407 milik perusahaan Hevilift, Nenuah terlihat tenang di dalam boks yang diikat di jaring angkut. Dari dalam kamera yang ditempatkan di dalam boks, ia lebih sering mengintip ke luar lewat lubang kecil. Namun, karena guncangan yang kuat, ia beberapa kali berpegangan pada teralis besi.
Beruntung, perjalanan udara dari Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas, menuju hutan lindung Bukit Batikap tak sampai satu jam. Durasinya bisa memakan waktu 2-3 hari bila menggunakan jalur darat. Tiba di lokasi, sejumlah petugas menyambutnya. Mereka mengenakan alat pelindung diri, seperti baju hazmat, masker, sarung tangan, penutup wajah, hingga penutup kepala.
Dokter hewan Vivi Dwi Santi dan Agus Fahroni dari Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) langsung memeriksa Nenuah. Orangutan itu dipastikan tidak muntah, menggigil, batuk, mencret, atau sakit lainnya dalam perjalanan. Mirip manusia yang mabuk perjalanan.
Menurut Agus, baik perjalanan darat maupun udara, ia harus memastikan orangutan sehat dan siap untuk dilepasliarkan.
Selanjutnya, boks dipanggul oleh petugas menuju beberapa titik pelepasliaran. Sebagian ditempuh berjalan kaki, hingga menggunakan kelotok, perahu kayu bermesin. Waktu perjalanan sekitar delapan jam.
Tiba di lokasi, Nenuah tidak ingin berlama-lama. Dia melesat keluar kandang dan langsung naik ke atas pohon. Terlihat sederhana. Namun, bagi Agus dan Vivi, kegesitan Nenuah berpengaruh ganda. Saat satu orangutan menempati rumah baru, muncul harapan satu kawasan hutan terjaga tutupannya.
”Pekerjaan belum selesai, kami harus memantau pergerakannya selama paling tidak tiga bulan,” ujar Agus.
Selama tiga bulan, Agus dan staf lain akan bergantian berjaga mengambil data terkait orangutan yang baru dilepasliarkan. Agus harus bangun pada pukul 04.00 menuju tempat terakhir orangutan membuat sarang. Alasannya, orangutan biasa bangun subuh untuk menjelajahi hutan. Ragam aktivitas dicatat, mulai dari melihat apa yang ia makan, lokasi pembuatan sarang, hingga orangutan tertidur.
Pekerjaan belum selesai, kami harus memantau pergerakannya selama paling tidak tiga bulan. (Agus Fahroni)
Bukit Batikap merupakan kawasan hutan lindung yang luasnya mencapai 35.000 hektar. Kawasan ini penting karena merupakan kawasan hulu berbagai sungai perkasa di pulau Kalimantan seperti Sungai Barito yang melintas di dua provinsi dengan panjang 890 kilometer, lalu ada juga Sungai Kahayan yang panjangnya 600 kilometer, juga ratusan anak sungai lain. Ia berfungsi seperti infus yang menyalurkan kehidupan ke manusia.
CEO Yayasan BOS Jamartin Sihite menjelaskan, pelepasliaran itu merupakan yang pertama sejak pandemi melanda Indonesia. ”Kami juga memastikan orangutan yang dilepasliarkan itu bebas virus Sars-CoV-2, begitu juga para staf mulai dari dokter hingga petugas lapangan,” katanya.
Hingga kini masih ada 421 orangutan yang berada di pusat rehabilitasi Yayasan BOS di Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalteng, serta Samboja Lestari, Kalimantan Timur.
Tak bisa dilepasliarkan
Berjarak sekitar 650 kilometer dari Bukit Batikap, geliat konservasi satwa langka khas Kalimantan itu juga terus dilakukan. Odom (53) Manajer Operasional Pusat Suaka Orangutan (PSO) Arsari, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim, akhir-akhir ini fokus mengamati Bento, orangutan berusia 20 tahun. Sebelum berusia lima tahun, Bento dipelihara di kandang sejak kecil di Manado, Sulawesi Utara.
Terlanjur sangat tergantung dengan manusia, Bento tak bisa dilepasliarkan. Meski demikian, sejak 2019 ia dikembalikan ke Kaltim agar tetap bisa hidup di alam Kalimantan.
Sejak Januari 2021, Bento terlihat murung dan sering tidur di kandang. Dia juga sering mengeluarkan suara panjang yang sebelumnya jarang sekali dilakukan. ”Bento begitu sejak Iskandar, orangutan 17 tahun yang juga kami karantina, mati karena sakit pada Januari. Kami berupaya memberi kesibukan baru buat Bento agar tak stress,” kata Odom.
Saat ini, Odom dan timnya lebih banyak memberi makanan yang bisa mengalihkan pikiran Bento. Salah satunya, Bento kerap diberi kelapa yang belum dikupas kulitnya. Dengan begitu, Bento jadi aktif bergerak sebelum mengkonsumsi isi buah kelapa tersebut.
Di lahan seluas 19.000 hektar di Penajam Paser Utara, PSO Arsari memulai program suaka bagi orangutan yang tak mungkin dilepasliarkan. Bento dan sebelumnya juga Iskandar adalah orangutan yang mereka rawat. Selama pandemi, protokol kesehatan di tempat itu diperketat, kunjungan dibatasi.
”Tim dan orang luar yang berkunjung harus dilengkapi alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan, dan sepatu boot,” kata dokter hewan di PSO Arasri, Putu Suandhika.
Noor Azizah (28), perawat orangutan di Samboja Lestari, Kutai Kartanegara, mengaku ada tantangan tersendiri merawat orangutan selama pandemi Covid-19. Protokol kesehatan mensyaratkan perawat yang bercengkerama dengan satwa harus dibagi. Selain itu, waktu berkontak dengan satwa juga dikurangi.
”Lama kontak dengan orangutan selama pandemi sekitar enam jam dalam sehari. Sebelum pandemi sekitar delapan jam. Orangutan kerap tidak mau turun dari pohon untuk kembali ke kandang karena waktu mainnya di hutan juga ikut berkurang menjadi hanya enam jam,” tutur Azizah yang sudah 10 tahun menjadi perawat orangutan.
Nenuah dan orangutan lainnya kini hidup di rumah barunya. Mereka bisa menjalankan tugas menjaga hutan dengan baik, tanpa khawatir pandemi. Sebab, ada orang di samping mereka yang memastikan SARS-CoV-2 tak menyerang satwa maupun manusia.