Perburuan Burung di Malang Raya Terindikasi Meningkat Selama Pandemi
Aktivitas perburuan burung di Malang Raya, Jawa Timur, terindikasi meningkat selama masa pandemi Covid-19. Salah satu pemicunya adalah kondisi ekonomi.
Oleh
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Aktivitas perburuan burung di Malang Raya, Jawa Timur, terindikasi meningkat selama masa pandemi Covid-19. Salah satu pemicunya adalah kondisi ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan juga memperhatikan dampak pandemi terhadap kelestarian sumber daya alam.
Ketua Profauna Indonesia—organisasi yang bergerak di bidang perlindungan satwa dan hutan—Rosek Nursahid, Rabu (3/3/2021), mengatakan, sebelum tahun 2020, rata-rata laporan kasus perburuan yang diterima Profauna sebanyak 12 kasus per bulan. Namun, selama pandemi, laporan naik rata-rata menjadi 35 kasus per bulan.
”Dua tahun terakhir kami memantau hutan lindung di Malang Raya dengan luas lebih dari 40.000 hektar. Beberapa kasus pelakunya tertangkap atau bertemu dengan tim Ranger Profauna,” ujarnya di Malang.
Menurut Rosek, salah satu faktor penyebab kegiatan perburuan adalah masalah ekonomi. Ada pelaku yang mengaku sebagai korban pemutusan hubungan kerja. Mereka melihat salah satu potensi yang bisa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi adalah masuk hutan. Dengan berbekal jaring, mereka menangkap burung.
Faktor lainnya karena hobi. Pandemi membuat banyak orang bekerja dari rumah. Untuk mengurangi penat setelah berkutat di rumah dalam jangka waktu lama, mereka kemudian pergi berburu ke hutan.
Rosek mencontohkan, pada kegiatan patroli di kawasan Taman Hutan Raya R Soerjo, beberapa waktu lalu, pihaknya menemukan ada jaring sepanjang 20 meter yang dipasang oleh pemburu. ”Dengan jaring lebar seperti itu, secara otomatis semua jenis burung bisa terjerat,” katanya.
Meningkatnya perburuan tidak hanya terjadi di Malang dan Jawa Timur, tetapi juga daerah lain karena burung berkicau yang didatangkan ke Jawa Timur berasal dari luar Jawa. Hal itu dibuktikan dengan upaya penggagalan upaya penyelundupan oleh petugas di Surabaya.
Berbicara burung, menurut Rosek, sebenarnya cukup banyak burung endemis yang ”punah” secara lokal. Di beberapa daerah yang dulu menjadi habitat burung-burung tertentu, sekarang burung tersebut sudah sulit ditemui. Contohnya adalah burung pentet (cendet) dan prenjak.
Dulu cendet merupakan burung yang sangat mudah dijumpai di hampir semua daerah. Burung predator itu biasa bertengger di pinggir jalan di lahan-lahan pertanian. Sekarang cendet sudah sulit sekali dijumpai akibat penangkapan, khususnya setelah burung itu masuk kategori lomba burung berkicau.
”Saya ketemu burung cendet di alam satu bulan lalu di lereng Semeru di Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang. Padahal, burung itu dulu sangat umum, ada di mana-mana. Begitu pula prenjak. Di desa-desa dulu banyak karena tidak laku,” tutur Rosek.
Meski burung-burung tersebut tidak masuk kategori burung dilindungi, menurut Rosek, hal ini harus diwaspadai. Jangan sampai terjadi penangkapan secara masif di alam sehingga populasi satwa tersebut menyusut dan hilang.
Dulu cendet merupakan burung yang sangat mudah dijumpai di hampir semua daerah. Sekarang sudah sulit sekali dijumpai akibat penangkapan.
Walau perburuan burung marak, sejumlah pehobi mengatakan minat mereka membeli burung justru turun. Joko (45), salah satu pehobi burung berkicau, mengatakan tak lagi membeli burung selama pandemi ini. Selain harga mahal, biaya perawatan juga tinggi. Sementara lomba burung selama pandemi hampir tidak ada. Padahal, lomba itu menjadi salah satu faktor pemicu semangat memelihara burung berkicau. Selama ini Joko mengoleksi sejumlah burung hasil penangkaran seperti murai batu.
Daryono (43), pehobi burung di Singosari, Malang, juga tak lagi membeli burung. Ia beralih ke hobi lain, seperti beternak ikan hias dan bersepeda. ”Beberapa burung yang saya miliki saya berikan ke orang lain karena saya ingin fokus berolahraga,” kata Yono.