Mafia Satwa Obral Harga demi Buka Pasar Internasional
Perdagangan satwa dilindungi tak kunjung menurun di kala pandemi Covid-19 sekalipun. Pedagang satwa mencari berbagai celah demi meraup keuntungan dari penyelundupkan satwa.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 tak menyurutkan aktivitas mafia pemburu dan pedagang satwa liar dilindungi. Bukannya mengurangi perburuan di alam, mafia satwa malah mengobral hasil buruan dengan harga sangat murah demi terbukanya pasar.
Sisik trenggiling di pasaran lokal kini dibanderol hanya Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per kilogram, turun drastis dibandingkan sebelum pandemi yang harga pasarannya Rp 3 juta per kilogram.
”Bukannya mengurangi perburuan di alam, jaringan perdagangan satwa liar malah mengobral harga jual supaya stok tidak menumpuk dan pasar tetap terbuka selama pandemi,” ujar Nabila Fatma, Direktur Komunikasi dari FLIGHT, organisasi yang bergerak dalam upaya pelestarian satwa, Senin (1/3/2021).
Lalu lintas perdagangan lintas negara satwa liar makin ketat akibat pandemi. Bahkan, sejumlah negara di Asia Timur mengeluarkan kebijakan melarang konsumsi satwa liar. Hal itu menyebabkan stok hasil perburuan di dalam negeri menumpuk.
Pekan lalu, Bareskrim Polri menggagalkan upaya penyelundupan 133 kilogram sisik trenggiling di Jambi dan Sumatera Barat. Kepala Subdit 1 Tindak Pidana Terbatas Bareskrim Komisaris Besar Zulkarnain mengatakan, dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka terkait perdagangan 105 kg sisik trenggiling di Jambi dan 28 kg sisik trenggiling di Sumbar. Kedua pelaku masing-masing warga Jambi dan Sumbar. ”Keduanya masih dalam penahanan di Bareskrim,” ujar Zulkarnain.
Selain itu, lanjutnya, penyidik tengah meminta keterangan ahli di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta jajarannya.
Terkait kasus penangkapan penjual sisik trenggiling di Jambi, Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jambi Komisaris Besar Sigit Dani mengatakan, pengembangannya dilakukan langsung di Jakarta. ”Itu adalah operasi dari Bareskrim Polri. Pengembangan kasusnya di Jakarta,” katanya.
Dua orang ditetapkan sebagai tersangka terkait perdagangan 105 kg sisik trenggiling di Jambi dan 28 kg sisik trenggiling di Sumbar. (Komisaris Besar Zulkarnain)
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi Rakhmad Saleh mengatakan, keberadaan jaringan perdagangan satwa liar tersebut telah diendus pihaknya sejak 2018. Saat itu ia meminta dukungan Polda Jambi dan juga KLHK untuk memberantas jaringan tersebut. ”Kami tidak bisa sendirian karena biasanya jaringan ini melibatkan oknum aparat yang memiliki posisi kuat,” katanya.
Pedagang besar
Nabila menjelaskan, penjual sisik trenggiling yang ditangkap di Kota Jambi merupakan pedagang besar dan terindikasi masuk dalam jaringan internasional. Pelaku merupakan penampung utama yang mendapatkan pasokan beberapa jenis satwa dilindungi dari sejumlah daerah di wilayah Sumatera.
Jambi disebut-sebut sebagai lalu lintas strategis untuk menyelundupkan satwa liar ke luar negeri. Dari Jambi biasanya satwa curian diselundupkan langsung ke China. Ada pula yang transit dahulu ke Singapura atau Malaysia untuk kemudian bertolak menuju China. Sebagian kecil dibawa ke pedagang besar lainnya Jakarta untuk selanjutnya diselundupkan ke laur negeri.
Banyaknya barang bukti sitaan di Jambi dan Sumatera Barat, lanjutnya, bisa jadi karena hasil penumpukan stok yang tertahan di pedagang besar. Sebelumnya, pihaknya juga memperoleh informasi ada sisik trenggiling dari Indonesia yang diselundupkan ke China. Namun, penyelundupannya digagalkan otoritas China yang kini telah melarang konsumsi satwa liar.
Trenggiling masuk daftar satwa dilindungi dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) pun menetapkan status terancam kritis (critically endangered) tetapi perburuan dan perdagangan ilegal terus terjadi.
Hasil penelitian Traffic International menyebut Indonesia sebagai habitat spesies endemik trenggiling sunda yang dapat ditemukan di Sumatera, Jawa, dan pulau-pulau yang berdekatan dengan Kalimantan. Namun, statusnya telah Sangat Terancam Punah dalam daftar merah IUCN. Trenggiling merupakan yang paling masif diburu untuk diperdagangkan. Tujuan akhirnya ke China dan Vietnam.
Evaluasi 10 tahun perdagangan ilegal satwa dilindungi, oleh KLHK dan Wildlife Conservation Society (WCS), menunjukkan terjadi peningkatan kasus perdagangan setiap tahun. Makin tingginya angka kasus didorong oleh upaya pengungkapan.
Namun, yang makin mengkhawatirkan adalah soal maraknya perdagangan lewat pasar daring. Akses informasi dan teknologi menjadi pintu masuk para pedagang satwa untuk menjual, membeli, dan bertukar. Termasuk pula melakukan transaksi keuangan untuk menutupi, mempermudah, serta mempercepat jalannya transaksi ilegal tersebut.
Yang paling digemari belakangan adalah Facebook dan Instagram. Keduanya memiliki daya tarik iklan yang tinggi. Data Hootsuite, Indonesian Digital Report Januari 2019, tercatat ada 130 juta pengguna akun di Facebook dan 62 juta pengguna Instagram yang melihat iklan.
Kecepatan memperoleh informasi inilah yang dimanfaatkan untuk berdagang satwa lewat media sosial. Apalagi tidak diperlukan biaya tambahan untuk menggelar lapak.
Tahun 2017, terdata ada 61 lapak penjualan satwa per bulan di media sosial. Naik menjadi 86 iklan per bulan pada 2018.
Demi menghindari endusan aparat, para pedagang satwa daring menyamarkan identitas barang dagangannya. Misalnya dengan mengganti kata kunci untuk setiap postingan. Dibuat menjadi lebih umum istilahnya. Seolah-olah bukan satwa dilindungi.
Kondisi itu menunjukkan masih perlu kerja keras kolaborasi berbagai pihak untuk memberantas perdagangan satwa dilindungi.