Jika Didiamkan, Dualisme Jabatan Sekda Papua Bisa Timbulkan Spekulasi Publik
Pemerintah pusat didorong segera menyelesaikan persoalan dualisme jabatan Sekda Provinsi Papua. Jika persoalan ini didiamkan, selain bisa mengganggu birokrasi, juga rentan menimbulkan spekulasi di publik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / FABIO M LOPES COSTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat diharapkan bisa segera menyelesaikan persoalan dualisme jabatan sekretaris daerah Papua. Penghargaan terhadap suara Pemerintah Provinsi Papua dianggap sebagai jalan tengah terbaik agar polemik ini tidak berkepanjangan.
Sebelumnya, Senin (1/3/2021), di Jayapura, Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal melantik Doren Wakerkwa sebagai Penjabat Sekda Papua untuk masa jabatan enam bulan. Sementara pada hari yang sama di Jakarta, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melantik Dance Yulian Flassy sebagai Sekda Papua.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Adriana Elisabeth, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (3/3/2021), mengatakan, sering kali persoalan di Papua didasari masalah kepercayaaan. Ada rasa saling tidak percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah di Papua. Persoalan dualisme jabatan sekda ini pun dinilai sebagai manifestasi dari ketidakpercayaan itu.
”Nah, yang menyebabkan saling tidak percaya itu apa? Kan, itu yang harus diselesaikan, akar persoalan ketidakpercayaan itu apa? Harus segera dicari jalan tengah karena enggak elok juga melihatnya seperti ini. Caranya, itu dikomunikasikan. Memang harus dicari win-win solution, jangan sampai ada yang malu lah, apakah Mendagri yang malu atau gubernur yang malu. Itu, kan, harus dibicarakan,” ujar Adriana.
Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Jakarta ini berpandangan, pemerintah pusat seharusnya bisa mendengarkan suara Pemprov Papua. Apalagi, Papua merupakan daerah otonomi khusus.
Dengan status itu, menurut Adriana, sekda yang dilantik oleh Gubernur atau Wakil Gubernur Papua lebih memiliki legitimasi. Lagi pula, dari nilai hasil seleksi jabatan, Doren berada di urutan teratas dengan nilai 74,99. Adapun Dance berada di posisi ketiga dengan nilai 67,30. Sedangkan satu calon lain, Wasuok Demianus, di posisi kedua dengan nilai 67,49.
”Dengan status otonomi khusus, ya, menurut saya lebih tepat (sekda) dilantik oleh gubernur. Kalau dilihat dari hasil seleksi pun sebenarnya tidak ada friksi yang terlalu besar karena bagaimanapun tiga nama itu, kan, diusulkan oleh gubernur,” ucap Adriana.
Rentan dipolitisasi
Jika persoalan dualisme jabatan sekda Papua ini tidak segera dituntaskan, Adriana khawatir tidak ada kejelasan pula soal tugas dan fungsi dari kedua sekda tersebut. Roda birokrasi pun tidak akan berjalan efektif.
”Padahal, fungsi sekda itu, kan, harus disegerakan. Jangan terlalu lama karena ini penting sekali perannya untuk menggerakkan proses pembangunan di daerah, birokrasi di daerah, segala macam,” kata Adriana.
Lebih jauh lagi, jika persoalan ini terus didiamkan, akan muncul berbagai spekulasi di publik. Dalam konteks Papua, persoalan semacam ini sangat mungkin dipolitisasi, misal ke arah revisi Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
”Apalagi, Papua itu, kan, selalu diidentikkan dengan konflik. Jadi, hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan, sebaiknya segera diselesaikan supaya tidak selalu dikait-kaitkan dengan persoalan lain. Apalagi, Papua, kan, daerah otonomi khusus, harusnya diperhatikan yang begitu-begitu,” tutur Adriana.
Koordinasi
Di Jayapura, Ketua Panitia Khusus Otonomi Khusus DPRD Papua Thomas Sondegau meminta pemerintah pusat dalam menentukan jabatan sekda tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ia berpendapat seharusnya pusat menghargai amanah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dalam regulasi ini, pemda di Papua hanya tidak diizinkan untuk mengatur sejumlah bidang, yakni keagamaan, fiskal, keamanan, hukum dan hubungan luar negeri.
”Seharusnya, mereka berkoordinasi dengan Pemprov Papua sebelum penentuan calon sekda. Upaya ini untuk mencegah masalah dualisme jabatan ini terjadi,” kata Thomas.
Ia berharap pemerintah pusat dan pemda di Papua menjalin komunikasi yang intens sebelum mengeluarkan kebijakan di bidang pemerintahan. Tujuannya agar masalah dualisme jabatan di Papua tidak terulang kembali.
Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal mengimbau seluruh pihak untuk menghormati Undang-Undang Otsus di Papua dan Papua Barat dan sama halnya di Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Ia menyatakan UU Otsus bersifat lex spesialis tentang kewenangan daerah. Karena itu, Undang-Undang Otsus merupakan regulasi yang tertinggi di tanah Papua.
”Sebagai warga yang baik harus tunduk ke undang-undang yang mengatur kehidupan berbangsa di negara ini. Untuk konteks Papua, Undang-Undang Otsus Nomor 21 yang tertinggi,” ucapnya.
Klemen pun membantah hubungan Pemprov Papua dan pusat tidak harmonis karena masalah dualisme jabatan sekda. Ia berharap adanya komunikasi yang baik sehingga masalah ini tidak lagi terulang.