”Pentungan” dan ”Wortel” yang Membuat Kami Sukses Berubah
Adaptasi normal baru belum sepenuhnya terwujud. Namun, ada contoh-contoh keberhasilan upaya kelompok warga yang menjunjung tinggi kemauan untuk menjalani proses belajar dan berubah demi meraih hasil memuaskan.
Setahun terakhir, adaptasi demi menghindari paparan virus korona baru dan dampak multidimensinya masih berjalan separuh hati. Perlu ada pengungkit, pendorong, pengikat, dan target yang menyentuh jantung kehidupan warga untuk dapat membuat perubahan perilaku massal terwujud.
Di Pasar Gudang Lelang, Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandar Lampung, Kamis (25/2/2021), sebagian pedagang ikan memilih melepas sekat yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat. Pedagang banyak yang tidak memakai masker. Perasaan mati rasa terhadap ancaman virus korona baru (SARS-CoV-2) juga tecermin dari situasi di sebagian besar pasar tradisional di Bandar Lampung.
”Kalau pakai masker, ngomong sama pembeli jadi susah,” kata Wasromi (45), pedagang ikan di Gudang Lelang.
Ancaman sanksi administrasi berupa teguran lisan dan teguran tertulis pada pelanggar sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Bandar Lampung seperti macan ompong saja.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada yang berubah di Lampung. Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Lampung Barat Tri Umaryani mengatakan, pihaknya tengah menyiapkan Festival Sekala Bekhak dengan konsep hibrid. Festival yang akan dihelat pada 12-14 Juli 2021 ini akan memadukan pertunjukan langsung dan virtual. Diharapkan, perhelatan ini tetap dapat menggaungkan seni budaya lokal di kancah nasional dan internasional tanpa mengundang kerumunan.
Adaptasi kebiasaan baru sudah dilaksanakan di sejumlah tempat publik meskipun belum maksimal.
Di Sumatera Utara, upaya meredam pagebluk dengan berinovasi dan meningkatkan disiplin pelaksanaan protokol kesehatan juga dilakukan. Pesta adat kini diselenggarakan dengan lebih sederhana dan harus selesai sebelum pukul 15.00.
Di kawasan Danau Toba, kunjungan ke Makam Raja Sidabutar dan Sigale-Gale kini tidak wajib menggunakan selendang ulos. ”Sekarang kami tidak bisa memaksa karena bisa jadi media penularan kalau ulos dipakai pengunjung secara bergantian,” kata Karmiden Sidabutar, pengelola makam.
Kepala Dinas Kesehatan Sumut Alwi Mujahit Hasibuan mengatakan, adaptasi kebiasaan baru menjadi salah satu pilar utama dalam menghadapi pandemi Covid-19. ”Adaptasi kebiasaan baru sudah dilaksanakan di sejumlah tempat publik meskipun belum maksimal,” kata Alwi.
Baca juga: Nikel Melimpah, Pemprov Sultra Dorong Manufaktur Motor Listrik
Perubahan perilaku masyarakat yang masih setengah-setengah telah disoal sejak lama. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Lampung, Dedy Hermawan, menilai perlu ada sosialisasi dengan melibatkan tokoh karang taruna dan masyarakat di lingkup desa/kelurahan. Selain itu, regulasi juga harus disertai pengawasan dan sanksi tegas untuk memberi efek jera bagi yang mengabaikan protokol kesehatan.
Di sisi lain, perubahan menyeluruh dalam sekejap mungkin sulit dilakukan. Untuk itu, perlu diungkit melalui aspek yang paling dekat dengan kelompok warga tertentu untuk kemudian digulirkan ke berbagai aspek lain. Mengenalkan inovasi dan adaptasi di bidang ekonomi rakyat, misalnya, menjadi celah untuk membawa perubahan minus konflik.
Aklimatisasi petani
Bentuk inovasi dan adaptasi warga, antara lain, ditunjukkan oleh para petani di Desa Kebonrejo, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
”Bagi saya, bunga telang (Clitoria ternatea) ini pohon duit,” ujar Suratmi (51), warga Desa Kebonrejo, Kamis (18/2/2021).
