Meski di Puncak Musim Hujan, Sumsel Tetapkan Siaga Karhutla Maret Ini
Walau masih berada di puncak musim hujan, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akan menetapkan status siaga kebakaran hutan dan lahan pada awal Maret 2021. Sumsel memasuki musim kemarau pada dasarian kedua Mei.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Walau masih berada di puncak musim hujan, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akan menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan pada awal Maret 2021. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan di semua lini hingga ke tingkatan terkecil.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Senin (1/3/2021), di Palembang menuturkan, dalam waktu dekat, Pemprov Sumsel akan menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan.
”Kemungkinan minggu depan kita sudah menyiapkan satuan tugas karhutla, mulai dari administrasi hingga kesiapan personel di lapangan,” ucapnya.
Langkah ini dipandang perlu guna mengantisipasi potensi kebakaran lahan, terutama di kawasan yang rawan terbakar. Herman berharap tidak ada lagi kebakaran lahan di Sumatera Selatan. Kalaupun ada, luasnya tidak lebih dari karhutla di tahun 2020, yakni mencapai 946,33 hektar. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan kebakaran di tahun 2019 yang menghanguskan lahan 428.356 hektar.
Di sisi lain, Herman menilai kesadaran masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar juga semakin tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah desa rawan terbakar di Sumsel yang menurun dari 140 desa menjadi 90 desa rawan. ”Kalau bisa, jumlah desa rawan terbakar kita tekan lagi,” tegas Herman.
Agar visi itu tercapai, perlu ada komitmen dari semua pihak untuk menanggulangi kebakaran sejak dini. ”Jangan sekadar melarang petani untuk membakar, tetapi harus hadirkan solusi,” ucapnya.
Ke depan, ada dua rencana kerja yang sudah disiapkan untuk menanggulangi karhutla, yakni dengan berfokus pada pencegahan bukan pemadaman.
Misalnya, larangan untuk membakar lahan harus dibarengi dengan solusi. ”Jika tidak boleh dibakar, perlu dicari cara yang tepat agar hasil tebangan di kebun itu bisa diolah menjadi pupuk,” kata Herman.
Rencana lain adalah mengawasi lahan yang tidak terkelola, baik lahan milik negara, perusahaan, maupun kawasan yang sudah berizin tapi belum digarap. Langkah ini dianggap perlu karena lahan yang belum terkelola ini berpotensi memicu kebakaran lahan.
”Jika sudah terbakar, biaya yang dikeluarkan akan sangat besar,” jelas Herman. Untuk mengoperasikan helikopter water boombing saja, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus menggelontorkan dana hingga Rp 200 juta per jam.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Iriansyah menuturkan, hingga kini pihaknya masih berkoordinasi dengan pihak terkait untuk penetapan status siaga karhutla. ”Kami sedang menunggu laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkait prediksi masuknya musim kemarau,” ujarnya.
Ini sebagai bentuk kewaspadaan. Lebih baik mencegah daripada memadamkan. (Hartanto)
Dengan penetapan status siaga, maka koordinasi dengan instansi-instansi bisa lebih cepat, usulan bantuan kepada BNPB pun bisa lebih mudah. Menurut rencana, ujar Iriansyah, pihaknya akan mengusulkan untuk didatangkannya helikopter water boombing dan helikopter patroli. Selain itu, BPBD Sumsel juga mengusulkan penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) berupa hujan buatan guna membasahi lahan yang rentan terbakar.
Kepala Stasiun Klimatologi Palembang Hartanto menjelaskan, sampai saat ini, Sumsel masih berada di puncak musim hujan. Musim kemarau baru akan masuk di Sumsel pada dasarian kedua Mei. Sementara puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus 2021. ”Sementara untuk April, Sumsel memasuki musim peralihan. Pada situasi itu, akan terjadi cuaca ekstrem,” jelasnya.
Masuknya musim kemarau ditandai dengan menurunnya intensitas hujan di bawah 50 milimeter per dasarian (10 hari) dan kemudian berlanjut sampai dua dasarian berikutnya. Selain itu, hari tanpa hujan (HTH) juga akan meningkat. Hartanto memprediksi HTH pada masa musim kemarau di Sumsel tahun 2021 ini bisa mencapai 30 hari.
Kemarau tahun ini adalah kemarau normal. Jika dibandingkan tahun 2020, lanjut Hartanto, musim kemarau tahun ini akan lebih kering. Namun jika dibandingkan 2019, kemarau tahun ini masih lebih basah. Pada 2019, HTH di Sumsel hampir mencapai tiga bulan sehingga potensi terbakar saat itu sangat besar.
Hartanto menilai langkah pemerintah untuk menetapkan status siaga karhutla pada Maret ini dirasa sudah tepat karena ada beberapa daerah yang terpantau lahannya kering akibat tidak diguyur hujan dalam beberapa hari terakhir. ”Ini sebagai bentuk kewaspadaan. Lebih baik mencegah daripada memadamkan,” ujar Hartanto.