Bahasa ibu tak lekang dimakan zaman. Di tangan para pegiat yang kreatif, keunikannya terus terjaga meski semuanya tidak mudah dilakukan. Di Jawa Barat, perjuangan itu ada dan berbuah nyata.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/CORNELIUS HELMY
·5 menit baca
Pertempuran tak mudah yang dihadapi bahasa ibu di Indonesia kini berlipat ganda. Setelah tak mudah memasuki rimba digital, pandemi Covid-19 ikut mengujinya. Namun, pegiat bahasa Sunda di Jawa Barat tak hendak menyerah. Serangkaian lomba daring yang meramaikan jagat media sosial hingga menguatkan kualitas sastra dengan data digital terus dilakukan.
Di sudut sebuah kafe di Kota Bandung, Kening Kavin Faza (25) berkerut. Layar monitor komputer jinjing di depannya menampilkan bagan teka-teki silang, Jumat (19/2/2021). Jawaban sudah dimasukkan dalam kotak, tetapi tak semuanya benar. Disajikan dalam bahasa Sunda, ternyata tak mudah bagi Kavin menyelesaikannya.
Siang itu, warga Banjaran, Kabupaten Bandung, ini menjadi salah satu peserta Pasanggiri Tarucing Cakra dina Internet (Perlombaan Teka-teki Silang di Internet). Dari 118 soal yang harus dikerjakan dalam 1 jam, ia hanya bisa menjawab sepertiganya. Padahal, ia sudah dibantu teknologi di ponsel pintarnya untuk mencari arti kata di internet.
Waktu mengerjakan habis, ia tertegun. Kavin baru sadar bahasa Sunda kaya kosakata. Semuanya baru ia ketahui meski sehari-hari bercakap-cakap menggunakan bahasa Sunda.
”Saya jadi bertanya kepada diri sendiri, saya ini benar orang Sunda ga sih?” katanya.
Mampu memicu perdebatan dalam diri Kavin, pasanggiri itu bagian dari acara Poé Basa Indung Internasional, 20 Januari-21 Februari 2021. Digelar Yayasan Kebudayaan Rancage bersama sejumlah lembaga penggiat budaya Sunda, acara ini hendak memperingati ”Hari Bahasa Ibu Internasional 2021”. Acara lainnya yang digelar seperti Olimpiade Basa Sunda hingga Saemabara Ngarang Carpon keur Guru Basa Sunda (Sayembara Mengarang Cerpen untuk Guru Bahasa Sunda).
Menurut Malik, semua itu tidak mengurangi antusiasme peserta. Komunikasi daring bahkan membuka peluang partisipasi semakin tinggi. Acara Olimpiade Basa Sunda, misalnya, mampu menarik minat 3.000 peserta siswa SMP dan SMA.
”Bila tidak daring, kami pasti kewalahan menampung minat ribuan peserta. Minimal, kami tidak butuh alokasi biaya makan,” katanya sembari tertawa.
Pelaksanaan pasanggiri dan acara lainnya membuktikan pesatnya teknologi tidak melulu menjadi ancaman satu tradisi. Bagi sebagian orang, gabungan keduanya bisa menjadi sajian unik bernilai ekonomi.
Deon Setiadinata (30) adalah salah satunya. Pemilik akun Instagram @deonsetiadinata ini kerap memadukan bahasa Sunda dengan dialek bahasa dari berbagai belahan dunia lewat video unggahannya. Meski paling sering mengawinkannya bahasa Sunda dengah Korea, ada juga dialek mirip Thailand, India, Arab, dan Rusia. Hingga Februari 2021, total ada 30 video yang dia buat.
Simak saat Deon memparodikan pertemuan pimpinan dunia membahas kondisi global yang hancur akibat pandemi. Seorang diri, dia memainkan banyak peran sembari berbahasa Sunda, tapi berlogat masing-masing negara.
Dia juga punya banyak konten bertajuk ”drakor korsundeo (Korea-Sunda)”. Bentuknya cerita pendek diperankan Deon dan kawan-kawan. Sesuai judulnya, dia mencoba membuat kisah ala Korea bercampur bahasa Sunda.
Deon mengatakan tidak mudah memadukan berbagai video menjadi konten menarik. Ia membutuhkan waktu mencari dialog Korea yang memiliki kemiripan dengan bahasa Sunda. Contohnya bahasa Korea algesseumnida yang kurang lebih berarti ”saya mengerti” dengan bahasa Sunda abi ge sami da yang berarti ”saya juga sama”.
