Memperbesar Asa dari Roda Kereta
KRL Yogya-Solo memantik asa baru akan pembenahan transportasi publik. Momentum ini perlu dilanjutkan dengan angkutan umum lain sehingga terbentuk jejaring angkutan umum untuk melayani penggunanya.
Ada asa baru yang melaju bersamaan dengan peresmian kereta rel listrik rute Yogyakarta-Solo oleh Presiden Joko Widodo, Senin (1/3/2021). Aksesibilitas warga yang terhubung dengan kereta komuter ini diharapkan kian mudah. Dan, tentu saja nyaman serta terjangkau.
KRL di rute ini menggantikan rute yang sebelumnya dilayani Prameks. Kereta yang dipakai Prameks adalah kereta rel diesel (KRD). Sejumlah perbedaan teknis membuat KRL lebih efisien dari sisi waktu tempuh dibandingkan dengan KRD.
Di luar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Lebak, KRL rute Yogyakarta-Solo ini merupakan yang pertama di luar megapolitan Jakarta. Wira-wiri KRL diharapkan membawa lebih banyak penumpang.
Dalam laman PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), Direktur Jenderal Perkeretaapian Zulfikri mengatakan bahwa pemilihan elektrifikasi di koridor Yogyakarta-Solo sesuai hasil studi kelayakan. Berdasarkan studi itu, kata Zulfikri, penduduk di sekitar jalur kereta Yogyakarta-Solo hampir 10 juta jiwa. Tahun 2021, potensi pertumbuhan penumpang kereta api jalur Yogyakarta-Solo adalah 5.921.890 penumpang dan meningkat 29.320.769 penumpang pada 2035.
”Adanya KRL juga akan mendukung konektivitas transportasi di KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) Borobudur dan mendorong kegiatan pemulihan ekonomi kawasan yang terdampak pandemi Covid-19. Selain itu, secara teknis, koridor Yogyakarta-Solo ini sudah jalur ganda jadi lebih mudah dan lebih efisien pembangunannya,” kata Zulfikri.
Baca juga: KRL Solo-Jogja, Era Baru Transportasi Antarkota di Indonesia
Saat ini, ada 22 perjalanan KRL Yogya-Solo saban hari. Satu perjalanan dilayani rangkaian KRL yang terdiri dari 8 kereta atau 4 kereta.
Berdasarkan informasi di situs KCI, KRL dengan 8 kereta memiliki kapasitas angkut 592 penumpang, sedangkan KRL 4 kereta berkapasitas 296 penumpang. Sejak KRL dioperasikan, total 4.635 penumpang memakai angkutan ini pada 15 Februari dan 4.316 penumpang pada 16 Februari.
Di masa normal kelak, satu kereta bisa mengangkut 150-200 orang. Artinya, satu rangkaian dengan empat kereta sekali jalan bisa mengangkut sampai 800 orang.
KRL yang berhenti di 11 stasiun dijadwalkan menempuh rute Yogyakarta-Solo dalam 68 menit. Adapun KRD yang waktu itu berhenti di tujuh stasiun dalam rute yang sama membukukan waktu rata-rata 75 menit.
Secara keseluruhan, kedatangan KRL tidak semata mengganti tenaga penggerak kereta dari diesel ke listrik. Lebih dari itu, ada sistem baru yang diterapkan di 11 stasiun KRL. Sistem ini mengadopsi sistem yang jamak dipakai di kereta perkotaan Jabodetabek. Penumpang yang terbiasa dengan sistem kereta perkotaan di Jabodetabek barangkali tidak akan asing lagi ketika mengakses KRL Yogya-Solo.
Sistem yang digantikan salah satunya terkait pertiketan. Kini, pengguna mesti berbekal kartu elektronik sebagai tiket. Gerbang pemindai tiket dipasang di akses masuk stasiun KRL.
Baca juga: Beroperasi Penuh 10 Februari, KRL Yogyakarta-Solo Dilengkapi 20 Perjalanan Sehari
Manakala KRL tiba, penumpang bisa langsung naik. Apabila penumpang ingin naik kereta berikutnya, mereka tinggal menunggu kedatangan kereta yang dikehendaki tanpa perlu menukar tiket. Apabila di tengah jalan penumpang berubah pikiran, mereka bisa turun di stasiun mana pun.
Sebelumnya, penumpang harus membeli tiket Prameks di loket atau via aplikasi. Di kertas tiket ini, tertera stasiun keberangkatan dan kedatangan, plus jam keberangkatan kereta yang dipilih. Kondisi ini, menurut pengalaman sejumlah penumpang, menyulitkan manakala kereta dengan jadwal yang dinanti mengalami keterlambatan atau bahkan pembatalan perjalanan. Penumpang harus mencari tiket pengganti. Padahal, jumlah tiket juga dibatasi.
