Baku Tembak di Poso, Dua Anggota MIT dan Satu TNI Tewas
Satu anggota TNI dan dua anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tewas dalam baku tembak di Kabupaten Poso, Sulteng.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Dua anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur dan satu anggota TNI meninggal dunia dalam baku tembak di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Saat ini aparat gabungan yang bergabung dalam Satuan Tugas Operasi Madayo Raya tengah mengejar dua orang lainnya, termasuk pemimpin kelompok, Ali Kalora, yang terlihat bersama anggotanya yang tewas ditembak petugas.
Kepala Kepolisian Daerah Sulteng Inspektur Jenderal Abdul Rakhman Baso, Selasa (2/3/2021), menyatakan, baku tembak tersebut terjadi di Dusun Andole, Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso, Sulawesi Tengah, pada pukul 18.20 Wita, Senin (1/3/2021). Dari kejadian itu, terindentifikasi dua anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tewas, yakni Samir alias Alfin dan Irul. Keduanya bagian dari daftar pencarian orang terkait terorisme di Poso.
”Untuk memperkuat identifikasi, kami tetap akan memeriksa lebih lanjut dengan pemeriksaan sidik jari dan tes DNA (deoxyribonucleic acid),” kata Rakhman yang didampingi Komandan Resor 132/Tadulako Palu Brigadir Jenderal (TNI) Farid Makruf, saat memberi keterangan di RS Bhayangkara, Palu, Selasa.
Jenazah kedua anggota MIT itu kini berada di RS Bhayangkara, Palu, untuk diidentifikasi lebih lanjut. Biasanya juga ada anggota keluarga yang akan mengambil jenazah anggota MIT yang tewas tersebut. Kalau tak ada anggota keluarga yang datang, aparat akan menguburkannnya di Palu.
Adapun anggota TNI yang tewas adalah Prajurit Kepala Dedi Irawan. Jenazahnya telah diberangkatkan ke Jakarta. Ia berasal dari Pekanbaru, Riau.
Adapun Irul yang masih punya hubungan keluarga dengan Santoso, pemimpin MIT yang telah tewas pada 2016, tewas karena bom yang dibawanya meledak. (Abdul Rakhman Baso)
Rakhman menyatakan, Samir ditembak di bagian kepala. Sementara Irul yang masih punya hubungan keluarga dengan Santoso, pemimpin MIT yang telah tewas pada 2016, tewas karena bom yang dibawanya meledak. Sekujur tubuhnya terbakar karena ledakan bom tersebut. Dari lokasi kejadian polisi menemukan sejumlah amunisi, ransel, baterai, golok, dan alat global positioning system.
Rakhman menyatakan munculnya empat anggota MIT di Dusun Andole diduga akan melakukan teror (amaliyah). Biasanya mereka membunuh atau menembak warga jika warga tak memberi mereka makanan.
Ia menegaskan, saat ini pasukan mengejar dua orang di sekitar lokasi baku tembak itu. Aparat mengidentifikasi ada dua orang yang bersama dengan dua orang lainnya yang tewas, termasuk Ali Kalora, pemimpin MIT saat ini. Namun, Rakhman menyatakan tak ada pergeseran pasukan dari tempat lain untuk mengejar dua orang tersebut.
Aparat gabungan TNI-Polri menggelar Operasi Madayo Raya untuk menumpas anggota MIT. Operasi pengejaran MIT berpusat di pegunungan di Poso, Parigi Moutong, dan Sigi, yang merupakan daerah gerilya mereka.
Polda Sutleng menyebutkan jumlah anggota MIT 11 orang. Dengan tewasnya dua orang itu, maka tersisa 9 orang.
Rakhman menyatakan saat ini memang belum terlihat adanya pertambahan anggota MIT. Namun, ia menegaskan tetap saja ada simpatisan yang mendukung keberadaan kelompok itu, terutama dalam menyediakan logistik (makanan).
Peneliti pada Lembaga Pengembangan dan Studi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng Moh Arfandy menyatakan, dari dulu pengejaran anggota MIT terkesan tak serius dan mengulur-ulur waktu.
”Dengan adanya kejadian baku tembak, ini menjadi kesempatan untuk mengejar dan menangkap anggota MIT. Anggota MIT terbukti telah membunuh warga sipil dan opsi penindakan mau tidak mau harus dijalankan,” katanya.
Selain pengejaran anggota MIT, Arfandy menegaskan aspek lain yang tak kalah penting dari Operasi Madagora Raya adalah melindungi warga sipil. Warga sipil kerap menjadi korban kekejaman anggota MIT. Bahkan, parameter keberhasilan operasi terletak pada terlindunginya warga dalam menjalankan hak-hak ekonominya, yakni berkebun. Terakhir, mereka membunuh empat warga di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi.
Warga sejumlah desa di sekitar daerah Operasi Madago Raya memang sangat resah dengan keberadaan anggota MIT. Di Lembantongoa beberapa waktu lalu, warga bahkan membiarkan hasil kebunnya tak dipanen karena khawatir diteror anggota kelompok itu.
”Kami ingin aparat untuk segera menumpas mereka. Sampai kapan kami hidup dalam bayang-bayang ketakutan,” kata Syamsul (45), warga Lembantongoa, awal Desember 2020.
Meskipun penegakan hukum berjalan, Arfandy meminta agar semua pihak dengan giat menjalankan program pemberdayaan dan edukasi di akar rumput di Poso. Langkah itu diambil untuk mencegah lebih banyak orang menjadi simpatisan kelompok MIT dan kelompok intoleran pada umumnya. Langkah itu harus terprogram dengan baik dengan melibatkan elemen masyarakat, seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama.