Si Mini yang Bikin Hati Selalu Gembira
Penggemar bonsai jangan mengejar kesenangan semata, mulailah jadi pembudidaya agar kesejahteraan meningkat dan bisa membuka lapangan kerja baru bagi lingkungannya. Jadikan pemikat hati ini sebagai penggerak roda ekonomi.
Wajah Sabarianto (52) semringah dengan senyum lebar yang terus mengembang di bibirnya. Lelaki asal Sumenep, Madura, itu meraih juara pertama kategori utama di acara Pameran dan Kontes Bonsai Bumi Jenggolo, Sidoarjo, Minggu (21/2/2021). Kebahagiannya pun semakin sempurna ketika para kolektor menawar tanamannya.
Dewan juri menetapkan bonsai wacang, yang merupakan hasil persilangan antara tanaman wahong dan tanaman sancang, sebagai pemenang dalam kategori utama atau kategori tertinggi tingkat nasional.
Bonsai setinggi 88 cm dengan desain bunjin atau bentuk tegak lurus bermain di satu sisi ini juga memikat hati para pengunjung pameran yang terus mengalir sepanjang hari.
Salah satunya Wira, pengunjung asal Surabaya. Dia mencoba menawar langsung kepada pria yang akrab disapa Antok ini yang meminta agar bonsainya dihargai Rp 150 juta. Menurut penggemar bonsai yang juga pengembang perumahan di Sumenep tersebut, harga itu tidak bisa dikatakan mahal atau murah karena kegemaran memiliki tolok ukurnya sendiri.
Memelihara bonsai menjadi aktivitas yang digandrungi pada masa pandemi Covid-19. Banyak yang baru belajar. Sementara yang sudah kenal justru ingin memperdalam lagi karena punya waktu luang selama pandemi. (Wardoyo)
Bonsai wacang milik Antok berhasil mengalahkan 706 tanaman bonsai lain dari tujuh provinsi di Indonesia yang menjadi peserta Kontes Bonsai Bumi Jenggolo.
Sebelum itu, bonsainya kerap memenangi perlombaan serupa di sejumlah kota. Bahkan, bonsai tersebut kerap menjadi juara sejak masih berada di kelas prospek atau kelas untuk tanaman yang masih berkembang.
Baca juga : Komunitas Jambi Bonsai Kelapa
Di atas kelas prospek ada kelas regional, kelas madya, dan kelas utama. Antok juga berpartisipasi di kelas prospek dengan mengunggulkan bonsai cemara udang, tanaman khas pesisir Sumenep, dan berhasil masuk dalam 10 besar teratas. Banyak pengunjung yang menawar, tetapi dia minta dihargai Rp 50 juta.
Ketua Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia Sidoarjo Wardoyo mengatakan, pameran dan kontes digelar untuk mengapresiasi para pembudidaya dan penggemar. Selain itu, mengenalkan bonsai kepada masyarakat yang lebih luas lagi meski belakangan ini tanaman kerdil tersebut menjadi salah satu tanaman hias yang semakin terkenal.
”Memelihara bonsai menjadi aktivitas yang digandrungi pada masa pandemi Covid-19. Banyak yang baru belajar. Sementara yang sudah kenal, justru ingin memperdalam lagi karena punya waktu luang selama pandemi,” ujar Wardoyo.
Animo masyarakat
Besarnya animo masyarakat terhadap tanaman bonsai sejatinya tecermin dari jumlah peserta pameran yang mencapai 706 tanaman. Pemilik tanaman itu berasal dari 72 kota dan kabupaten di nusantara yang tersebar di tujuh provinsi, antara lain Jatim, Jateng, Jabar, DKI Jakarta, dan Lampung.
Kehadiran ratusan tanaman bonsai ditambah tanaman bonsai milik para pedagang yang menempati stan menjadi daya tarik bagi masyarakat. Para pengunjung mengalir dari kota-kota, bahkan ada yang dari Denpasar. Mereka mengabaikan terik mentari yang tepat menyengat di atas kepala saat berburu bonsai yang diimpikan.
Baca juga : Menyulap Sampah Elektronik Jadi Pohon Bonsai
Koleksi yang disediakan tergolong lengkap. Mulai dari bibit bonsai dengan harga sekitar Rp 100.000 per pohon hingga bonsai yang harganya sekitar Rp 50 juta per pohon. Bonsai kelas utama harganya mencapai ratusan juta per pohon, sementara bonsai bintang harganya menyentuh miliaran rupiah.
”Pada masa awal pandemi Covid-19 tahun lalu, bonsai paling laris terjual adalah bibit dengan kisaran harga Rp 150.000 hingga Rp 500.000 per pohon,” ujar Santoso, salah satu pedagang bonsai dari Desa Tenggulunan, Kecamatan Candi, Sidoarjo.
Namun, seiring berjalannya waktu, banyak orang yang awalnya coba-coba membeli bonsai mulai menikmati seninya merawat dan membentuk tanaman. Mereka pun tak lagi membeli bibit, tetapi ”naik kelas” dengan membeli tanaman yang sudah terbentuk, tetapi masih berpotensi besar dikembangkan.
