Suburkan Saling Mengikat, Bukan Saling Menghambat
Saling berbagi saat pandemi terbukti menjadi energi di desa-desa di Jawa Barat. Tidak ingin sejahtera sendiri, beragam ilmu disebarkan tanpa biaya pada semua orang yang ingin belajar.
Kreativitas dan semangat berbagi masyarakat desa di Jawa Barat tidak luntur meski Covid-19 menjerat setahun terakhir. Mereka bangkitkan lagi kearifan yang lama terlupakan, saling berbagi, demi tetap kuat pada era pandemi.
Miniatul Muzdalifah (30) kini tidak perlu lagi pergi ke warung membeli sayuran atau obat. Ia cukup datang ke Posyandu Desa Sukaimut, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan. Di sana, terhampar aneka sayuran dalam polybag, seperti cabai, tomat, sawi, kangkung, dan selada bokor.
Ada juga tanaman obat keluarga (toga), seperti lidah buaya, jahe, dan kencur. ”Kemarin ada teman keseleo, saya kasih parutan jahe, kencur, dan sereh. Tangannya enggak bengkak lagi,” ucap Miniatul, Kamis (25/2/2021).
Didorong gelisah, gerakan menanam sayuran di pekarangan dimulai November 2020. Inspirasinya datang dari Desa Nangka, sekitar 15 kilometer dari Sukaimut.
Soal kebutuhan dapur, ibu dua anak ini terbiasa memetik sayuran dari sekitar 800 polybag. Ia tidak lagi merogoh kocek sekitar Rp 25.000 untuk belanja sayuran setiap tiga hari. Uangnya dialokasikan untuk hal lain, seperti membeli kuota internet sekolah daring anak pertamanya.
Katanya, hal serupa dirasakan 11 ibu lain. Mereka juga membuat citrek, keripik khas setempat, yang berbahan tepung beras, aci, serta irisan sawi dan bawang daun. Peminatnya tidak sedikit.
Tujuh warung di desa rutin memesan masing-masing 30 bungkus kecil per minggu. Dengan harga Rp 800 per bungkus, Miniatul dan teman-temannya bisa meraup sekitar Rp 168.000 per minggu. ”Sebelum pakai irisan sayuran dari polybag, cuma empat warung yang minta,” katanya.
Selain citrek, warga juga memproduksi pangsit dan peyek berbahan sayuran dari polybag. ”Tapi, minggu lalu, kami tidak bikin karena ada warga positif Covid-19. Kami juga dites. Hasilnya, negatif,” katanya.
Baca juga: Transformasi Desa
Warga paham, kesehatan jauh lebih penting dibandingkan dengan jualan citrek. Retno Palupi (50), Ketua Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Sukaimut, mengatakan, sayuran dalam polybag tersebar di lima blok. Setiap blok memiliki 400- 800 polybag. Pihaknya menargetkan, setiap blok punya minimal 1.000 polybag. Dalam 25 hari, warga panen.
Kuwu (Kepala Desa) Sukaimut Uka mengatakan, semua berawal saat korona semakin menggila. Banyak warga Sukaimut, sekitar 12 kilometer dari pusat pemerintahan Kuningan, pulang kampung. Sebelumnya, 300 orang dari 860 warga desa menggantungkan hidup di Jakarta dan sekitarnya sebagai buruh dan pedagang.
Akan tetapi, di rumah, warga juga tidak berbuat apa-apa di tengah kondisi serba berjarak. Didorong gelisah, gerakan menanam sayuran di pekarangan dimulai November 2020. Inspirasinya datang dari Desa Nangka, sekitar 15 kilometer dari Sukaimut.
Di Nangka, hampir 225 rumah atau 304 rumah tangga menanam sayuran. Bahkan, sayuran bisa jadi alat tukar baru ”menggantikan” uang. Di sana, sayur mulai dibudidayakan sejak Februari 2020. Pemdes memberikan 25 polybag dan bibit sayuran untuk setiap rumah. Harapannya, warga bisa mandiri memenuhi kebutuhan sayuran di tengah pandemi.
”Bu Bupati Kuningan (Ika Acep Purnama) sangat mendukung. Bahkan, semua desa mau didorong menanam sayuran di pekarangan. Kami sangat senang dan siap membagi ilmu,” ujar Kuwu Nangka Sukmana.
Baca juga : Dari Desa untuk Indonesia
Ilmu burung hantu
Di Karawang, Kelompok Tani Mekarsari II, Desa Pasirmulya, Kecamatan Majalaya, juga sukarela membagikan ilmu membasmi hama tikus secara alami. Alih-alih memakai pagar setrum atau ramuan kimia, mereka mengandalkan serak jawa (Tyto alba) atau akrab disebut burung hantu putih.
Kisahnya dimulai saat sawah milik kelompok seluas 42 hektar gagal panen tahun 2015 akibat diserang tikus. Produksi 33 petani anjlok, dari minimal 7 ton jadi maksimal 3 ton gabah per hektar. Padahal, modal Rp 10 juta– Rp 12 juta per hektar untuk sekali tanam. Harga jual gabah Rp 4.000-Rp 5.000 per kilogram. Tahun berganti, hasilnya tetap tidak berubah.
