Tujuh Santriwati Tertimbun Longsor di Pamekasan, Lima Tewas
Lima dari tujuh santriwati yang tertimbun longsor di Desa Bindang, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan, meninggal dunia. Penguatan mitigasi bencana hidrometerologi hulu-hilir dan edukasi masyarakat mendesak dilakukan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SURABAYA,KOMPAS - Tujuh santriwati tertimbun tanah longsor di Dusun Jepun, Desa Bindang, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan, Rabu (24/2/2021). Lima santri tewas, satu luka berat, dan satu lagi luka ringan.
Seluruh korban merupakan santri Pondok Pesantren Annindhoniyah yang sedang menempuh pendidikan. Mengantisipasi terjadinya longsor susulan, seluruh santri yang berada pondok pesantren dievakuasi sementara waktu ke lokasi aman di luar pesantren.
Kepala Polres Pamekasan Ajun Komisaris Besar Apip Ginanjar mengatakan, lima santri yang meninggal berusia 12-16 tahun. Mereka dievakuasi Rabu pukul 06.00 pagi. Korban adalah Rubiatul Adhaia (14) asal Sampang, Siti Khomariyah (16) asal Jember, Santi (14) asal Jember, Nur Aziza (13) asal Jember, dan Nabila (12) asal Sumenep.
“Seluruh korban meninggal sudah diantarkan ke rumah duka masing-masing. Korban luka berat Nurul Khomariyah (15) mengalami patah tulang sudah mendapat penanganan medis di rumah sakit,” ujar Apip.
Apip mengatakan, saat ini lokasi kejadian longsor telah dijaga polisi, tentara, dan BPBD Pamekasan. Masyarakat dilarang masuk, mengantisipasi terjadinya longsor susulan mengingat kondisi lingkungan sekitar masih labil dan hujan berpotensi mengguyur.
Bencana longsor yang terjadi sekitar pukul 01.00 dini hari itu diduga disebabkan hujan deras yang menguyur sejak pukul 00.30. Adapun lokasi longsor berada di lingkungan di dalam Ponpes Annindhoniyah tepatnya di dekat dua kamar santriwati. Dua kamar itu berada paling ujung dan bersebelahan dengan tebing setinggi sekitar 10 meter.
Saat longsor, material berupa tanah menimpa dua kamar yang ditempati tujuh santriwati. Mereka tak sempat menyelamatkan diri karena kejadian berlangsung malam hari. Total santri di ponpes tersebut berjumlah 119 orang, terbagi menjadi 47 santriwati dan 72 santri. Untuk keamanan dan keselamatan, masyarakat diminta menjauhi lokasi longsor.
Kapolsek Pasean Ajun Komisaris Polisi Tugiman menambahkan, kejadian ini merupakan kasus pertama. Sebelumnya tidak tercatat ada kejadian longsor di lokasi tersebut. Selain itu masyarakat mengaku tidak ada tanda-tanda akan terjadi bencana seperti keretakan tanah.
“Secara umum bangunan pondok masih utuh karena hanya dua kamar yang terkena material longsor. Meski demikian seluruh penghuni sudah dievakuasi keluar pesantren,” kata Tugiman.
Pakar bencana dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Amien Widodo menyayangkan sikap masyarakat yang cenderung menyalahkan hujan sebagai penyebab bencana hidrometeorologi seperti longsor di Pamekasan.
“Sejatinya, hujan hanya salah satu faktor. Faktor-faktor lainnya inilah yang sebenarnya harus dicermati, diwaspadai, dan dimitigasi agar bencana tak menimbulkan banyak korban jiwa,” ujar Amien.
Peran mitigasi itu bisa dilakukan oleh instansi terkait seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat. Mitigasi juga bisa dilakukan masyarakat dengan mengedukasi mereka cara mengenali potensi atau ancaman bencana di sekitarnya dan menyiapkan langkah-langkah penanganan untuk mencegah jatuhnya korban.
Amien mengatakan, salah satu penyebab longsor adalah ketidakstabilan tanah di kawasan pegunungan. Penyebabnya beragam seperti berkurangnya vegetasi di kawasan lereng sehingga kohesi tanah menjadi lemah karena minim, apalagi bila tidak ada lagi akar serabut pohon yang mencengkeram atau akar tunjang yang menghunjam bebatuan.
Hilangnya vegetasi tersebut biasanya disebabkan aktivitas penebangan pohon secara legal maupun ilegal, terjadinya kebakaran hutan secara alami dan atau disengaja, serta bencana angin kencang yang merobohkan banyak pohon.
Ketidakstabilan tanah di pegunungan atau perbukitan juga bisa terjadi karena adanya pemotongan lereng bagian bawah. Pemotongan lereng di bagian bawah ini terjadi karena ada erosi sungai atau longsor. Bisa juga karena aktivitas manusia seperti penambangan, pembuatan terowongan, pemotongan jalan untuk pembuatan jalan dan pelebaran rumah di tepi lereng.
“Pemotongan lereng di bagian bawah meningkatkan sudut kemiringan lereng sehingga lapisan tanah di lerengan menjadi semakin kritis,” ucap Amin.
Faktor lain yang mempengaruhi stabilitas tanah pegunungan adalah penambahan beban yang menyebabkan berat lapisan tanah di lereng semakin bertambah sehingga lapisan tanah di lereng menjadi kritis. Penambahan beban bisa terjadi secara alami seperti adanya penambahan tanah akibat longsor tanah di atasnya.
Akan tetapi, penambahan beban paling banyak dikarenakan ulah manusia seperti aktivitas pengurukan tanah untuk pelebaran lahan rumah, pembangunan permukiman atau villa, serta dipakai sebagai tempat pembuangan sampah.
Hal lain yang juga bisa menyebabkan ketidakstabilan tanah di pegunungan adalah penambahan volume air misalnya karena hujan yang terjadi terus menerus dengan intensitas tinggi. Bisa juga penambahan air yang berasal dari kegiatan masyarakat seperti pembangunan kolam atau persawahan.
Penambahan volume air menyebabkan berat lapisan tanah di lereng semakin bertambah sehingga lapisan tanah di lereng menjadi kritis Penambahan air juga menyebabkan tanah menjadi jenuh sehingga daya ikat tanah atau kohesinya menurun atau mengecil.
Amien mengatakan, adanya getaran yang kuat juga bisa mengubah dan melepaskan ikatan antarbutir tanah sehingga kondisinya menjadi kritis. Getaran ini muncul karena gempa, atau aktivitas masyarakat seperti menyalakan bahan peledak dan adanya aktivitas kendaraan berat.
“Faktor-faktor penyebab bencana longsor di setiap daerah atau lokasi bisa jadi berbeda. Untuk memastikannya membutuhkan penelitian dan penilaian lebih detail. Idealnya setiap pemangku kebijakan menemukenali kondisi daerah berikut ancaman bencana di sekitarnya,” ucap dia.