Saat Pasar Gelap Senjata dan Amunisi ”Menyerbu” Papua
Pasar gelap perdagangan senjata ke wilayah Papua semakin marak lantaran banyaknya oknum aparat keamanan yang terlibat di dalamnya. OPM kini memiliki sekitar 1.000 pucuk senjata yang sebagian diperoleh dari pasar gelap.
Awal Februari 2021, J, seorang pendagang senjata dan amunisi, terbang dari Papua ke Ambon, Maluku. Ia datang mengambil pesanannya berupa dua senjata, yaitu revolver standar militer dan rakitan menyerupai SS1, juga 600 butir peluru kaliber 5,56 milimeter.
J menemui masing-masing orang yang menyediakan tiga barang itu dan membayar sejumlah uang. Pertama, ia bertemu dengan seorang anggota Polri yang bertugas di Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease bernama Brigadir Kepala SAT. SAT telah menyediakan satu senapan laras panjang rakitan menyerupai SS1.
SAT memesan senjata itu dari seseorang di Ambon. Senjata dikerjakan di sebuah bengkel dengan harga Rp 6 juta. SAT lalu menjual kepada J dengan harga lebih dari tiga kali lipat, Rp 20 juta. ”SAT sudah dua kali menjual senjata ke J,” ujar Kepala Polres Kota Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Komisaris Besar Leo Simatupang di Ambon, Selasa (23/2/2021).
Setelah memperoleh senjata lalu disimpan di salah satu hotel di Ambon, J kembali bertemu dengan SN, warga Ambon. Dari SN, ia memperoleh satu pucuk revolver standar militer beserta 10 butir peluru. J membayar Rp 12 juta kepada SN. SN untung Rp 7 juta dari hasil penjualan itu.
Ternyata SN hanyalah perantara. Ia membeli revolver itu dari Brigadir Kepala MRA yang juga anggota Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease. Senjata itu dipinjam MRA dari saudaranya yang bertugas di Pangkalan TNI Angkatan Udara Pattimura, Ambon.
Selanjutnya, J menemui AT, warga Ambon lainnya untuk transaksi penyerahan 600 butir peluru kaliber 5,56 milimeter. Kepada penyidik, AT mengaku dibayar Rp 2 juta untuk semua peluru itu. Keduanya bertransaksi di atas Jembatan Merah Putih, Ambon.
Peluru itu ternyata dibeli AT dari Prajurit Kepala SM, anggota Batalyon 733/Masariku, Ambon, dengan harga Rp 1,5 juta. AT dan SM tinggal berdekatan di Desa Hative Kecil, Kota Ambon. Rumah keduanya berjarak lebih kurang 100 meter.
Komandan Detasemen Polisi Militer Komando Daerah Militer XVI/Pattimura Kolonel CPM J Pelupessy mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, SM mendapatkan peluru itu dari tempat latihan menembak. Namun, jumlahnya yang banyak menimbulkan tanda tanya. ”Kami tidak percaya begitu saja,” ujar Pelupessy.
Baca juga: Dua Senjata dan 600 Amunisi Terkirim dari Ambon ke Papua, Oknum Polisi dan TNI AD Terlibat.
Setelah mendapatkan dua pucuk senjata dan 600 butir peluru, J naik kapal dari Ambon ke Pulau Seram. Dari Seram, ia menggunakan kapal laut ke Papua hingga kemudian ditangkap anggota Polres Bintuni, Papua Barat, pada 10 Februari 2021.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat, senjata yang dibawa J itu nantinya akan disalurkan kepada kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Harga jual senjata pun akan lebih mahal lagi. ”Dia ini pedagang senjata dan sudah sering bolak-balik Ambon ke Papua,” ujar Roem.
J sudah sering membeli senjata di Ambon lalu membawa ke Papua. Ia memilih Ambon lantaran di Ambon banyak orang dapat merakit senjata. Di Ambon beredar berbagai jenis senjata kala konflik sosial melanda daerah itu selama lebih kurang empat tahun sejak 1999. Gudang senjata milik Brimob Polda Maluku sempat dibobol dan ribuan pucuk senjata dibawa kabur.
Peredaran di Papua
Senjata yang lolos masuk Papua beredar di sana. Seperti pada Selasa (5/1/2021), Kapolda Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw dalam keterangan pers menghadirkan NT, pemuda asal Intan Jaya terduga penyuplai amunisi dan senjata bagi KKB yang selama menebar teror di Intan Jaya.
Baca juga: Penyelundupan Amunisi dan Senjata Api di Papua
Ia ditangkap pihak berwajib saat melintasi Jalan Sam Ratulangi di depan Universitas Yapis, Jayapura, Senin (4/1/2021). Sebelumnya kepolisian dua kali menggagalkan aksi NT membeli amunisi, tetapi ia lolos. Aksi NT untuk membeli amunisi yang pertama digagalkan polisi pada 25 Januari tahun 2020. Aksi kedua pada 12 November 2020.
”Pada aksi yang pertama, aparat menemukan barang bukti 20 butir peluru kaliber 9 milimeter. Sementara pada aksi kedua NT, aparat menemukan 22 butir peluru kaliber 9 milimeter,” ujar Paulus yang kini menyandang pangkat Komjen setelah ditunjuk Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri.
Sebelumnya, polisi juga menangkap tiga tersangka dalam kasus penyelundupan senjata dari Pulau Jawa ke Nabire dengan menggunakan pesawat. Ketiga tersangka berinisial MJH, FAS, dan DC.
