Produk Bermasalah di Pasar Ekspor, Petani Kopi Jabar Butuh Dampingan
Produk kopi Jabar sulit masuk pasar ekspor karena kualitas antara sampel dan produk tidak konsisten. Padahal, kopi Jabar punya potensi besar karena memiliki kualitas tinggi, bahkan sempat memenangkan kompetisi dunia.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Kualitas produk petani kopi rakyat masih jadi kendala komoditas kopi Jawa Barat masuk pasar ekspor. Pelatihan bagi petani dibutuhkan untuk meningkatkan daya tarik produk di mata dunia.
Ketua Bidang Logistik dan Shipping Dewan Pengurus Daerah Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (DPD GPEI) Jabar, Samsul Rizal menyatakan, salah satu problem yang menyebabkan produk kopi Jabar sulit masuk pasar ekspor adalah kualitas yang tidak konsisten antara sampel dan produk. Problem konsistensi ini sering dialami oleh produk-produk petani rakyat.
Samsul menuturkan, para penjual tidak memperhatikan kemasan kopi yang dikirimkan dengan menggunakan kapal kargo. Padahal, penggunaan kapal membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga memengaruhi kualitas biji kopi yang dikirimkan.
“Biasanya para penjual mengirimkan sampel dengan jalur udara yang lebih cepat sampai ke negara tujuan sehingga kualitasnya masih terjaga. Namun, saat (mengirimkan produk) menggunakan kapal, kualitasnya jadi berbeda. Ini yang merusak harga produk ekspor tersebut,” ujarnya dalam diskusi daring Pusat Studi Inovasi Pembangunan Masyarakat Universitas Padjadjaran (Unpad), Sabtu (27/2/2021).
Degradasi kualitas produk karena problem distribusi atau pengangkutan ini sangat disayangkan, karena kopi bisa menjadi komoditas utama yang menguntungkan.
GPEI mencatat produksi biji kopi rata-rata di Jabar mencapai 17.628 ton per tahun dan berkontribusi dari 3 persen produksi kopi nasional. Bahkan luar areal perkebunan di Jabar saat ini terhitung 492.889 hektar atau 13,2 persen dari luas Provinsi Jabar.
Di aspek produksi, petani-petani rakyat memegang peranan utama. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar, sebanyak 21.298 ton kopi berasal dari pekebunan rakyat. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan perkebunan swasta (48,4 ton) dan perkebunan milik pemerintah (28,9) ton.
Belum adanya pendampingan membuat petani tidak serius menggarap kopi. Karena itu, pendampingan bagi para petani sangat dibutuhkan. (Tarli Sutarli)
Kopi-kopi di Jabar juga sempat dilirik dunia. Sebelumnya, Kopi Puntang sempat terpilih menjadi komoditas dengan harga termahal di Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo di Amerika Serikat tahun 2016. Dalam kegiatan internasional ini, kopi yang dibawa oleh Ayi Sutedja (56), petani kopi asal Kabupaten Bandung, terjual dengan harga tertinggi karena memiliki cita rasa terbaik.
Kesuksesan itu didapat karena perlakuan yang khusus dan telaten dari Ayi dalam merawat setiap pohon. Seperti yang ditulis dalam Kompas, Selasa (28/6/2016), Ayi tidak menggunakan pupuk kimia dan menggunakan pohon pelindung yang berakar kuat seperti alpukat dan jambu. Selain melindungi matahari, pola itu dilakukan untuk mencegah longsor.
Samsul menyatakan potensi besar itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Karena itu, kemampuan petani dalam mengolah produk yang sesuai dengan permintaan pasar perlu ditingkatkan.
“Apa yang dibutuhkan pasar, apa yang diminta buyer (pembeli), itu yang kita tanam. Apabila kita fokus dalam menggarap kopi, pembenahan dari hulu harus dilakukan. Jangan sampai ada kata tertinggal. Kesempatan masih terbuka lebar,” ujar Samsul.
Butuh pendampingan
Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Kabupaten Pangandaran Tarli Sutarli menuturkan, belum adanya pendampingan membuat petani tidak serius menggarap kopi. Karena itu, pendampingan bagi para petani sangat dibutuhkan, mulai penanaman, panen hingga pengolahan menjadi biji kopi yang siap dijual.
“Masih banyak petani kopi yang kami temui belum memiliki pengalaman dan pengetahuan yang baik. Mereka tidak memperhatikan benih yang ditanam, bahkan penjemuran pun asal-asalan. Karena itu, para petani sangat membutuhkan pendampingan,” ujarnya.