Tidak berlebihan sebutan itu karena ada nilai rupiah di setiap kelopaknya. Satu kilogram bunga telang kering laku dijual ke perusahaan eksportir di Jakarta dengan harga Rp 600.000.
Aktivitas menanam bunga telang dimulai Suratmi pada Oktober 2020. Ketika itu, eksportir yang semula menyerap gula semut organik buatan Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikandi Tani, tempat Suratmi menjadi pengurus, meminta tambahan varian komoditas lain, yaitu bunga telang, dengan target negara sasaran Jerman. Di negara tersebut, bunga telang banyak diolah untuk pewarna alami makanan dan minuman.
Bagi petani Kebonrejo yang selama ini terbiasa dengan kelapa dan durian, bunga telang adalah hal baru. Namun, bukan berarti tawaran itu diabaikan. Dalam konsep ekonomi dikenal istilah stick and carrot yang bisa diartikan sebagai tongkat atau pentungan merujuk pada hukuman, tetapi boleh juga disebut sebagai perangkat aturan dan proses untuk meraih wortel atau hasil yang baik.
Di mata petani, proses sulit menanam telang menjadi cambuk untuk memenuhi permintaan pasar melalui perusahaan eksportir yang mencapai 15 kilogram bunga telang kering per minggu. Melihat peluang besar itu, satu per satu kelompok tani di wilayah lain di Candimulyo dan di kecamatan tetangga, seperti di Salaman, ikut menanamnya.
Pelaksana Tugas Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Magelang Widiarto Tri Saksono mengatakan, itu membuktikan aktivitas pertanian di desa-desa terus bergerak dan tak mudah terpuruk oleh beragam gangguan, termasuk pandemi.
Baca juga: BUMDes Au Wula Sukses Berinovasi di Tengah Pandemi
Uka, Kuwu (Kepala Desa) Sukaimut, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, berbagi kisah yang tak kalah inspiratif.
Desa Sukaimut itu sempat kelabakan. Penyebabnya, ratusan warganya yang merantau ke Jakarta dan sekitarnya tiba-tiba pulang kampung. Mereka kehilangan pekerjaan sebagai buruh dan pedagang akibat terdampak pandemi. Namun, di kampung, warga sama saja susah memetik rezeki.
Atas dasar itu, gerakan menanam sayuran di pekarangan dimulai November 2020. Retno Palupi (50), Ketua Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Sukaimut, mengatakan, sayuran dalam polybag tersebar di lima blok. Setiap blok memiliki 400-800 polybag. Pihaknya menargetkan, setiap blok punya minimal 1.000 polybag. Dalam 25 hari, warga panen.
Miniatul Muzdalifah (30), warga Sukaimut, kini tidak perlu lagi pergi ke warung membeli sayuran atau obat. Ia dan teman-temannya bisa menambahkan sayuran hasil panen dalam olahan makanan bernama citrek untuk dijual. Dagangan mereka jadi makin laris.
Sukaimut mencomot ide bercocok tanam di rumah warga ini dari Desa Nangka. Di Nangka, hampir 225 rumah atau 304 rumah tangga menanam sayuran. Sayuran pun bisa jadi alat tukar baru ”pengganti” uang.
”Bu Bupati Kuningan (Ika Acep Purnama) sangat mendukung. Semua desa mau didorong menanam sayuran di pekarangan. Kami sangat senang dan siap membagi ilmu,” ujar Kuwu Nangka Sukmana.
Sukses karena tak sungkan belajar dan berbagi turut dialami Kelompok Tani Mekarsari II, Desa Pasirmulya, Kecamatan Majalaya, Karawang. Mereka bersiasat meningkatkan produksi pertanian sembari melaksanakan konservasi serak Jawa (Tyto alba) atau burung hantu putih. Serak Jawa memangsa tikus yang selama ini menggerogoti sawah petani. Dengan memanfaatkan burung hantu, petani mengurangi penggunaan setrum dan zat kimia dalam memerangi tikus.
