Tiga Kepala Daerah di Sultra Dilantik, Ketimpangan Pembangunan Jadi Masalah Sistemik
Tiga pasang bupati-wakil bupati di Sulawesi Tenggara dilantik secara bersamaan pada Jumat (26/2/2021). Persoalan ketimpangan pembangunan menjadi masalah sistemik yang harus dituntaskan para kepala daerah baru itu.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Tiga pasang bupati-wakil bupati di Sulawesi Tenggara dilantik secara bersamaan pada Jumat (26/2/2021). Persoalan ketimpangan pembangunan menjadi masalah sistemik yang harus dituntaskan para kepala daerah baru itu. Mereka pun diharapkan fokus pada sektor utama di daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Gubernur Sultra Ali Mazi melantik tiga pasangan bupati-wabup terpilih di rumah jabatan pada Jumat pagi. Kepala daerah yang dilantik ini adalah pasangan Samsul Bahri-Andi Merya Nur untuk Kabupaten Kolaka Timur, Ridwan Zakaria-Ahali di Kabupaten Buton Utara, serta pasangan Amrullah-Andi M Lutfi untuk Kabupaten Konawe Kepulauan.
”Hari ini saya melantik tiga pasangan terpilih pada Pilkada 2020, sementara empat daerah masih menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi. Setelah dilantiknya saudara, tidak ada lagi persoalan mendukung atau tidak mendukung. Semuanya harus menyatukan langkah untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Ali dalam sambutannya.
Semua kepala daerah yang telah dilantik, ia melanjutkan, harus bekerja keras tanpa kenal waktu. Langkah konkret dan inovasi dibutuhkan untuk meraih target pembangunan. Program yang telah dirancang dan janji kampanye harus terwujud. ”Langkah konkret dibutuhkan agar mengurangi ketimpangan pembangunan yang terjadi di masing-masing daerah. Tantangan ke depan semakin besar dan kompleks. Strategi terbaik dibutuhkan, yang dilengkapi dengan kinerja dan sinergi dari semua pihak,” tambahnya.
Oleh sebab itu, Ali menyampaikan, semua komponen masyarakat harus dirangkul agar tercipta harmonisasi di daerah. Sinergi antarpemangku kepentingan menjadi modal utama dalam merealisasikan program. Sebab, pembangunan akan berhasil dan ketimpangan bisa diatasi dengan harmonisasi dan sinergi yang baik.
Terlebih lagi, dari tiga pasangan yang dilantik, ada unsur petahana, baik itu bupati, wakil bupati, maupun keduanya. ”Seperti di Konawe Kepulauan yang keduanya dipercaya kembali oleh masyarakat memimpin daerah. Di Buton Utara ada Ridwan Zakaria dan di Kolaka Timur ada Andi Merya Nur,” kata Ali.
Persoalan ketimpangan memang menjadi masalah besar di tiga daerah ini. Konawe Kepulauan, misalnya, memiliki jumlah penduduk miskin pada 2020 sebanyak 5.880 orang. Jumlah ini naik dari sebelumnya yang sekitar 5.860 orang. Secara persentase, yang mencapai 17 persen, menjadikan daerah ini dengan angka penduduk miskin paling tinggi di Sulawesi Tenggara dari total 17 kabupaten/kota.
Sementara itu, wilayah Buton Utara dengan jumlah penduduk miskin pada 2020 sebanyak 9.130 jiwa, atau 14 persen dari total penduduk, berada di peringkat ketiga daerah dengan penduduk miskin paling tinggi. Wilayah Kolaka Timur, dengan 26.380 orang penduduk miskin, atau sekitar 13 persen, berada di urutan kelima.
Indeks pembangunan manusia di tiga kabupaten ini juga di bawah rata-rata nasional, yang pada 2020 di angka 71,94. Wilayah Konawe Kepulauan di angka 65,41, Buton Utara 67,87, dan Kolaka Timur adalah 67,02.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsu Anam menjabarkan, ketiga daerah yang telah memiliki kepala daerah definitif ini memang memiliki persoalan sistemik terkait kemiskinan dan pembangunan. Hal itu terjadi karena pemimpin daerah belum mengakselerasi pembangunan dari potensi dan sumber daya yang dimiliki.
”Buton Utara sejauh ini mulai terlihat dengan gerakan di kelautan ataupun pertanian. Tapi, sayangnya belum sampai di hasil akhir. Sementara, Kolaka Timur dan Konawe Kepulauan itu masih belum ada fokus pembangunan sama sekali. Selain karena daerah baru, prioritas pembangunan belum terlihat,” ucapnya.
Syamsu mencontohkan, Buton Utara memiliki hasil rumput laut sebanyak 28.204 ton pada 2020. Produksi ini senilai Rp 76 miliar, yang merupakan kelima terbesar se-Sultra. Akan tetapi, belum ada hasil turunan yang berdampak luas terhadap masyarakat, baik secara industri maupun usaha rumah tangga yang masif.
Di Kolaka Timur, produksi pertanian, khususnya padi, mencapai 89.392 ton pada 2020, atau meningkat 2.000 ton dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, luas lahan berkurang sekitar 800 hektar dalam satu tahun. Hal tersebut menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengembangkan sektor ini untuk masyarakat. Penurunan ini ditengarai akibat industri perkebunan skala besar, utamanya kelapa sawit.
Sementara itu, Konawe Kepulauan yang memiliki garis pantai 178 kilometer juga tidak mampu memanfaatkan potensi yang ada. Perikanan tangkap di wilayah ini hanya menghasilkan 5.767 ton, atau sekitar Rp 195 juta. Daerah ini juga memiliki sejumlah masalah terkait pertambangan akibat diberikannya sejumlah izin usaha pertambangan ke perusahaan.
”Potensi utama Sultra itu adalah sektor pertanian, perkebunan, perikanan, serta kelautan. Industri ekstraktif itu tidak berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat meski berperan besar terhadap PDRB wilayah. Untuk apa angka besar, tetapi tidak menyejahterakan masyarakat, malah semakin memperdalam jurang ketimpangan dan kemiskinan,” ujar Syamsu.
Oleh karena itu, ia menyarankan para kepala daerah baru ini menetapkan langkah strategis terhadap potensi utama yang dimiliki. Dukungan anggaran, konsep yang matang, dan eksekusi yang rapi menjadi kunci untuk meningkatkan kesejahteraan berbasis sumber daya.