MJH adalah polisi di Jakarta dengan pangkat Brigadir Kepala dan FAS adalah seorang wiraswasta mantan anggota TNI AD yang bermukim di Sulawesi Barat. Adapun DC adalah warga yang berdomisili di Nabire. Total sebanyak tujuh pucuk senjata telah diselundupkan ke Nabire.
Baca juga: Jalur Penyelundupan Amunisi dan Senjata ke Papua
Kasus ini terungkap setelah tim gabungan Polri dan TNI menggagalkan penjualan dua pucuk senjata jenis M4 dan M16 di Nabire pada 22 Oktober lalu. Dua pelaku yang ditangkap saat itu adalah MJH dan DC. Kemudian sehari kemudian FAS ditangkap pihak berwajib.
Paulus menuturkan, kelompok kriminal bersenjata mudah mendapatkan senjata dan amunisi dari Ambon, yang pernah terjadi konflik, juga dari Filipina. Polri telah meningkatkan pengawasan di setiap pintu masuk ke wilayah pesisir, seperti Mimika dan Nabire, serta wilayah pegunungan Papua, seperti Wamena di Kabupaten Jayawijaya.
Kepala Perwakilan Komnas HAM Perwakilan Wilayah Papua Frits Ramandey mengungkapkan, terdapat tiga titik pintu masuk penyelundupan amunisi dan senjata api ke Papua. Tiga pintu masuk itu merupakan daerah perbatasan Papua dan Papua Niugini, Kota Sorong, serta Kota Mimika. Pemetaan itu berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM pada 2011 dan 2018.
Di Sorong, penyelundup memasukkan senjata dan amunisi dari Ambon dan daerah lain dengan tujuan Manokwari kemudian ke Kepulauan Yapen, Jayapura, dan Nabire lewat laut. Modus yang digunakan pelaku dari jalur laut adalah menyembunyikan amunisi dan senjata di barang bawaannya, misalnya amunisi disembunyikan ke dalam tikar.
Baca juga: Komnas Deteksi Tiga Pintu Masuk Amunisi dan Senjata ke Papua
Ada juga memasukkan senjata ke Mimika melewati jalur laut dan pesawat. Dari Mimika, senjata disalurkan ke kota lain di sekitarnya dan daerah pegunungan Papua. Pelaku yang terlibat dalam modus operandi seperti ini adalah oknum aparat keamanan. ”Mereka pasti beralasan untuk tugas satgas, operasi pengamanan khusus, dan kegiatan olahraga menembak,” ujar Frits.
Frits mengatakan, ada sejumlah faktor penyebab maraknya penjualan amunisi dan senjata api ke Papua. Faktor-faktor itu, antara lain, bisnis yang menjanjikan, desain untuk operasi cipta kondisi, dan keterlibatan agen dari negara tertentu.
”Diduga keterlibatan agen dari negara asing untuk menciptakan situasi keamanan di Papua yang tidak kondusif dan adanya kepentingan bisnis. Kelompok kriminal bersenjata saat ini memiliki sekitar 100 pucuk senjata api,” tutur Frits.
Harga jual amunisi dan senjata bervariasi. Untuk peluru, harga per butir di wilayah pegunungan Papua paling murah Rp 100.000. Sementara harga senjata laras pendek Rp 150 juta dan senjata laras panjang berkisar Rp 300 juta hingga Rp 500 juta.
Maraknya perdagangan senjata berbanding lurus dengan tingkat kekerasan. Berdasarkan data Polda Papua, terjadi 49 aksi gangguan keamanan oleh KKB di Papua sepanjang tahun 2020. Teror penembakan KKB terjadi di Nduga, Intan Jaya, Paniai, Mimika, Puncak Jaya, Keerom, dan Pegunungan Bintang. Sebanyak 17 orang meninggal akibat aksi KKB.
Pada tahun 2021, KKB sama sekali tidak menghentikan aksinya. Misalnya di Intan Jaya, sudah terjadi tujuh kali aksi KKB dari Januari hingga pertengahan bulan ini. Tiga anggota TNI dan dua warga sipil meninggal. Sementara seorang anggota TNI dan warga mengalami luka berat karena terkena tembakan.
OPM kini memiliki sekitar 1.000 pucuk senjata api baik dari hasil pembelian maupun hasil rampasan dari anggota TNI/Polri.
Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) Sebby Sambom mengatakan, mereka dengan mudah mendapatkan amunisi dan senjata api sejak 2006. Pembelian senjata dan amunisi menggunakan dana OPM sendiri dan sumbangan dari sejumlah donatur yang peduli dengan perjuangan untuk Papua meraih kemerdekaan.
Pihak yang ditugaskan untuk membeli senjata dan amunisi adalah simpatisan OPM yang bermukim di ibu kota sejumlah kabupaten di Papua, misalnya Mimika dan Nabire. ”Kami mudah mendapatkan amunisi dan senjata api dari sejumlah daerah, seperti Ambon. Kami tahu pihak yang menjual amunisi dan senjata api sangat butuh uang untuk hidupnya sehari-hari,” ujarnya.
Sebby menyatakan, OPM kini memiliki sekitar 1.000 pucuk senjata api baik dari hasil pembelian maupun hasil rampasan dari anggota TNI/Polri. Sekitar 1.000 senjata ini tersebar di 33 kelompok militer OPM. ”Kami akan terus berperang menghadapi TNI dan Polri. Perang akan berakhir setelah adanya kesepakatan untuk menggelar jajak pendapat demi menentukan nasib Papua,” tegas Sebby.
Satu-satunya cara menghentikan kekerasan di Papua adalah dengan menghentikan aliran senjata ke sana. Pasar gelap memang marak apalagi di dalamnya ada oknum aparat keamanan yang ikut bermain.