Baru pada 2018, Ketua Kelompok Tani Mekarsari II Saepudin (56) dan kepala desa setempat berguru ke Desa Keboncau, Kecamatan Ujung Jaya, Sumedang. Mereka belajar pemeliharaan serak jawa di sawah untuk menekan hama tikus.
Kini, petani kembali mampu memanen rata-rata mencapai 10 ton gabah. (Saepudin)
Ilmu itu diterapkan pertengahan 2019 dan teruji saat pandemi menyerang tahun 2020. Petani membuat kandang berukuran 5 x 7 meter dan tinggi sekitar 3,5 meter. Ini merupakan konservasi serak jawa pertama di Karawang.
Serak jawa sukses berkembang biak. Selanjutnya, dibangun juga rumah burung hantu (rubuha) tiga bulan kemudian. Rubuha berukuran 60 x 40 cm dipasang di atas tiang penyangga beton setinggi empat meter dan tersebar di pematang sawah.
Kini, ada 20 rubuha dibangun kelompok tani itu. Jarak antara rubuha diatur minimal 200 meter. Rubuha ini jadi tempat sepasang serak jawa berkembang biak. Sedikitnya delapan dari dua belas telur berhasil menetas di sana.
Saat dewasa, burung hantu mencari rumah baru yang terpisah dari induknya. Awalnya, hanya ada tiga ekor burung hantu, hasil iuran petani. Kini, lebih dari 25 ekor telah dilepasliarkan dan 2 ekor dalam karantina.
Burung ini tidak kekurangan makanan. Tikus sawah jadi santapannya. Ketika awal dipelihara, ada 1.000 ekor tikus ditangkap. Kini, hanya 350 ekor yang tertangkap. Artinya, keberadaan burung hantu mengurangi populasi tikus.
”Kami masih menemui tikus, tetapi sudah bangkai. Kini, petani kembali mampu memanen rata-rata mencapai 10 ton gabah,” kata Saepudin semringah.
Selain panen melimpah, petani juga bisa berhemat ongkos tanam. Jika satu hektar sawah diasumsikan ada 100-200 lubang tikus, dibutuhkan 100 batang rodentisida (racun tikus). Dengan harga satu batangnya Rp 10.000, petani harus mengeluarkan minimal Rp 1 juta-Rp 2 juta per hektar. Uang itu digunakan sebagai tabungan hingga tambahan modal tanam.
”Total, petani bisa mendapatkan sekitar Rp 33 juta per sekali panen. Dikurangi biaya tanam Rp 10 juta-Rp 13 juta, petani bisa dapat Rp 20 juta-23 juta per panen. Saat pandemi, kami bisa dapat untung lebih besar karena memelihara burung hantu,” katanya.
Tidak ingin menikmatinya sendiri, kelompok tani ini membagikan ilmunya ke desa lainnya di Karawang, Purwakarta, hingga Bekasi. Semua dilakukan gratis tanpa dipungut biaya. Ada yang datang langsung. Namun, ada juga bertemu via daring. Telepon seluler Saepudin tak pernah sepi. Ada saja yang menanyakan tentang pembangunan rubuha, mulai dari dimensi ukuran hingga bahan baku.
”Dulu kami mendapatkan pengetahuan dari desa lain. Sekarang, kami ingin membagikan manfaat besar ini ke petani. Petani bakal mengikuti jika ada bukti nyata, bukan hanya teori,” katanya.
Menyambat bukan menghambat
Guru Besar Sosiologi Pedesaan Universitas Padjadjaran Mumun Munandar berpendapat, kerja sama di dalam masyarakat perdesaan lama dikenal sangat tinggi. Kondisi ini terjadi karena masyarakat agraris membutuhkan kerja sama dalam mengelola lahan pertanian, mulai dari pengelolaan air hingga mengendalikan hama.
Di tengah pandemi Covid-19, tutur Mumun, spirit kerja sama ini pun tetap terjalin. Seluruh orang ingin keluar dari kondisi pandemi yang berdampak pada perekonomian.
Baca juga: Desa Bersaudara, Mitigasi Berakar Harmoni di Lereng Merapi
Oleh karena itu, kontak-kontak antarmasyarakat hingga dengan desa lain terjalin untuk menyelesaikan masalah tersebut. Contohnya, ilmu mengelola hama dengan burung hantu sehingga petani tidak bergantung pada pestisida yang membutuhkan biaya lebih.
”Dalam tekanan ekonomi yang sulit di tengah pandemi membuat nilai-nilai gotong royong ini terulang kembali. Bagi warga desa, pandemi ini membuat warga saling menyambat (mengikat), bukan saling menghambat,” tuturnya.
Menurut Mumun, nilai gotong royong dan kepercayaan ini menjadi contoh baik yang bisa dipetik sebagai kolaborasi dalam menghadapi pandemi. ”Kalau masyarakatnya jujur dan bisa dipercaya, dorongan kerja sama dalam meningkatkan kegiatan usaha akan semakin kuat,” paparnya.