Ini bukti bahasa Sunda menarik. Jangan malu berbahasa ibu. Semua daerah memiliki keunikan sendiri.
Akan tetapi, lelah itu semua terbayar saat ia mendapatkan ragam respons positif warganet. Gayanya yang luwes membuat mudah diterima. Kini, akun Instagramnya diikuti lebih kurang 24.000 orang. Video yang ia unggah rata-rata dilihat 8.000-9.000 orang.
”Ini bukti bahasa Sunda menarik. Jangan malu berbahasa ibu. Semua daerah memiliki keunikan sendiri,” katanya.
Ketua Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda Darpan mengatakan, kini bahasa daerah, termasuk Sunda, terlihat semakin luwes melintasi zaman. Seniman dan pembuat konten tidak ragu berkarya di dunia digital menggunakan bahasa ibu.
”Bahasa daerah itu dinamis. Sunda, misalnya, ada transformasi dari peralihan bahasa yang formal di lingkungan pendidikan ke anak muda yang menggunakan bahasa dengan caranya sendiri,” ujarnya.
Meski bahasa Sunda bisa menyesuaikan zaman, Darpan berharap para pengguna tidak meninggalkan nilai-nilai luhur. Sikap santun dalam bertutur seharusnya tetap dipertahankan. ”Bahasa lebih dari hanya alat bertutur, tetapi ada nilai-nilai yang dibawa bersamanya. Kearifan lokal berupa kesantunan dari karuhun (leluhur) ini juga sebaiknya ikuti transformasi tersebut,” ujarnya.
Keluwesan bahasa daerah mengikuti zaman juga terlihat dalam Anugerah Sastera Rancage 2021 yang kembali digagas Yayasan Kebudayaan Rancage. Selain kian fasih menunggangi era digital, karya sastra enggan mati akibat pandemi Covid-19.
Digelar sejak 1989, ajang ini konsisten mengapresiasi beragam karya sastra dari berbagai daerah. Tahun ini adalah yang ke-33 kalinya untuk Sastra Sunda, ke-27 kalinya untuk Sastra Jawa, ke-23 kalinya untuk Sastra Bali, ke-6 kalinya untuk Sastra Lampung, dan ke-2 kalinya untuk Sastra Madura.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, perkembangan sastra tetap menggembirakan. Banyak karya yang muncul tetap tangguh memelihara tradisi, menyiasati pergeseran platform digital, dan memastikan relevansi dengan atmosfer kemasyarakatan di masa pandemi.
Simak kumpulan sajak ”Keblueks: Kumpulan Sajak Sunda Digital” dari Wahyu Heriyadi. Sajak-sajaknya dapat dibaca dengan memindai QR Code di halaman buku. Karya itu ingin mengajak penikmat sastra menggunakan platform digital baru tanpa meninggalkan kertas.
Kiprah Dadan Sutisna dalam digitalisasi teks berbahasa Sunda juga sangat membantunya menyelesaikan novel Sasalad: Sempalan Épidémi di Tatar Garut. Data masa lalu, seperti wabah sampar di Garut hingga penumpasan dukun santet diramu menguatkan jalan cerita dalam karyanya.
Sepanjang masih ada buku sastra daerah yang terbit, kami akan terus menyelenggarakan hadiah ini. Ini tanda cinta kami memajukan kehidupan bahasa daerah melalui sastra dari berbagai wilayah di Indonesia. (Erry Riyana)
Erry mengatakan, tahun ini, Hadiah Sastra ”Rancage” tidak ditemani penggagasnya Ajip Rosidi, yang meninggal pada 29 Juli 2020. Namun, ia yakin apa yang dirintis Ajip bakal terus dilanjutkan demi kemajuan kebudayaan daerah dan Indonesia. ”Sepanjang masih ada buku sastra daerah yang terbit, kami akan terus menyelenggarakan hadiah ini. Ini tanda cinta kami memajukan kehidupan bahasa daerah melalui sastra dari berbagai wilayah di Indonesia,” katanya.
Ujian bagi beragam bahasa daerah di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Malahan, justru terus bertambah. Namun, selalu saja ada tantangan baru yang membuat para pegiatnya terus berinovasi menghadapinya.