Sosok yang Ditakuti Para Koruptor Itu Telah Tiada…
Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar meninggal di Jakarta, Minggu (28/2/2021) siang. Meninggalnya Artidjo itu merupakan sebuah kehilangan besar bagi dunia peradilan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar meninggal di Jakarta, Minggu (28/2/2021) siang. Meninggalnya Artidjo merupakan sebuah kehilangan besar bagi dunia peradilan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Selama menjadi hakim di Mahkamah Agung, Artidjo dikenal sebagai sosok yang tegas karena kerap memperberat hukuman untuk para koruptor.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman, mengatakan, Artidjo merupakan sosok hakim agung yang tidak pernah goyah oleh berbagai macam godaan. Oleh karena itu, Artidjo menjadi hakim yang lurus dan bersikap tegas dalam menjatuhkan putusan.
”Sebagai hakim agung, beliau seperti karang yang tidak goyah oleh berbagai macam bentuk godaan dan bahkan mungkin cibiran dari banyak pihak,” kata Zaenur, saat dihubungi, Minggu sore, di Yogyakarta.
Artidjo Alkostar menjadi hakim agung dari jalur nonkarier sejak tahun 2000 dan pensiun pada tahun 2018. Setelah pensiun sebagai hakim agung, pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur, pada 22 Mei 1948 itu menjadi anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2019.
Sebelum menjadi hakim agung, Artidjo merupakan seorang advokat. Dia juga pernah bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta serta dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Zaenur memaparkan, putusan-putusan yang dijatuhkan Artidjo selama menjadi hakim agung menunjukkan semangat pemberantasan korupsi yang tinggi. Hal itu terlihat dari putusan Artidjo yang beberapa kali memperberat hukuman untuk para koruptor.
Baca juga : Tren Putusan Tak Wakili Harapan Publik
Pada tahun 2013, misalnya, majelis hakim tingkat kasasi yang dipimpin Artidjo memperberat hukuman bekas politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, dari 4 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta. Oleh majelis hakim pimpinan Artidjo, Angelina juga dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS (sekitar Rp 27,4 miliar).
Pada tahun 2014, majelis hakim kasasi yang diketuai Artidjo juga memperberat hukuman bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Tidak hanya itu, dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung (MA) juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik.
Bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga pernah merasakan pemberatan hukuman yang diputuskan oleh Artidjo. Dalam putusannya tahun 2015, majelis kasasi yang diketuai Artidjo menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan kepada Anas.
Selain itu, MA juga menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti senilai Rp 57,59 miliar dan 5.251.070 dollar AS, subsider 4 tahun penjara. MA juga mencabut hak politik Anas untuk menduduki jabatan publik.
Baca juga : Para Hakim Perlu Teladani Integritas Artidjo
Putusan untuk Anas itu jauh lebih berat dibandingkan dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Di pengadilan tingkat pertama, Anas dihukum 8 tahun penjara. Hukuman itu dikurangi majelis tingkat banding yang memvonis Anas 7 tahun penjara. Padahal, jaksa KPK menuntut Anas 15 tahun penjara.
Efek jera
Zaenur menyatakan, putusan-putusan yang dijatuhkan Artidjo dalam kasus korupsi sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dia menyebutkan, untuk melakukan pemberantasan korupsi, memang dibutuhkan putusan hukum yang tegas dan bisa memberi efek jera seperti putusan-putusan yang dijatuhkan Artidjo.
”Putusan-putusan Artidjo harusnya menjadi teladan bagaimana seorang penegak hukum tidak ragu-ragu memberikan putusan yang keras dalam kasus korupsi karena korupsi menjadi ’kanker’ yang menggerogoti bangsa Indonesia,” tutur Zaenur.
Menurut Zaenur, putusan-putusan Artidjo kerap dinilai keras karena hukuman untuk koruptor di Indonesia sering kali jauh di bawah tuntutan yang diajukan. Oleh karena itu, ketika Artidjo memberi putusan yang lebih berat, putusan tersebut dinilai sebagai sesuatu yang keras. ”Putusan Artidjo itu dirasa keras karena putusan-putusan korupsi di Indonesia terbiasa ’ajaib’,” ungkapnya.
Karena sering memperberat hukuman dalam kasus korupsi, Zaenur menyebut Artidjo menjadi sosok yang ditakuti para koruptor. Namun, setelah Artidjo pensiun pada 1 Juni 2018, sejumlah terpidana korupsi ramai-ramai mengajukan peninjauan kembali ke MA dengan harapan hukuman mereka bakal diringankan.
Baca juga : Artidjo, Sisiphus, dan Penegakan Hukum
”Sejak Artidjo pensiun dari MA, banyak terpidana korupsi ramai-ramai mengajukan peninjauan kembali karena sosok yang ditakuti para koruptor itu telah pensiun. Apalagi sekarang, sosok yang ditakuti itu telah tiada sehingga ini jelas merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia,” papar Zaenur.