Dalam tekanan ekonomi yang sulit di tengah pandemi membuat nilai-nilai gotong royong ini terulang kembali. Bagi warga desa, pandemi ini membuat warga saling menyambat (mengikat), bukan saling menghambat.
Kolaborasi pemerintah
Tidak hanya di desa, kolaborasi juga dilakukan Pemprov Jabar saat pandemi. Salah satunya dengan Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk suplai daging sapi. Penandatanganan kerja sama dilakukan antara PT Agro Jabar dan PT Gerbang NTB Emas di Garut, Rabu (27/2/2021). Jabar bakal menerima 1.000 ekor sapi di tahap pertama. NTB juga akan mengirimkan bibit penggemukan sapi ke Jabar.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil memaparkan, hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan daging di Jabar tanpa mengandalkan impor. Dengan bibit penggemukan, Jabar bisa menyediakan daging sapi sendiri selain menerima dari provinsi lain. Kemandirian menjadi kunci berkembang, terutama saat pandemi.
”Indonesia bisa mandiri tanpa mengandalkan impor. Kami bisa mendapatkan suplai daging sapi dari NTB yang diproklamasikan sebagai provinsi sejuta sapi. Harapannya, suatu hari suplai daging sapi bisa berasal dari pedagang lintas provinsi, bukan lintas negara,” ujarnya.
Di sisi lain, program Petani Milenial Juara ala Jabar, menurut rencana, akan diadopsi NTB. Sekretaris Daerah NTB Lalu Gita Ariadi mengatakan, program yang mengajak para pemuda kembali berkontribusi di desa ini untuk mengembangkan sektor pertanian di NTB.
”NTB tengah berjuang keras menyadarkan masyarakat muda yang lebih senang bekerja migran. Kami akan sosialisasikan potensi lahan di NTB untuk dimanfaatkan para milenial,” ujarnya.
Selain kerja sama, peran kaum muda pun diharapkan bisa meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan desa di tengah pandemi. Saat ini, desa yang identik dengan pertanian ini belum dilirik generasi muda di Jabar. Kepala Biro Perekonomian Sekretariat Daerah Provinsi Jabar Benny Bachtiar menuturkan, hampir 75 persen petani di Jabar sudah berusia 45 tahun.
Kondisi ini diperkuat data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 yang menunjukkan petani petani yang berusia 25-44 tahun berjumlah 945.574 orang. Angka ini menunjukkan jumlah petani muda hanya 29 persen dari total petani Jabar yang mencapai 3,2 juta orang.
Menurut Benny, kondisi tersebut ini berdampak bagi sektor pertanian di Jabar, mulai dari produktivitas hingga regenerasi. ”Sektor pertanian belum menjadi magnet pekerjaan bagi generasi milenial di Jabar. Hal tersebut berdampak pada rendahnya produktivitas pangan,” ujarnya.
BPS mencatat, produksi beras Jabar tahun 2020 mencapai 5,8 juta ton. Di sisi lain, kebutuhan beras warga Jabar mencapai 6,4 juta ton per tahun karena daya konsumsi per kapita sebesar 128 kg dalam setahun.
Baca juga: Merdeka Desa Ada Dalam Genggaman
Oleh karena itu, Jabar berencana memperluas area tanam baru memanfaatkan lahan milik Dinas Perkebunan dan Pertanian dengan target. Gubernur Ridwan Kamil menargetkan Jabar surplus beras di tahun 2021,” ujarnya.
Benny mengatakan, selain untuk menarik minat generasi muda, Petani Milenial Juara bertujuan menumbuh-kembangkan kewirausahaan muda pertanian di Jabar. Sejumlah bantuan diberikan, mulai peminjaman lahan seluas 2.000 meter persegi selama dua tahun hingga pendampingan di lapangan.
”Kami ingin menciptakan pertanian maju, mandiri, dan modern. Program ini juga diharapkan bisa mengubah wajah pertanian menjadi pertanian modern dan berbasis teknologi dan mengurangi masalah pengangguran sekaligus,” ujarnya.
Kami ingin menciptakan pertanian maju, mandiri, dan modern. Program ini juga diharapkan bisa mengubah wajah pertanian menjadi pertanian modern dan berbasis teknologi dan mengurangi masalah pengangguran sekaligus.
Pengamat pertanian Sarwono Kusumaatmadja pun merekomendasikan Jabar untuk mempioritaskan masalah pangan. Hal tersebut terjadi karena sektor pangan bersifat multidimensi. Pertanian holtikultura pun bisa menjadi solusi jangka panjang dalam menghadapi Covid-19.
”Jadikan pangan sebagai prioritas solusi. Jangan mimpi sektor lain akan sukses bila tidak ada makanan. Jabar punya peluang mengatasi krisis pangan ini karena warganya tidak asing dengan pertanian,” ujar mantan Menteri Lingkungan Hidup ini.
Kisah setahun pandemi tidak hanya berkutat pada penyesalan. Di antara keadaan serba tidak mudah, pandemi memaksa nilai luhur yang lama hilang kembali lagi. Tidak perlu menyalahkan, semuanya harus saling terikat kian erat agar tetap semakin kuat.
Baca juga: Pertaruhan Pembangunan Desa