Devi Paulus Lopulalan, Melestarikan Laut dengan Sasi
Devi Paulus Lopulalan menginisiasi gerakan jaga laut bersama masyarakat lokal di Pulau Seira dan sekitarnya. Perairan di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, itu kaya akan teripang dan telur ikan terbang.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Perairan Seira di Kepulauan Tanimbar, Maluku, merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya laut terutama ikan, telur ikan terbang, dan teripang. Pelaku kejahatan perairan sering mengeksploitasi hasil laut di sana. Sekitar satu dekade terakhir, Devi Paulus Lopulalan (42) terlibat aktif menjaga perairan seluas lebih kurang 150 kilometer persegi itu.
Devi Paulus Lopulalan, yang akrab disapa Depol, melangkah tegap mendekati beberapa pria jangkung yang terus memelototinya saat ia berjalan semakin dekat ke mereka. Berhenti di tengah kerumuman para pria bertelanjang dada itu, tatapan mata Depol tertuju kepada salah satu dari mereka sambil memberi isyarat agar orang itu mengikutinya.
Pria yang diajak tadi mengikutinya dari belakang menuju sebuah gubuk dekat mereka berkumpul. Di sana Depol menyergahnya. ”Su (sudah) dapat berapa juta dari hasil jual teripang?” tanya Depol dengan sorot mata tajam.
Pria itu hanya menunduk dan terdiam. Belum sempat menjawab, Depol menimpali kembali dengan pernyataan yang sengaja bertujuan menggugah nurani pria itu. ”Kamong (kalian) tau ka seng (tidak), sekarang banyak orang tua susah cari uang buat kasih sekolah dorang (mereka) punya anak. Beta (saya) minta stop,” ujar Depol sembari meninggalkan pria itu di Pulau Tatunarwatu, 26 Agustus 2017.
Tatunarwatu menjadi pulau kelima yang ia datangi dalam misi menelusuri jejak pencurian teripang (Holothuroidea) selama dua hari waktu itu. Tatunarwatu diduga menjadi tempat persembunyian komplotan pencuri teripang. Informasi itu terkonfirmasi dari warga dan nelayan yang ditemui Depol di Pulau Seira, Ngolin, Tamdalan Nawa, dan Wuriaru.
Gugusan pulau itu berada di sebelah barat Pulau Yamdena, pulau terbesar di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Untuk menjangkau ke pulau terdekat, yakni Seira, bisa menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh sekitar satu jam dari Yamdena. Selanjutnya, ke empat pulau lain dijangkau dengan waktu tempuh 2-4 jam.
Kedatangan Depol ke Tatunarwatu untuk memberi peringatan kepada kelompok pemuda itu agar berhenti mengambil teripang. Hal itu dilakukan setelah masyarakat meminta agar pencurian dihentikan. Teripang menjadi sandaran hidup masyarakat setempat yang berjumlah sekitar 7.000 jiwa. Dengan menjual teripang, hasilnya digunakan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka.
Aksi pencurian teripang kala itu masif. Para pemuda, termasuk yang didatangi Depol di Pulau Tatunarwatu, dipekerjakan oleh pemodal. Mereka mendapat beking sejumlah oknum aparat. Mereka dibekali mesin kompresor dan peralatan selam untuk mengambil teripang pada malam hari. Hasil penjualan dibagi menurut kesepakatan. Harga teripang saat itu Rp 245.000 hingga Rp 1,8 juta per kilogram (kg).
Berkat penelusuran Depol, informasi mengenai pencurian teripang akhirnya mencuat ke publik. Ia dicari banyak pihak, baik yang bermaksud menggali informasi maupun yang ingin mengintimidasi. Perwakilan dari sejumlah instansi, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, datang ke Pulau Seira. Beberapa oknum aparat yang terlibat akhirnya diproses hukum.
Tak hanya pencurian teripang, Depol juga mendorong gerakan penertiban terhadap nelayan dari luar Maluku yang mengambil telur ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) secara berlebihan. Setiap tahun, terdapat lebih dari 100 kapal yang mengambil telur ikan. Periode pengambilan telur ikan biasanya mulai Mei hingga September.
Saat musim gelombang tinggi dan ikan terbang bertelur, mereka beraksi. Satu kapal bisa mengambil sampai 1 ton telur ikan yang kemudian dijual dengan harga Rp 400.000 per kg. Pengambilan telur ikan berlebihan akan mengurangi populasi ikan terbang. Nelayan setempat mengeluh dan meminta agar pengambilan telur ikan dibatasi.
Kearifan lokal
Di tengah kondisi itu, Depol melihat budaya sasi menjadi modal baginya untuk mengampanyekan gerakan menjaga laut. Sasi memang sudah ada sejak dulu dan perlu dilestarikan. Sasi merupakan kearifan lokal dalam menjaga agar hasil alam tetap lestari dan berkelanjutan. Teripang salah satunya.
Selama periode sasi, hasil alam di tempat itu tidak boleh diambil. Setelah sasi dibuka, masyarakat baru boleh memanen teripang kembali. Tujuannya, agar pengambilan teripang dibatasi. Selain itu, juga untuk memberi waktu pemulihan ekosistem perairan sehingga hasil produksi tetap maksimal.
Untuk mengawal itu, patroli dan pengamanan laut oleh masyarakat lokal dirancang Depol bersama tokoh masyarakat dan tokoh adat. Mereka membentuk semacam tim penjaga laut yang melibatkan para pemuda. Mereka secara berkala melakukan patroli di perairan Seira. Di setiap pulau, Depol menugaskan masyarakat setempat menjadi mata-mata.
Mereka memantau pergerakan orang dan kapal yang datang serta mencatat temuan dan mengambil informasi langsung dari lapangan. Jika ada yang mencurigakan, mereka segera menghubungi Depol agar diambil tindakan. Bagi yang tinggal di pulau di luar jangkauan jaringan seluler, mereka menitip laporan tertulis lewat nelayan untuk diteruskan kepada Depol yang tinggal di Pulau Seira. Terkadang, mereka datang langsung ke Seira untuk menyampaikan laporan.
Berkat kerja sama itu, masyarakat mulai menikmati hasil laut yang semakin banyak dan berkelanjutan. ”Sekarang ini, teripang sudah banyak dan masyarakat semakin mudah mendapatkan uang untuk menopang hidupnya. Pengambilan telur ikan terbang juga mulai mendapat perhatian dari pemerintah,” ujar Depol saat ditemui di Kota Ambon, awal Februari 2021.
Menurut Depol, kearifan lokal seperti sasi menjadi kekuatan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Dengan sasi, masyarakat adat memiliki otoritas untuk melarang dan mengizinkan pengambilan hasil alam. Dalam konteks Maluku, kepemilikan wilayah adat tidak hanya di darat, tetapi juga perairan.
Selama 10 tahun terakhir Depol bertugas sebagai pendeta pada Gereja Protestan Maluku di daerah itu. Ia membuktikan pentingnya tokoh agama dan masyarakat adat lokal berkolaborasi membangun kekuatan untuk menjaga alam tetap lestari dan hasilnya bisa dinikmati secara berkelanjutan.
Devi Paulus Lopulalan
Lahir : Porto, 28 Desember 1978
Pendidikan terakhir : Sarjana Filsafat pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (1996 - 2002)