Sebanyak enam kecamatan di Lamongan, Jawa Timur, masih direndam banjir. Faktor kelalaian manusia ikut memicu terjadinya bencana ini.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Banjir akibat luapan Sungai Bengawan Jero yang merendam enam kecamatan di Lamongan, Jawa Timur, belum surut hingga Kamis (25/2/2020). Selain faktor alam, ulah manusia jadi pemicu utama banjir yang kerap terjadi di daerah itu.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lamongan menyebutkan, enam kecamatan terdampak banjir adalah Deket, Glagah, Kalitengah, Karangbinangun, Karanggeneng, dan Turi. Sungai Bengawan Jero tak lain anak Sungai Bengawan Solo.
Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Lamongan Muslimin saat dihubungi dari Surabaya, mengatakan, banjir ini kejadian berulang yang belum bisa diatasi. Bahkan, potensi bahayanya kali ini lebih tinggi karena terjadi saat pandemi Covid-19.
Berdasarkan catatan Kompas, Bengawan Jero meluap dan membanjiri enam kecamatan di awal 2021. Banjir baru surut setelah 30 hari merendam 7.726 rumah di 42 desa. Setelah tiga pekan tidak teredam air, sebagian Lamongan kembali dilanda banjir.
Kali ini, 4.156 rumah terendam dan 4.324 rumah tangga terdampak. Ketinggian banjir di dalam rumah mencapai 50 sentimeter. Banjir bahkan merendam jalan hingga 1 meter. Mobilitas warga terpaksa menggunakan perahu. Masyarakat yang bertahan di rumah-rumah karena pengungsian terbatas berisiko terkena penyakit kulit dan pencernaan.
Pemerintah Kabupaten Lamongan berusaha mengoptimalkan pemompaan air Bengawan Jero ke Bengawan Solo untuk meminimalkan ketinggian banjir. Namun, dampaknya tidak signifikan karena hujan masih turun dengan intensitas tinggi dan durasi lama.
Sejumlah waduk dan rawa juga tidak dapat menampung air hujan. Salah satunya air Waduk Gondang yang melimpas hingga 30 cm sehingga turut memperparah banjir.
Situasi kian rumit karena fungsi prasarana peredam potensi banjir tidak berfungsi ideal. BPBD Lamongan mencatat dinding tanggul Waduk Mojomanis, Kecamatan Kembangbahu, bergeser hampir 100 meter dengan kedalaman 2 meter. Akibatnya, titik itu terancam ambles dan jebol.
Pergeseran dan ambles juga terjadi di tanggul Waduk Kalen, Kecamatan Kedungpring, serta tanggul negara Bengawan Solo di Sumberwudi, Karanggeneng, dan Sugihwaras, Kalitengah.
Penanganan banjir juga sedikit banyak terkendala laju roda pemerintahan daerah. Baru Jumat (26/2/2021), Lamongan memiliki bupati baru. Masa jabatan dua periode Fadeli telah berakhir. Dia digantikan Yuhronur Efendi. Roda pemerintahan saat ini dijalankan Pelaksana Harian Bupati Lamongan Aris Mukiyono.
Amien Widodo, peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, berharap bupati atau wali kota tidak sekadar menyalahkan fenomena alam sebagai penyebab bencana. ”Bencana akibat aktivitas manusia,” katanya.
Di Lamongan, dia mencontohkan minimnya kemampuan sungai, waduk, embung, rawa, dan jaringan saluran menampung air. Hal itu terjadi karena sedimentasi, minim pemeliharaan, pembiaran terhadap perusakan, penyerobotan, hingga alih fungsi untuk aktivitas masyarakat dan usaha.
Ke depan, masyarakat terdampak perlu diajak melihat bencana secara komprehensif. Jika harus hidup berdampingan dengan bencana, aparatur dan masyarakat perlu tahu cara mewujudkannya. Beberapa hal yang bisa dilakukan, di antaranya, penataan ulang pemukiman, pembangunan dan penyempurnaan jaringan saluran, serta memastikan pompa-pompa air terpelihara dan beroperasi maksimal.