Munawar (41), warga Lhokseumawe, Aceh, tergerak melihat ikan tangkapan nelayan banyak terbuang. Dia lalu mengolah ikan-ikan itu menjadi kuliner siap saji. Kini dia telah memproduksi "keumamah" dengan aneka varian.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Munawar (41), warga Desa Alue Awe, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, Aceh, lihai membaca peluang bisnis. Saat ikan tangkapan nelayan banyak terbuang, dia mengolah ikan-ikan itu menjadi kuliner ”keumamah” siap saji. Modal kecil, untung berlipat.
Pada 2016, tangkapan ikan nelayan di Kota Lhokseumawe melimpah. Sebagian tidak terserap oleh pasar sehingga terpaksa dibuang. Menyaksikan kondisi itu, Munawar yang juga dosen kewirausahaan Universitas Almuslim Bireuen berpikir untuk mengolahnya menjadi keumamah atau ikan kayu.
Dia membeli beberapa kilogram ikan tongkol untuk diolah menjadi keumamah. Proses pembuatannya dimulai dengan merebus ikan. Ikan yang telah matang kemudian dijemur sampai benar-benar kering agar bisa tahan hingga berbulan-bulan. Munawar memasak dan mengolah ikan untuk pembuatan keumamah itu di rumah. Usahanya dijalankan bersama sang istri.
Keumamah adalah makanan legendaris di Aceh. Pada masa perang, keumamah menjadi logistik pangan para pejuang. Keumamah enak dimasak tumis, kuah, atau disambal. Setiap tahun jemaah haji dari Aceh bahkan membawa keumamah sebagai menu makan di Arab Saudi.
Jualan untuk kawan
Munawar sebenarnya tidak pandai memasak, tetapi karena usaha ini baru dimulai, mau tidak mau dia harus belajar memasak. Menurut dia, pelaku usaha harus paham atas usaha yang sedang dijalankan sehingga kualitas produk mudah dikontrol.
Munawar tinggal di Lhokseumawe, tetapi mengajar di kampus Almuslim di Kabupaten Bireuen. Setiap pagi karyawan Almuslim yang tinggal di Lhokseumawe diantar-jemput menggunakan bus kampus.
Sebagian besar di antara mereka membawa bekal untuk makan siang. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Munawar untuk menguji kualitas produknya. Keumamah tumis dibagikan gratis kepada kawan-kawannya. Dari setiap orang yang dikasih, bakal ditanyai pendapatnya soal cita rasa produk Munawar. Masukan kawan-kawan menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan.
Sebulan kemudian, kawan-kawanya hanya membawa nasi tanpa lauk karena lauknya dipesan dari Munawar. ”Tetapi tidak gratis lagi, di sini mulai jual,” ujarnya.
Saat itu, kemasannya masih menggunakan plastik. Namun, kini kemasannya menggunakan botol yang ditempel stiker. Sekilas seperti produk pabrikan. Ke depan, dia berencana mengemasnya dalam kaleng, seperti sarden. Produk Mr Phep telah mendapatkan izin kesehatan dan sertifikat halal.
Menurut Munawar, sebagai pelaku pemula usaha, dia memanfaatkan rekan kerja dan teman-teman sebagai pasar. Strategi itu cukup efektif. Setiap hari 15–20 bungkus ludes. Harga per bungkus Rp 20.000. Lama-lama penjualan semakin naik.
Jika ada pesanan dalam volume besar, dia mempekerjakan para tetangga dengan bayaran harian. Dalam sebulan produksinya mencapai 90 kilogram keumamah. Belakangan varian produk Mr Phep bertambah, seperti pepes, sambal udang, somai ikan tenggiri, sambal teri, sambal sunti, dan sari lemon.
Merek Mr Phep baru ditabalkan pada tahun 2018. Mr Phep adalah perpaduan bahasa Inggris dengan bahasa Aceh. Mr atau tuan (Inggris) dan phep atau tumis (Aceh). Dengan perpaduan nama itu Munawar berharap suatu saat Mr Phep menjangkau pasar internasional.
Dia berharap keumamah terkenal seperti tom yam, kebab, ramen, dan burger. ”Makanan ini dari luar negeri, tetapi sangat familiar di Indonesia. Seharusnya makanan Indonesia juga terkenal di luar negeri,” kata Munawar.
Suvenir
Kala itu, dia juga mulai promosi lewat media sosial. Dia membangun citra Mr Phep sebagai kuliner tradisional Aceh yang cocok untuk jadi suvenir atau oleh-oleh wisatawan. Pada 2018, Munawar membuka kedai galeri kuliner Aceh.
Kedai itu berada di depan kampus Intitut Agama Islam Negeri Malikussaleh Lhokseumawe. Tujuannya bukan hanya sebagai tempat jualan Mr Phep, melainkan untuk membantu promosi kuliner tradisional Aceh lain, seperti kue-kue kering atau kerajinan tangan. Munawar ingin para pelaku usaha lokal ikut tumbuh bersama.
Kala itu penjualan terus bertambah. Turis dari Malaysia banyak membeli Mr Phep sebagai oleh-oleh. Omzetnya perbulan mencapai Rp 5 juta hingga Rp 8 juta. Munawar juga melayani pesanan keumamah curah, biasanya untuk keperluan pesta pernikahan atau hajatan lain.
Munawar ingin para pelaku usaha lokal ikut tumbuh bersama.
Namun, sayangnya, saat usaha Munawar mulai menanjak, pandemi Covid-19 membuatnya terhambat. Penjualan menurun dari Rp 5 juta menjadi Rp 2 juta. Pesanan untuk pesta pernikahan juga tidak ada.
Munawar mengatakan, meski penjualan menurun, dia harus bertahan sembari berharap pandemi segera berakhir. ”Sekarang saya harus maksimalkan promosi dan penjualan daring,” kata Munawar.
Munawar mengajak para pelaku usaha kuliner tradisional Aceh untuk sama-sama berjuang mempromosikan produk Aceh ke pasar nasional dan global. Sebagai dosen, Munawar juga mendorong mahasiswa untuk berani membuka usaha.
Menurut Munawar peluang usaha selalu terbuka dan anak-anak muda harus pandai membaca peluang tersebut. Sebelum menjalankan usaha Mr Phep, Munawar pernah membuka warung internet dan toko buku.
Belakangan Munawar juga sering menjadi pemateri untuk pengembangan usaha kecil menengah di Lhokseumawe. Mr Phep juga sering mengikuti pameran kuliner baik di lokal maupun di nasional.