Pelabuhan Masih Sepi, Pemprov Sulut Genjot Ekspor lewat Jalur Udara
Pemprov Sulut tingkatkan ekspor melalui jalur Manado-Tokyo yang difasilitasi penerbangan kargo langsung. Jalur laut telah terbuka, tetapi belum efektif karena perkara biaya logistik tinggi tak kunjung teratasi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memfokuskan peningkatan ekspor melalui jalur Manado-Tokyo yang difasilitasi penerbangan kargo langsung. Jalur laut telah terbuka, tetapi belum efektif karena perkara biaya logistik tinggi tak kunjung teratasi.
Melalui siaran pers, Minggu (28/2/2021), Pemprov Sulut menyatakan komitmennya menjadikan provinsi tersebut sebagai simpul logistik super (super hub) bagi Indonesia bagian timur. Harapan itu bertumpu pada upaya menjaga keberlanjutan penerbangan langsung dari Bandara Sam Ratulangi ke Bandara Narita, Jepang, sejak dimulai pada September 2020.
Selama Januari 2021, para pengusaha Sulut mengekspor 65,51 ton komoditas perikanan dan pertanian, terutama ikan tuna serta bermacam rempah-rempah. Nilai ekspor yang diberangkatkan dalam empat penerbangan setiap Rabu malam itu mencapai 232,706 dollar AS atau setara Rp 3,23 miliar.
Adapun volume ekspor komoditas yang diberangkatkan mencapai 16,37 ton per minggu. Nilai ini meningkat sejak pemberangkatan pertama pada 23 September 2021 yang mencapai 10,35 ton.
Gubernur Sulut Olly Dondokambey mengatakan, ekspor ini memberikan pengaruh baik dalam pembangunan sektor kemaritiman serta perekonomian di ”Bumi Nyiur Melambai”. Ini adalah bagian dari menjadikan Sulut sebagai pintu gerbang Indonesia ke kawasan Asia Pasifik dalam periode kepemimpinannya yang kedua selama 2021-2024.
Ekspor ke Jepang melalui jalur udara hanya membutuhkan sekitar tujuh jam.
”Saya harap ini bisa berjalan terus sehingga bermanfaat banyak bagi masyarakat Sulut dan sekitarnya. Namun, lebih khusus, saya berharap ini bermanfaat bagi Indonesia karena ada pintu ekspor baru selain dari daerah yang sudah ada selama ini,” katanya.
Selama Januari 2021, keseluruhan ekspor Sulut mencapai 94,28 juta dollar AS, meningkat 13,92 persen dibandingkan Desember 2020 senilai 82,76 juta dollar AS. Komoditas yang mendominasi adalah lemak dan minyak hewan dan nabati.
Rute langsung dari Manado ke Jepang memangkas rute jalur laut yang biasanya harus singgah terlebih dahulu di Jakarta atau Surabaya sebelum berangkat ke negara tujuan. Barang ekspor pun harus transit selama 24-30 jam, sementara biaya logistik tetap mahal. Adapun ekspor ke Jepang melalui jalur udara hanya membutuhkan sekitar tujuh jam.
Meskipun Bitung telah ditetapkan menjadi lokasi international hub port (pelabuhan simpul internasional) menurut Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012, hingga kini Sulut belum menjadi simpul logistik bagi komoditas ekspor yang akan diberangkatkan dari daerah-daerah di wilayah timur Indonesia.
Pemprov Sulut menduga, ekspor tertunda akibat mahalnya biaya bongkar muat dan biaya kepelabuhanan lainnya di Terminal Peti Kemas Bitung. Adapun beberapa eksportir di Bitung menduga adalah adanya monopoli jasa pelayaran ekspor (main line operator) oleh satu atau dua perusahaan yang membuka rute langsung ke luar negeri dari Bitung.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Edwin Kindangen mengatakan tidak akan membiarkan penguasaan bisnis peti kemas. Di sisi lain, penetapan biaya kepelabuhanan di Terminal Peti Kemas Bitung, yang selama ini dikeluhkan pengusaha, perlu diselidiki.
Hingga kini, pengiriman peti kemas 40 kaki dari Bitung ke China, misalnya, berkisar 1.600 dollar AS sampai lebih dari 2.000 dollar AS. Biaya tersebut jauh lebih mahal dibandingkan 500-700 dollar AS yang berlaku di pelabuhan di Jakarta dan Surabaya. Namun, beberapa eksportir tetap membayar mahal karena barang ekspor harus transit lebih dulu di Jakarta atau Surabaya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Perdagangan Internasional Disperindag Sulut Darwin Muksin mengatakan, gairah usaha jasa logistik dari Bitung langsung ke negara tujuan bisa dibangkitkan dengan regulasi khusus. ”Pemerintah bisa mewajibkan kapal-kapal feeder (pengumpan) dari wilayah timur Indonesia untuk singgah ke Bitung. Kalau sudah begitu, pintu ke Asia Pasifik akan terbuka,” ujarnya.
Terminal Peti Kemas Bitung sudah dilengkapi fasilitas yang memadai layaknya di Makassar dan Surabaya. Kapasitas pelabuhan itu juga telah ditingkatkan sejak awal 2020, yakni dari 250.000 TEU (peti kemas 20 kaki) menjadi 750.000 TEU per tahun.
General Manager PT Pelindo IV di Terminal Peti Kemas Bitung M Ayub Rizal mengatakan, biaya bongkar muat masih sama, yaitu Rp 812.500 per peti kemas 20 kaki. Biaya layanan lainnya pun hanya di kisaran puluhan ribu rupiah. ”Pada prinsipnya, biaya tidak pernah berubah,” ujar Ayub.
Kendati begitu, harga pasar jasa main line operator memang tergolong mahal, seperti di PT Mitra Intertrans Forwarding di Bitung. Layanan peti kemas ke China berkisar 1.600 dollar AS layaknya perusahaan lainnya. Dengan harga tersebut, peti kemas tetap singgah ke Makassar, Surabaya, dan Jakarta, tetapi tidak dibongkar lagi.