Karena kerja jurnalistik pertama-tama adalah pekerjaan tangan dan kaki, kehati-hatian menjaga gerak fisik sangat diperlukan. Pemahaman ini yang saya sadari ketika meliput bencana longsor di Bukit Segebruk, Magelang.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Hujan ekstrem yang belakangan terjadi dan menimbulkan bencana banjir dan longsor di berbagai wilayah selalu mengingatkan saya pada pengalaman lampau. Pengalaman meliput longsor yang memberi penegasan pentingnya bersikap hati-hati.
Karena kerja jurnalistik pertama-tama adalah pekerjaan tangan dan kaki, maka kehati-hatian menjaga gerak fisik sangat diperlukan. Pemahaman inilah yang saya sadari ketika meliput bencana longsor di Bukit Segebruk, Desa Tanjungsari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (18/2/2007).
Pada saat itu, akibat abai dan ceroboh menjaga langkah, saya justru celaka dan terluka, tak ubahnya ”korban” bencana. Kejadian ini bermula Minggu siang. Sekira pukul 13.00, saya menerima informasi terjadinya bencana longsor yang diduga menyebabkan 10 warga tertimbun. Dengan estimasi korban yang cukup banyak, tanpa keraguan saya segera berangkat ke lokasi.
Saat itu, baru sekitar tiga bulan saya ditempatkan di Magelang, Jawa Tengah. Sebelumnya, saya jarang liputan longsor, apalagi yang sampai merenggut korban jiwa. Di daerah tugas saya sebelumnya, yakni di Malang, Jawa Timur, liputan banjirlah yang lebih sering saya alami.
Sebagai ”orang baru”, saya kurang memiliki gambaran tentang kondisi geografis Magelang yang berbukit dan bergunung-gunung. Maka setiba di lokasi, saya memarkir kendaraan sebisa mungkin dekat dengan area bencana. Setelah itu saya bertanya kepada warga setempat.
Rupanya, untuk bisa sampai ke lokasi tidak ada opsi lain kecuali jalan kaki. Peristiwa yang akan saya liput adalah longsor yang menimpa warga yang tengah bekerja bakti memperbaiki saluran irigasi di kawasan perbukitan.
Peristiwa ini memancing banyak perhatian. Warga beramai-ramai menuju lokasi. Entah untuk sekadar menonton ataupun membantu pencarian korban. Agar tidak salah jalan, saya kemudian mengikuti mereka.
Perjalanan menuju lokasi ternyata tidak mudah. Saya harus melewati jalanan naik turun, menyusuri jalan tanah berundak atau yang membentuk tangga, serta melewati sejumlah areal pertanian.
Tangga yang harus kami lalui terlalu sempit, sementara banyak orang berebut melewatinya. Ini membuat saya panik karena jadi tidak bisa berjalan cepat. Padahal, saya ingin segera tiba di tujuan.
Saya kemudian mencoba menerobos. Namun apa daya, malah terpeleset. Saya jatuh terjungkal dengan sudut kening kanan terkena batu tajam di tepi jalan. Saya terkejut dan makin kaget lagi ketika menyadari luka di kening meneteskan darah. Sejumlah orang membantu saya berdiri. Beberapa di antaranya menawarkan tisu untuk membersihkan darah. Namun, cairan merah itu terus menetes tanpa henti.
Tanggung, ah. Setengah perjalanan sudah saya tempuh. Rasanya terlalu sayang untuk berbalik pulang. Saya melanjutkan perjalanan sembari terus menekan tisu ke atas kening yang luka dan berharap darah cepat berhenti.
Setiba di lokasi longsor, tengah berlangsung pencarian korban. Namun, justru kening berdarah saya yang kemudian memancing perhatian. Banyak orang, termasuk rekan-rekan wartawan yang ribut bertanya apa yang telah terjadi. Saya menerangkan secara singkat.
Bukan berlagak sok heroik atau sok profesional kalau saya terus melanjutkan bekerja. Saya hanya berpikir sayang kalau sampai tidak jadi liputan padahal sudah susah-susah sampai ke lokasi. Apalagi saat itu, saya tidak perlu repot memotret karena sudah ada teman fotografer Kompas dari Semarang yang datang untuk mengabadikan peristiwa lewat gambar.
Sejumlah warga yang iba kemudian menyarankan saya agar duduk saja di batu-batuan besar yang ada di situ. Beberapa warga lainnya mendekat. Kebetulan mereka mengetahui kronologi peristiwa sehingga saya bisa mendapatkan keterangan tentang peristiwa yang terjadi, tanpa harus banyak bergerak demi meminimalisasi perdarahan di kening.
Saya juga memperoleh nomor telepon perangkat desa dan petugas penanganan bencana dari beberapa rekan lain yang nantinya saya hubungi untuk melengkapi keterangan warga. Saya kemudian memutuskan pulang dengan menyusuri rute yang sama saat berangkat.
Setiba di kos, saya langsung mengetik berita karena tenggat semakin dekat. Jam sudah menunjukkan pukul 18.00. Kening saya yang berdarah rupanya kembali menarik perhatian. Kali ini teman-teman kos. Seorang teman kemudian menawarkan bantuan untuk membalut luka dengan perban.
Sempat saya tolak, tetapi akhirnya saya iyakan karena darah terus mengucur. Saya mulai merasa kerepotan karena harus terus-menerus memegang tisu untuk menutup luka. Bagaimana saya harus mengetik dalam kondisi seperti itu.
Seorang teman lain menawarkan bantuan untuk membelikan makan malam. Saya kemudian menelepon sejumlah narasumber untuk melengkapi data lalu mulai mengetik. Setelah mengirimkan berita, barulah saya sempat makan diselingi menerima telepon dari editor di Jakarta yang bertanya soal tulisan.
Setelah semuanya reda, sekitar pukul 21.00 saya memutuskan pergi ke rumah sakit. Kening saya masih terus berdarah. Dokter di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang menangani saya mengatakan, luka saya harus dijahit. Jadilah empat jahitan menghiasi kening.
Sebelumnya, ia sempat terkejut saat memeriksa tekanan darah saya yang saat itu hanya 90/50. ”Tadi ke sini naik apa? Apa tidak pusing di jalan?” ujarnya.
Ia kaget mendengar saya mengemudikan kendaraan sendiri ke rumah sakit. Menurut dia, dengan tekanan darah seperti itu, biasanya orang sudah pingsan.
Saya memang pusing tetapi tidak sampai kepayahan di jalan. Keesokan paginya, saya kembali liputan. Kali ini tidak kembali ke lokasi longsoran, tetapi mengunjungi keluarga korban dan mengumpulkan informasi seputar pemakaman. Kehadiran saya masih menarik perhatian karena kening yang diperban.
Dua hari berikutnya, saya masih kembali untuk melanjutkan liputan longsor. Namun, kali ini untuk meminta keterangan dari tim SAR, warga, dan perangkat desa setempat karena masih ada dua korban lain yang belum ditemukan.
Kejadian ini memang sudah lama berlalu. Namun, masih terus saya ingat-ingat karena memberi pelajaran berharga. Di mana pun dan kapan pun harus mengutamakan kehatian-hatian, terutama saat meliput. Jika tidak, bisa terulang pengalaman yang sama, cedera, yang semestinya bisa dihindari.