Dosen dan pengayom
Dekan Fakultas Hukum (FH) UII Abdul Jamil mengatakan, selama menjadi hakim agung, Artidjo tetap mengajar sebagai dosen di fakultas tersebut. Menurut Jamil, Artidjo biasanya mengajar di kampus FH UII pada hari Sabtu dan Minggu. ”Waktu itu, biasanya beliau mengajar mahasiswa S-1 pada hari Sabtu dan mahasiswa S-2 dan S-3 pada Sabtu-Minggu,” katanya.
Jamil menambahkan, setelah menjadi anggota Dewan Pengawas KPK, Artidjo juga masih sering datang ke Yogyakarta untuk mengajar. Hal ini menunjukkan, Artidjo memiliki perhatian besar terhadap dunia pendidikan, khususnya di bidang hukum. ”Sampai sebelum pandemi, beliau masih sering datang ke Yogyakarta untuk mengajar. Saya tahu karena sering ketemu beliau,” ujarnya.
Menurut Jamil, saat mengajar sebagai dosen, Artidjo tidak hanya memberi penjelasan secara teoretis. Namun, Artidjo juga memberi kesempatan para mahasiswanya untuk berdiskusi secara terbuka. ”Beliau mendidik mahasiswa untuk berani berpendapat dan berani mendebat orang,” ucap Jamil, yang pernah menjadi mahasiswa Artidjo di FH UII pada tahun 1983.
Orangnya sangat tegas. Kalau sudah memegang prinsip, dipegang teguh.
Agus Suharjana (50), mantan mahasiswa Artidjo, mengenal almarhum sebagai sosok pengajar yang tegas dan berintegritas. Artidjo pernah mendirikan Sekolah Konsultan Hukum dan Advokat Profesional di Yogyakarta pada 1997.
Agus merupakan salah seorang angkatan didik pertama dari sekolah tersebut. ”Orangnya sangat tegas. Kalau sudah memegang prinsip, dipegang teguh,” katanya.
Setelah lulus dari Sekolah Konsultan Hukum dan Advokat Profesional, Agus kembali beraktivitas bersama Artidjo. Ia melanjutkan magang di kantor milik Artidjo, yakni Artidjo Alkostar and Associates.
Saat menjalani magang di kantor itu, Agus melihat sosok Artidjo sebagai sosok pembelajar dan pembaca yang kuat. ”Beliau pembelajar yang luar biasa. Di kantor, ada tujuh sampai delapan koran setiap hari. Dan, semuanya dibaca. Itu yang luar biasa,” kata Agus.
Di sisi lain, Artidjo juga dikenal sebagai sosok pengayom di lingkungan keluarga besarnya. ”Beliau sama keluarga dekat sekali. Sosok yang sangat sabar dan luar biasa. Pahlawan dan pejuang betul bagi kami,” kata Suryati, keponakan Artidjo, saat ditemui di rumah Artidjo di Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, DIY, Minggu sore.
Suryati menyebut, sifat pengayom yang dimiliki Artidjo merupakan buah dari permintaan orangtuanya. Sebab, Artidjo merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Artidjo pun dididik agar bisa menjadi seorang yang punya tanggung jawab terhadap adik-adik dan keluarganya. Misalnya, tujuh keponakannya, termasuk Suryati, dibiayai pendidikannya hingga merengkuh gelar sarjana.
Lebih dari itu, kepedulian Artidjo kepada keluarganya sangat tinggi. Almarhum kerap menelepon untuk menanyakan kabar. Bahkan, Minggu pagi, Artidjo masih sempat menelepon adik-adiknya. ”Beliau menelepon menanyakan kabar. Semua disuruh datang ke Jakarta,” ucap Suryati.
Menurut Suryati, sejak menjadi anggota Dewan Pengawas KPK, Artidjo belum pernah pulang ke rumahnya di Yogyakarta. Artidjo lebih banyak disibukkan dengan aktivitas di Jakarta. Dalam satu kali kesempatan, ia berjanji akan pulang ke Yogyakarta pada Januari lalu. Namun, almarhum sudah lebih dahulu dipanggil Tuhan.
Suryati mengenang, Artidjo justru lebih sering pulang ke Yogyakarta semasa menjabat sebagai hakim agung. Ia pulang hampir setiap pekan. Di Yogyakarta, aktivitasnya diisi dengan mengajar dan rapat di Badan Wakaf UII.
”Dia pasti kalau pulang menyempatkan ke PASTY (Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta) buat lihat-lihat ikan. Itu hiburan beliau kalau ke Yogyakarta,” kata Suryati.