Peningkatan pelayanan
Gambaran antusiasme warga Yogyakarta-Solo atas adanya KRL yang nyaman, aman, dan berkeselamatan ini mengingatkan kita akan kondisi serupa saat KRL Jabodetabek ditingkatkan pelayanannya.
Perubahan KRL di Jabodetabek terjadi bertahap sejak 2011. Pembenahan layanan antara lain terlihat dari pemangkasan jumlah rute dari puluhan menjadi 5 rute; penyatuan kelas KRL dari 3 kelas menjadi 1 kelas; dan pemakaian kartu uang elektronik sebagai tiket menggantikan tiket kertas.
Pintu kereta harus tutup saat kereta melaju. Pendingin ruangan terpasang di semua kereta.
Area peron stasiun juga dibenahi. Perpanjangan peron dilakukan agar bisa menampung 12 kereta dalam satu rangkaian KRL. Arus penumpang di stasiun besar juga dibuat tidak melintasi rel.
Tidak semua perubahan itu diterima baik. Upaya pembersihan pedagang di peron stasiun, misalnya, beberapa kali menuai kontroversi. Pedagang juga tidak boleh lagi berjualan di dalam kereta.
Pembenahan arus keluar-masuk penumpang juga pernah menimbulkan protes, termasuk dari pemda setempat.
Adu pendapat juga pernah terjadi terkait mobilitas pedagang yang membawa barang. Biasanya, pedagang bebas memakai KRL. Kini, volume barang yang dibawa penumpang KRL juga dibatasi sehingga pedagang tidak leluasa mengakses KRL. Tujuannya, agar ruang di kereta bisa dipakai penumpang lain.
Di belakang layar, pembenahan dilakukan terkait perawatan kereta. Suku cadang yang semula diganti secara kanibal, mulai diganti dengan buatan pabrik. Operator membuka kerja sama dengan pabrik pembuat untuk memproduksi lagi suku cadang yang masih memungkinkan. Ini tidak mudah mengingat sebagian kereta memakai armada bekas dari Jepang. Produsen di sana pun sudah mulai mengganti produksi suku cadang untuk kereta dengan seri lebih baru.
Persoalan perawatan kereta menjadi kebutuhan tersendiri mengingat banyak kasus pembatalan perjalanan yang terjadi di era 2010-2012. Kejadian seperti pantograf patah, kereta mogok, atau anjlok beberapa kali terjadi.
Selain terkait perawatan kereta, kondisi prasarana, seperti jalan rel, persinyalan, dan listrik aliran atas, kerap kali memantik gangguan perjalanan saat itu. Tak terhitung berapa kali pengguna KRL harus terlambat tiba di kantor, berjalan kaki menyusuri rel hingga stasiun terdekat, atau menghabiskan waktu berjam-jam menanti kereta kembali beroperasi.
Keandalan kereta dan prasarana menjadi salah satu modal penting untuk menambah perjalanan kereta.
Setelah melewati lika-liku pembenahan, KRL di Jabodetabek menjadi andalan mobilitas warga, setidaknya hingga sebelum pandemi menghantam. Jumlah pengguna melonjak tiga kali lipat dalam enam tahun, yakni dari 370.000 penumpang per hari di tahun 2013 menjadi 950.000 penumpang sehari pada 2019.
Antusiasme penumpang tidak lepas dari kenyamanan memakai KRL. Sebelum pandemi, sejumlah penumpang adalah mereka yang sebelumnya belum memakai kereta untuk memfasilitasi mobilitas harian. Dengan perbaikan yang terjadi, siapa pun merasa aman memakai kereta bahkan di malam hari sekalipun.
Pelayanan serupa ini diduplikasi di tempat lain, seperti MRT, LRT, dan KRL Yogya-Solo. Tentu saja, dengan beragam modifikasi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan setiap moda.
Tentu saja, ada sejumlah perbedaan di layanan MRT dan LRT. Salah satunya adanya pintu pembatas peron yang mengamankan penumpang sebelum naik kereta. Pintu pembatas peron ini memungkinkan dipasang di stasiun-stasiun MRT dan LRT karena operator menggunakan satu jenis kereta yang sama. Dengan begitu, posisi pintu kereta dipastikan sama sehingga bisa disesuaikan dengan posisi pintu pembatas peron.
Di luar itu, perbaikan pelayanan kereta perkotaan menjadi semangat baru untuk mengembangkan angkutan umum di kota-kota seperti Jabodetabek, Yogyakarta, dan Solo. Kebutuhan mobilitas warga menjadi kebutuhan penting di perkotaan lantaran jamak terjadi pekerja di kota besar bermukim di kota-kota sekitar.
Setelah angkutan utama (backbone) seperti KRL beroperasi, giliran angkutan penunjang menyambung hingga mengantarkan warga sampai ke titik tujuan akhir. Pada tahap ini, sinergi dengan operator angkutan umum lain dan pemda amat dibutuhkan.