Banjir di Kota Semarang, Februari lalu, selain dipicu hujan lebat dan faktor menurunnya daya dukung lingkungan, ulah manusia pun turut berkontribusi. Perlu penanganan terintegrasi hulu ke hilir.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Meskipun upaya pengendalian telah dilakukan selama bertahun-tahun, banjir tetap terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah, pada 6 dan 23 Februari 2021. Dibutuhkan perencanaan dan penanganan terintegrasi, termasuk terkait pengelolaan daerah aliran sungai. Sebab, banjir tak hanya disebabkan cuaca, tetapi juga ulah manusia.
Banjir yang terjadi pada Sabtu (6/2/201) pagi, yang diawali hujan lebat, menyebabkan sedikitnya delapan dari 16 kecamatan di Kota Semarang terdampak. Bahkan, Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani dan Stasiun Semarang Tawang lumpuh pada hari tersebut. Di sejumlah titik, terutama di wilayah timur, banjir tidak surut selama berhari-hari.
Sementara pada Selasa (23/2) sore, meski intensitas hujan tak setinggi sebelumnya, banjir kembali menggenangi sejumlah wilayah, termasuk kawasan Simpang Lima dan Jalan Pahlawan. Bahkan, sebagian area kompleks kantor Gubernur Jateng turut kemasukan air. Meski di perkotaan air surut cepat, di Jalan Kaligawe dan Genuk banjir berlangsung berhari-hari.
Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto, Rabu (3/3/2021), mengatakan, bencana hidrometeorologi disebabkan perubahan iklim atau cuaca ekstrem dan kondisi daya dukung daerah aliran sungai (DAS) yang menurun. Dua banjir dalam sebulan di Kota Semarang perlu mendapat perhatian serius.
”Banjir di Semarang harus ditangani secara terintegrasi, dari hulu ke hilir. Tak hanya Kota Semarang, tetapi juga melibatkan kabupaten lain di hulu. Ini sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Penyusunan rencana pengelolaan dan monitoring DAS dalam provinsi atau lintas kabupaten/kota, dilakukan gubernur,” ujar Agus dalam webinar ”Menguak Tabir Banjir Semarang: Tinjauan Pengelolaan DAS”, yang digelar KLHK.
Banjir di Semarang harus ditangani secara terintegrasi, dari hulu ke hilir. Tak hanya Kota Semarang, tetapi juga melibatkan kabupaten lain di hulu.
Agus menambahkan, banjir tak hanya disebabkan tingginya intensitas hujan, tetapi juga dipengaruhi faktor karakteristik DAS, yang juga akibat ulah manusia atau antropogenik. Hujan yang jatuh di atas permukaan tanah mestinya semaksimal mungkin agar masuk ke dalam tanah, kecuali pada daerah-daerah tertentu yang rawan longsor.
Upaya konservasi air dan tanah, baik di dalam maupun luar kawasan hutan, menjadi krusial. ”Seperti pesan ahli lingkungan, berbicaralah banjir di saat musim kering dan berbicaralah kekeringan di saat musim hujan. Ini tak hanya menjadi cambuk bahwa bencana bisa terjadi kapan saja, tetapi bagaimana mitigasi dan penganannya menjadi hal penting,” kata Agus.
Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang, yang juga peneliti manajemen pemulihan DAS, konservasi tanah, dan air, Sriyana, menuturkan, melihat kapasitas pompa yang ada di Kota Semarang, banjir, termasuk di sekitar Simpang Lima, sebenarnya bisa terhindarkan. Namun, sejumlah faktor turut memengaruhi sehingga hasilnya tak optimal.
Ia mencontohkan di sistem drainase Sambirejo, Kota Semarang, banyak ditemukan sampah di anak-anak sungai. ”Otomatis akan memengaruhi kinerja pompa. Selain itu, banyak eceng gondok, seringnya terjadi konflik antarwarga, pengelolaan yang belum terintegrasi, serta keterlibatan masyarakat yang belum optimal,” tutur Sriyana.
Menurut dia, perlu ada kolaborasi di antara para pemangku kepentingan, sehingga tercipta one watershed one management (satu DAS, satu pengelolaan). Itu dapat dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasi.
Tiga tahun
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menuturkan, berdasarkan evaluasi, pihaknya berencana mengalokasikan APBD bagi pengendalian banjir untuk tiga tahun ke depan. Anggaran antara lain digunakan untuk memperbesar kapasitas saluran atau gorong-gorong yang ada di tengah kota. Ia pun berharap tol Tanggul Laut Semarang-Demak yang dikerjakan pemerintah pusat dipercepat.
Di samping itu, Hendrar menilai kesadaran warga merupakan hal penting sehingga perlu terus didorong. ”Termasuk penghijauan dan disiplin dalam membuang sampah. Selain itu, kami juga akan berkomunikasi lintas daerah, termasuk Kabupaten Semarang. Seperti Jakarta dan daerah lain di bawah, ini juga dipengaruhi kiriman air dari daerah atas,” ucap Hendrar.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menuturkan, tak dipugkiri daerah hulu memang rusak. Selain itu, penanganan banjir di Kota Semarang merupakan hal kompleks seiring digenjotnya pembangunan di ibu kota provinsi itu. Oleh karena itu, penanganan haruslah komprehensif. Ia mengaku telah menolak pembangunan masif di daerah yang justru membutuhkan konservasi. Ekonomi hijau menurut dia perlu dikedepankan.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana M Adek Rizaldi menuturkan, sejumlah upaya pengendalian banjir dan rob di Kota Semarang sebenarnya sudah dilakukan. Pada bagian timur Semarang, seperti daerah Kaligawe dan Genuk, misalnya, dengan pembuatan pintu air yang dilengkapi rumah pompa pada sistem Kali Sringin dan Kali Tenggang. Dari kedua rumah pompa itu total kapasitasnya adalah 11 x 2 meter kubik per detik.
”Namun, dari hasil evaluasi, dua rumah pompa ini belum menjawab permasalahan di Kaligawe dan Genuk. Begitu hujan dengan intensitas tinggi, masih banjir,” ujar Adek.
Untuk penanganan permanen dan jangka panjang, lanjut Adek, pihaknya membuat tanggul laut, antara lain di antara Kali Babon (perbatasan Semarang-Demak) dan Sayung. Begitu juga di belakang Unissula (Universitas Islam Sultan Agung) yang akan terdapat sistem tertutup pada aliran air ke laut. Fungsi pompa pun akan dioptimalkan.