Baca juga: Kegigihan Ahmad Fahrizal Menjadi Petani Bibit Avokad di Jakarta
Setelah berguru ke Desa Keboncau, Ujung Jaya, Sumedang, di tahun 2018, Kelompok Tani Mekarsari II menerapkan ilmunya di pertengahan 2019 dan teruji saat pandemi tahun 2020. Dengan bantuan serak Jawa, ongkos tanam berkurang Rp 1 juta-Rp 2 juta per hektar dan hasilnya menjadi sekitar 10 ton gabah per hektar atau naik dari yang sebelumnya maksimal 7 ton gabah per hektar.
Kini, Ketua Kelompok Tani Mekarsari II Saepudin (56) dan para anggotanya tak henti berbagi ilmu dengan kelompok tani lain, seperti di Purwakarta dan Bekasi.
Spirit kerja sama
Guru Besar Sosiologi Perdesaan Universitas Padjadjaran Mumun Munandar berpendapat, kerja sama di dalam masyarakat perdesaan lama dikenal sangat tinggi. Kondisi ini terjadi karena masyarakat agraris membutuhkan kerja sama dalam mengelola lahan pertanian, mulai dari pengelolaan air hingga mengendalikan hama.
Di tengah pandemi Covid-19, tutur Mumun, spirit kerja sama ini pun tetap terjalin. ”Bagi warga desa, pandemi ini membuat warga saling menyambat (mengikat), bukan saling menghambat,” tuturnya.
Bagi warga desa, pandemi ini membuat warga saling menyambat (mengikat), bukan saling menghambat.
Seakan menerapkan spirit kerja sama, kolaborasi turut dilakukan Pemprov Jabar saat pandemi. Salah satunya dengan Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk suplai daging sapi. Penandatanganan kerja sama dilakukan antara PT Agro Jabar dan PT Gerbang NTB Emas di Garut, Rabu (27/2/2021). Jabar bakal menerima 1.000 ekor sapi di tahap pertama. Gubernur Jabar Ridwan Kamil memaparkan, hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan daging Jabar tanpa tergantung impor.
Di sisi lain, Sekretaris Daerah NTB Lalu Gita Ariadi mengatakan, program Petani Milenial Juara ala Jabar rencananya akan diadopsi NTB. Para pemuda diajak berkontribusi di desa ini untuk mengembangkan sektor pertanian di NTB.
BPS mencatat, produksi beras Jabar pada 2020 mencapai 5,8 juta ton. Kebutuhan beras warga Jabar mencapai 6,4 juta ton per tahun. Oleh karena itu, Jabar berencana memperluas area tanam baru dengan memanfaatkan lahan milik dinas perkebunan dan pertanian. Ridwan Kamil menargetkan Jabar surplus beras di 2021.
Petani Milenial Juara Jawa Barat bertujuan menumbuhkembangkan kewirausahaan muda pertanian. Sejumlah bantuan diberikan, mulai dari peminjaman lahan 2.000 meter persegi selama dua tahun hingga pendampingan di lapangan.
Pengamat pertanian, Sarwono Kusumaatmadja, pun merekomendasikan Jabar untuk mempioritaskan masalah pangan. Hal tersebut terjadi karena sektor pangan bersifat multidimensi. Pertanian hortikultura pun bisa menjadi solusi jangka panjang dalam menghadapi Covid-19.
Kuncinya tetap dengan terbuka mengadopsi ide kreatif, bekerja sama, dan saling berbagi. Selain itu, dibutuhkan gerak cepat pemerintah, khususnya pemerintah daerah, untuk berinovasi serta menyiapkan perangkat aturan ataupun insentif guna memastikan tawaran solusi terlaksana dan mudah direplikasi di lokasi lain.
Dengan demikian, proses perubahan perilaku dan adaptasi bukan lagi sebuah pemaksaan, melaksanakan atas dasar keinginan publik untuk meraih ”wortel” terbaik bagi mereka.
Baca juga: Festival Kopi Kutaraja, Mengembalikan Gairah Wisata Aceh