Saat ini bonsai yang paling laris di pasaran justru yang harganya berada di kisaran Rp 4 juta hingga Rp 20 juta per pohon. Dalam sebulan, Santoso bisa menjual 50 pohon bonsai seharga Rp 4 juta per pohon. Saat awal pandemi, dia bisa menjual ratusan bahkan ribuan bibit dan bakalan bonsai dengan penghasilan Rp 20 juta hingga Rp 50 juta per bulan.
Kegemaran
Bonsai, menurut terjemahan bebas, merupakan tanaman yang dikerdilkan dan ditanam di dalam pot dangkal dengan tujuan menghasilkan miniatur dari bentuk asli pohon tersebut. Bonsai juga bisa dimaknai sebagai seni memelihara tanaman dalam pot dangkal.
Baca juga : Bonsai Kelapa yang Membuat Terlena
Apresiasi terhadap seni memelihara pohon ini termanifestasi pada keindahan bentuk dahan, daun, batang, dan akar pohon. Ada teknik tersendiri dalam perawatannya seperti seni pemotongan dan pemangkasan, pemasangan kawat untuk membentuk cabang dan dahan pohon, serta membentuk akar pohon agar menyebar di atas media tanam.
Antok mengatakan, pembuatan bonsai melibatkan banyak pekerjaan dan memakan waktu bertahun-tahun. Bonsai wacang miliknya memerlukan waktu 10 tahun untuk menghasilkan bentuk ideal. Dari 10 tahun tersebut, proses seni pembentukan cabang dan dahan pohon sendiri menghabiskan waktu lima tahun.
”Dua tantangan besar dalam menghasilkan bonsai adalah merawat tanaman agar tetap hidup, tumbuh, dan berkembang dengan baik. Selain itu, tantangan membentuk tanaman untuk mendapatkan desainnya yang indah seperti bentuk gunung, air terjun, atau menggantung di jurang,” ucap Antok.
Pembudidaya dan juga penggemar bonsai asal Desa Juwetkenongo, Kecamatan Porong, Samsul Huda, menambahkan, banyak orang beranggapan bonsai tanaman mahal. Menurut dia, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Mereka bisa memulai dengan membeli bibit seharga ratusan ribu dan menikmati pembentukan tanamannya dari hari ke hari.
Bonsai menjadi mahal karena merupakan tanaman hidup yang berubah terus-menerus karena pengaruh tumbuh kembang, musim, atau faktor lainnya, seperti kecukupan unsur hara dalam media tanam.
Oleh karena itulah, pembuatan bonsai melibatkan berbagai macam pekerjaan, antaralain pemberian pupuk, penyemprotan hama dan jamur, pemangkasan, penyiraman, hingga penggantian media tanam sesuai pertumbuhan tanaman.
Dua tantangan besar dalam menghasilkan bonsai adalah merawat tanaman agar tetap hidup, tumbuh, dan berkembang dengan baik. Selain itu, tantangan membentuk tanaman untuk mendapatkan desainnya yang indah. (Antok)
”Di sekitar kita banyak jenis pohon yang cocok dibonsai, seperti wahong, sancang, cemara udang, beringin, asam jawa, legundi (Vitex trifolia), kimeng (Ficus microcarpa), dan santigi (Pemphis acidula). Sidoarjo terkenal sebagai pembudidaya bonsai santigi,” kata Samsul Huda yang memiliki ratusan koleksi bonsai di kebunnya.
Samsul mengatakan, meski menjadi pembudidaya, dia masih cenderung memelihara bonsai untuk dinikmati. Alasannya menyukai bonsai karena tanaman itu terkesan mewah dan elegan. Daya tarik lainnya, pembentukan yang beragam dan panjang untuk mendapatkan bentuk ideal.
Contohnya saat membonsai santigi, harus ekstra hati-hati karena dahannya kecil sehingga rawan patah. Saat patah, butuh waktu lama lagi untuk menumbuhkannya. Saat memasang kawat untuk membentuk dahan juga harus hati-hati. Ketika melepasnya jangan sampai melukai kulit pohon.
Penjabat Bupati Sidoarjo Hudiyono memberi apresiasi kepada pembudidaya bonsai karena dinilai menjadi motor penggerak ekonomi kreatif. Bonsai merupakan seni rupa dengan media tanam makhluk hidup. Selama pandemi, pembudidaya bonsai menjadi salah satu pelaku ekonomi yang eksis, bahkan berkembang signifikan dalam dunia bisnis.
”Penggemar bonsai yang sebelumnya hanya mengejar kesenangan mulailah menjadi pembudidaya agar kesejahteraannya semakin meningkat dan bisa membuka lapangan kerja baru bagi lingkungannya. Tak hanya memikat hati, jadikanlah bonsai sebagai penggerak roda ekonomi,” ujar Hudiyono.
Bonsai memang bentuknya mini. Namun, urusan memikat hati, tak perlu diragukan lagi. Bahkan kini, di masa pandemi, perannya berkembang menjadi penggerak roda ekonomi.
Baca juga : Drama Alam dalam Bonsai