Pertambangan emas ilegal di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, berada di pegunungan dengan lubang tambang tersebar di kebun warga dan hutan. Ada alat berat dioperasikan di sana.
Oleh
Videlis Jemali dan Irma Tambunan
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah bakal menyelidiki dugaan keberadaan pemodal atau cukong di pertambangan emas tanpa izin atau PETI di Desa Buranga, Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong. Informasi tentang adanya alat-alat berat di lokasi penambangan yang tengah pekan lalu longsor dan menewaskan enam orang disebut menjadi penguat dugaan ada pihak yang mendanai PETI.
Kepala Kepolisian Daerah Sulteng Inspektur Jenderal (Pol) Abdul Rakhman Baso menyatakan, tim akan menyelidiki dugaan keberadaan alat berat di lokasi tambang.
”Kalau itu terbukti (ada alat berat) dan dikelola cukong dan sebagainya, kami akan tindak,” kata Abdul di Palu, Sulteng, Sabtu (27/2/2021).
Rakhman menyatakan, penyelidikan akan berjalan setelah operasi pencarian korban tertimbun longsor dihentikan.
Kalau itu terbukti (ada alat berat) dan dikelola cukong dan sebagainya, kami akan tindak. (Irjen Abdul Rakhman Baso)
Sejumlah video yang diambil warga yang datang ke lokasi tambang sebelum longsor memperlihatkan dua alat berat yang menggaruk tanah di lubang tambang yang longsor tersebut. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Perwakilan Sulteng menyebutkan, ada 18 ekskavator yang beroperasi di PETI Buranga.
Longsor terjadi di salah satu lubang PETI di Buranga, Rabu (24/2/2021) malam. Saat longsor, tak kurang 100 orang berada di dalam lubang tambang untuk menambang dan mendulang bijih emas. Enam korban tewas telah dievakuasi pada Rabu dan Kamis (25/2/2021). Operasi pencarian satu korban masih berjalan dan berakhir pada hari ketujuh operasi atau Selasa nanti.
Lokasi PETI Buranga berjarak sekitar 8 kilometer dari jalan Trans-Sulawesi di tepi Teluk Tomini atau sekitar 45 kilometer dari Parigi, ibu kota Parigi Moutong, dan 110 kilometer dari Palu, ibu kota Provinsi Sulteng.
Pertambangan emas ilegal berada di pegunungan dengan lubang tambang tersebar di kebun warga dan hutan. Lubang tambang yang longsor berkedalaman sekitar 20 meter dengan dinding curam. Sebagian besar dasar lubang tambang digenangi air dan lumpur. Penambang dan pendulang bijih emas kebanyakan warga Ampibabo dan kecamatan sekitar.
Ketua Komisi Nasional HAM Perwakilan Sulteng Dedi Askary menyatakan, alat berat dioperasikan untuk membuat lubang tambang. Pengerukan dengan alat berat untuk mendapatkan bijih emas juga dilakukan di tepi Sungai Buranga. Warga hanya mendulang di dalam lubang yang digali dan digaruk dengan alat berat tersebut.
Dedi meminta agar keberadaan alat berat tersebut menjadi perhatian dalam penyelidikan kasus PETI Buranga. Warga hanya mendulang, sedangkan pemilik alat berat mengeruk dalam skala besar.
Ia mengingatkan, keberadaan PETI di Buranga rawan membawa petaka lingkungan, selain longsor. Sungai Buranga pernah meluap dan memicu banjir pada 1999 yang menewaskan tiga warga Desa Buranga. Keberadaan PETI bisa memperparah ancaman banjir.
Saat dihubungi, Ketua Badan Permusyawaratan Desa Buranga Arlan menyatakan, lokasi tambang sedang diurus izinnya untuk berstatus legal dengan mekanisme izin pertambangan rakyat. Ia tidak bisa memastikan apakah setelah longsor pengajuan izin dilanjutkan.
Kayu ilegal
Di Jambi, perusak lingkungan juga tengah diburu aparat. Sebelumnya, tiga pemodal ditahan aparat Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jambi karena mengawal lima truk berisi kayu curian. Hingga kemarin, dua pemodal lainnya masih dikejar.
Direktur Reskrimsus Polda Jambi Komisaris Besar Sigit Dany mengatakan, di jalan lingkar barat, Kota Jambi, iring-iringan truk dicegat dan para sopir diminta menunjukkan dokumen angkut kayu, tetapi dokumen itu tidak ada.
Lima sopir dan tiga pengawalnya dibawa ke Polda. ”Setelah melalui pemeriksaan, para sopir dilepaskan. Tiga orang lainnya yang mengaku sebagai pemilik kayu ditahan,” ujarnya.
Lebih lanjut dijelaskan Wakil Direskrimsus Polda Jambi Ajun Komisaris Besar Muhammad Santoso, jumlah kayu yang disita 38 meter kubik jenis rimba campuran. Kayu-kayu itu hasil tebangan dari lahan masyarakat di penyangga Taman Nasional Berbak Sembilang.
”Mereka mengaku menebang di lahan sendiri, tetapi saat kami minta bukti legalitas, mereka tidak bisa ditunjukkan,” jelasnya.
Operasi pemberantasan pembalakan liar, kata Santoso, diperkuat menjelang kemarau tahun ini. Sebab, pembalakan liar hampir selalu terkait dengan pembakaran lahan.
Catatan Kompas, pada 2015, 2017, dan 2019, pembalakan diketahui aktif berlangsung di sekitar areal kebakaran hutan dan lahan. Bahkan, para pembalak leluasa mengangkut kayu hasil curiannya ketika para petugas pemadam mengendalikan api yang tengah berkobar di lahan wilayah Kabupaten Muaro Jambi.