Tak Jadi PHK, Malah Tambah Tenaga Kerja karena Digitalisasi
Pandemi Covid-19 di Kota Medan justru membuat sejumlah pebisnis kreatif mengembangkan bisnis baru.
Hampir setahun pandemi Covid-19 mendera. Di Kota Medan, sejumlah usaha bertahan, beradaptasi cepat ke dunia digital dan merambah kebutuhan pokok yang tiada pernah mati, pangan.
Dengan cekatan, Kesi beru Ginting (49) mengeluarkan plastik sayuran dari lemari pendingin, Kamis (25/2/2021) pagi. Aneka sayuran ditata di atas meja besar berisi berbagai bahan pangan. Hijau sayur segar bersanding dengan jambu biji, bengkuang, dan aneka buah.
Di meja lain, kotak plastik berisi bawang merah, bawang putih, bawang bombai, jahe, kunyit, dan aneka bumbu tersusun rapi. Di sudut lain, karyawan mengemas ikan, ayam potong, dan udang.
Sebelum pandemi Covid-19, suasana seperti itu tak pernah dibayangkan Kesi. Pekerja di event organizer Matakail Communication itu biasanya mengurus properti kegiatan, bukan bahan dapur. ”Ini cara kami bertahan supaya tak ada pemutusan hubungan kerja (PHK),” ujarnya.
Kantor dan gudang properti Matakail Communication di Jalan Bunga Terompet, Sempakata, Medan, Sumatera Utara, itu disulap menjadi lokasi penyimpanan sayuran dan bumbu dapur. Lemari pendingin dan sayuran berjejer. Kantor dan karyawan yang biasa menangani pameran, peluncuran produk, hingga acara instansi itu berkutat dengan produk pangan.
”Serem waktu itu. Kami sempat menutup kantor di awal pandemi. Banyak acara ditunda dan dibatalkan. Awalnya kami kira tiga bulan saja, ternyata sampai sekarang,” kata Henny Pandiangan (42), pemilik Matakail.
Di tengah tekanan situasi dan ancaman memberhentikan karyawan, ia berkomunikasi dengan kerabat di Harian Boho, Samosir. Kerabatnya yang petani itu mengeluh bawang merahnya tidak laku.
Henny membeli 60 kilogram bawang merah yang dikirim ke Medan menggunakan angkutan umum. Lalu, ia menawarkannya kepada teman-temannya lewat media sosial. Dalam seminggu, bawang merah itu habis. Sarjana pertanian ini pun mulai berpikir untuk menjual produk pertanian yang tidak bisa dibawa petani ke kota. Ia mengajak karyawannya dan mereka menyetujuinya.
Lewat pertemanan dan media sosial, dengan cepat ia mendapat pasokan dari petani di Tapanuli Utara, Karo, dan Simalungun. Dua kali seminggu petani mengirim sayuran. Ia membelinya 30 persen lebih tinggi daripada harga pokok produksi. ”Harga pasar naik atau turun tetap segitu kami beli supaya petani terus bertani,” ujar Henny.
Penjualan produk dilakukan daring melalui aneka aplikasi dan media sosial. Sayuran dikirim tim hingga depan rumah pemesan. Barang rusak pun langsung diganti baru, gratis.
Sehari ia bisa mendapat 50 order dengan transaksi puluhan ribu hingga jutaan rupiah. ”Tak jadi mem-PHK karyawan dan tutup,” ucap Henny, yang sempat menurunkan gaji karyawan.
Kini, ia justru menambah 13 karyawan untuk mengurusi bisnis barunya, Huta Fresh Market, yang memiliki aplikasi penjualan sendiri. Belakangan, usahanya dilirik investor karena dinilai prospektif dan peluangnya terbuka lebar.
Jelang akhir tahun 2020, event organizer juga mulai jalan. Ini karena kegiatan dengan protokol kesehatan ketat dan pengurangan jumlah peserta mulai bisa dilakukan. Selain itu, ada juga acara-acara daring yang dikembangkan.
Seiring pertambahan keluarga muda generasi digital dan adaptasi pada aplikasi digital, geliat bisnis produk pangan bertahan. (Wahyu Ario Pratomo)
Lain lagi Robert Sianipar, pemilik Galery Ulos Sianipar dan UMKM di Jalan Pendidikan, Medan. Ia pernah menutup tokonya tiga bulan. Lebih dari 100 karyawan dan ratusan petenun ulos stop bekerja. ”Juni, Juli, Agustus tutup total,” katanya.
Seusai berdiskusi dengan karyawannya, ia justru menjadikan galeri ulosnya perseroan terbatas, PT Galang Ulos Sianipar. Robert mulai berjualan lewat marketplace dan media sosial. Dua kali sehari, timnya siaran langsung di media sosial. Untuk itu, ia mempekerjakan lima karyawan baru.
Jelang akhir tahun, galerinya buka dengan protokol kesehatan ketat. Karyawan begiliran jaga di tengah pandemi. Kini, omzetnya naik hingga 40 persen.
Sadar bisnis ulosnya bukan kebutuhan pokok, ia melebarkan bisnis ke sektor perikanan. ”Karena orang membutuhkan ikan,” katanya.
Robert membeli kapal ikan di Sibolga pada akhir 2020. Saat ini ada dua kapal berukuran 22 gros ton dengan 11 pekerja di setiap kapal. ”Mei depan, jumlahnya jadi empat unit,” katanya.
Terus bertahan
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sumatera Utara Soekowardojo mengatakan, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi salah satu penopang utama ekonomi Sumut di tengah pandemi. ”Sektor ini juga mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap ekonomi sumut, yakni 21 persen dari total produk domestik regional bruto Sumut,” katanya.
Sektor itu juga merupakan yang paling berpotensi dikembangkan di Sumut selama pandemi. Meskipun pertumbuhan ekonomi Sumut pada 2020 masih mengalami kontraksi, yakni minus 1,07 persen, sektor pertanian tumbuh 1,95 persen.
Pihaknya juga terus mengakselerasi ekonomi digital di Sumut dengan memperluas penggunaan pembayaran secara digital melalui kode respon cepat (QRIS/quick response code Indonesian standard). Data Bank Indonesia Perwakilan Sumut, transaksi nontunai melalui QRIS di Sumut terus meningkat. Pada Desember 2020, transaksi menggunakan QRIS mencapai Rp 23,3 miliar dengan 10 juta transaksi dan transaksi melalui uang elektronik mencapai Rp 706 miliar dengan 389 ribu transaksi selama satu bulan.
”Kami menargetkan 260.000 pedagang menggunakan fasilitas pembayaran dengan QRIS untuk memperluas ekosistem ekonomi digital di Sumut,” katanya.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, Wahyu Ario Pratomo, mengatakan, bisnis pangan akan bertahan dalam kondisi apa pun, termasuk saat pandemi. ”Hal itu juga yang membuat Sumut mengalami kontraksi tak begitu dalam karena ditopang sektor pertanian,” katanya.
Sumatera Utara, kata Wahyu, juga salah satu lumbung pangan nasional penghasil sayur-sayuran, ikan, daging ayam, dan telur ayam yang tidak hanya untuk wilayahnya, tetapi juga beberapa provinsi tetangga. Pertanian di Sumut juga didukung lahan subur dan kultur bertani yang kuat.
Seiring pertambahan keluarga muda generasi digital dan adaptasi pada aplikasi digital, geliat bisnis produk pangan bertahan. Karakter adaptif pada situasi itu membuat Henny, Robert, dan pebisnis sejenis eksis di Kota Medan. Malah berkembang saat pandemi.