Polda Maluku Minta Warga Serahkan Senjata Peninggalan Konflik
Masih banyak warga Maluku yang menyimpan senjata peninggalan konflik. Polisi mengimbau warga menyerahkan senjata secara sukarela dan tak ada tindakan hukum terhadap mereka.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Maluku menjadi salah satu daerah yang diincar pedagang senjata dan amunisi ilegal. Hingga kini, diperkirakan masih banyak warga Maluku yang menyimpan senjata dan amunisi serta banyak juga yang tergoda membuat senjata api rakitan dengan iming-iming bayaran mahal. Polda Maluku mengimbau warga agar menyerahkan senjata tersebut kepada aparat.
”Bagi warga yang dengan sukarela menyerahkan senjata kepada aparat atau kepada pemerintah setempat, kami pastikan itu tidak akan diproses hukum. Namun, bagi yang ketahuan aparat akan diproses hukum dengan ancaman maksimal hukuman mati,” kata Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat di Ambon, Kamis (25/2/2021).
Roem mengatakan, kemungkinan masih banyak senjata api dan amunisi peninggalan konflik disimpan warga di Maluku. Konflik sosial terjadi di Maluku selama lebih kurang empat tahun sejak 19 Januari 1999. Kala itu, banyak senjata beredar di Maluku selain dipasok dari luar daerah juga dirakit sendiri oleh warga yang berkonflik.
Bagi warga yang dengan sukarela menyerahkan senjata kepada aparat atau kepada pemerintah setempat, kami pastikan itu tidak akan diproses hukum.
Bahkan, gudang penyimpanan senjata milik Brimob Polda Maluku di Ambon pun dibobol. Ribuan pucuk senjata berbagai jenis dibawa kabur. Hal itu yang membuat banyak pembeli datang mencari senjata dan amunisi di Maluku. Terlebih lagi, banyak warga Maluku punya kemampuan untuk merakit senjata api.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, dua anggota Polres Kota Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, yakni Brigadir Kepala SAT dan Brigadir Kepala MRA, terlibat dalam penjualan dua pucuk senjata masing-masing revolver standar militer dan senjata rakitan laras panjang menyerupai SS1. Harga jual revolver Rp 12 juta dan rakitan laras panjang Rp 20 juta.
Selain itu, juga keterlibatan seorang anggota TNI AD dari Batalyon 733/Masariku yang menjual 600 butir peluru kaliber 5,53 milimeter. Harga jual keseluruhan Rp 1,5 juta. Senjata dan amunisi itu dibeli oleh J, warga Papua. Transaksi pembelian berlangsung di Ambon.
J lalu membawa barang ilegal itu keluar dari Ambon ke Pulau Seram menggunakan kapal laut. Dari Pulau Seram, ia menyeberang ke Papua. Pada 10 Februari lalu, J ditangkap oleh polisi di Bintuni, Papua Barat. J kala itu hendak menyalurkan senjata dan amunisi kepada penadah dan nantinya akan dikirim ke kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.
Senjata milik Polri
Kepala Polres Kota Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Komisaris Besar Leo Simatupang mengatakan, berdasarkan hasil pengembangan penyidik, senjata revolver itu merupakan milik Polri yang diambil dari gudang senjata Brimob Polda Maluku yang dibobol perusuh tahun 2000. Senjata itu berpindah tangan hingga dikuasai oleh seorang oknum anggota TNI Angkatan Udara.
Senjata tersebut, kata Leo, lalu dipinjam oleh MRA yang kemudian menjualnya kepada J. Sementara senjata rakitan mirip SS1 dirakit oleh seorang warga. Leo belum mau menyebutkan lokasi perakitan. ”Kami masih dalami dan sejauh ini belum ada penambahan tersangka baru,” ujar Leo, Kamis.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Maluku Benediktus Sarkol mengatakan, perdagangan senjata ilegal dan keterlibatan sejumlah oknum aparat di Maluku sangat mengganggu rasa aman masyarakat. ”Ini bisa membangkitkan kembali trauma konflik serta rasa saling curiga di antara sesama warga masyarakat,” ujarnya.
Benediktus menuturkan, sinyal kepemilikan senjata api di kalangan masyarakat sudah bisa terendus. Itu tampak dari sejumlah peristiwa bentrok warga antarkampung di Maluku. Dalam bentrokan itu sering terjadi penggunaan senjata api baik standar militer maupun rakitan. ”Artinya, senjata di masyarakat masih banyak,” ujarya.
Ia juga mengapresiasi upaya penggalangan yang dilakukan sejumlah aparat di Maluku untuk melucuti senjata milik masyarakat. Apresiasi sama juga bagi masyarakat yang secara sukarela mau menyerahkan senjatanya kepada aparat keamanan. ”Kuncinya bagaimana melakukan pendekatan dan meyakinkan masyarakat,” ujarnya.