Revisi UU Otsus Harus Menjawab Masalah Dasar di Papua
Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua diharapkan mampu menjawab segala permasalahan di tanah Papua. Ini agar masyarakat di Papua dan Papua Barat dapat merasakan pembangunan yang berkeadilan.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua diharapkan menjadi solusi untuk berbagai permasalahan dasar di Provinsi Papua dan Papua Barat. Ini agar aturan tersebut dapat menjadi pilar utama untuk menyejahterakan masyarakat di kedua provinsi tersebut.
Demikian kesimpulan yang mengemuka dalam webinar yang diselenggarakan Pusat Kajian Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (Puskod UKI) bertajuk ”Otonomi Khusus Papua: Evaluasi dan Terobosan”, Rabu (24/2/2021).
Ketua Puskod UKI Teras Narang memandang masih ada beberapa persoalan mendasar di Papua dan Papua Barat, seperti perbedaan pemahaman tentang sejarah Papua dan Papua Barat, persoalan hak asasi manusia, pembangunan dan marjinalisasi, serta menyangkut pengelolaan sumber daya manusia dan sumber daya alam.
Ia berpendapat, sesuai pandangan Roscoe Pound, pemikir hukum dan akademisi asal Amerika Serikat, revisi Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) yang telah berusia dua dekade ini diharapkan mendorong pembaruan hidup di Papua. ”Revisi regulasi ini harus dapat menggerakkan kehidupan masyarakat dan kehidupan berbangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Teras.
Teras menuturkan, webinar ini bertujuan agar ada diskursus akademis sekaligus penyusunan pandangan dalam memberi kontribusi terhadap revisi UU Otsus Papua.
Ia berpendapat, teori Tiga Nilai Hukum dari filsuf Gustav Radbruch relevan dalam revisi regulasi tersebut. Karena itu, harus dipastikan revisi UU Otsus Papua memberikan tiga hal bagi masyarakat Papua, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Anggota DPD RI dari Kalimantan Tengah ini pun menambahkan, pencairan dana otsus berikutnya mesti dipastikan dapat menggerakkan percepatan pembangunan sehingga Papua sejajar dengan daerah lain di Indonesia. Untuk itu, lanjut Teras, peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga tidak kalah penting, khususnya yang berada di sektor prioritas, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan.
Hal senada disampaikan Vience Tebay, pembicara dari Universitas Cenderawasih di Papua. Ia mengungkapkan, ada perbedaan persepsi antara pemerintah pusat di Jakarta dan pandangan umum di masyarakat Papua soal dana otsus.
”Pemerintah pusat menilai ada keberhasilan dalam otsus di Papua. Sebaliknya, banyak masyarakat yang menilai dana otsus gagal karena memang persoalan dasar di Papua dan Papua Barat selama 20 tahun tidak terjawab,” kata Vience.
Ia mengakui ada dampak pembangunan infrastruktur di Papua beberapa tahun terakhir. Namun, hal ini dinilai belum menjawab persoalan dasar, seperti pelurusan sejarah, persoalan HAM, tingkat inflasi tertinggi, biaya hidup tertinggi di Papua dan Papua Barat, kemiskinan, dan maraknya penyakit HIV.
Vience pun mengharapkan adanya terobosan sehingga otsus dapat menjawab persoalan dasar di Papua, di antaranya dengan memberi kewenangan kepada pemerintah daerah. Sebab, selama ini terkesan pemerintah pusat menyediakan anggaran melalui dana otsus, tetapi kewenangan daerah tidak memadai.
Perlu adanya pengelolaan keuangan secara transparan agar masyarakat dapat terlibat dalam mengawal pembangunan.
”Dalam otsus, perlu dipahami prinsip otonomi. Prinsip otonomi adalah memberikan urusan pemerintahan yang tadinya terpusat kepada daerah dan diberi hak khusus tugas kewenangan sesuai potensi dan kekhasan daerah,” kata Vience.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua Antonius Ayorbaba mengatakan, tantangan yang mesti dijawab adalah bagaimana membuat Papua merasa menjadi bagian dari Indonesia, dan sebaliknya Indonesia bisa memahami Papua.
Ia menilai perlu adanya pengelolaan keuangan secara transparan agar masyarakat dapat terlibat dalam mengawal pembangunan. Antonius juga berharap pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat dapat melakukan terobosan dengan adanya dana otsus.
Dalam kesempatan tersebut, praktisi hukum dan akademisi, Blucer W Rajagukguk, juga menilai bahwa dana otsus patut untuk tetap dilanjutkan. Namun, dana otsus juga tidak sepenuhnya diberikan dalam bentuk tunai atau transfer daerah.
Menurut dia, pusat bisa memberikan anggaran otsus dalam bentuk infrastruktur fisik, seperti transportasi jalan yang meningkatkan aksesibilitas, konektivitas, lapangan kerja, serta percepatan pembangunan manusia dan ekonomi. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua.
Blucer juga mengingatkan amanat UU Otsus kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua dan Papua Barat untuk menyusun 12 perda khusus (perdasus) dan 19 perda provinsi (perdasi) belum tuntas. Padahal, dalam aturan turunan yang belum disusun itu, terdapat peraturan terkait pengelolaan dana otsus yang meliputi kewenangan daerah, Perdasus tentang Pengawasan Sosial dan Perdasus tentang Komisi Hukum Ad Hoc.
”Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tahun 2019, terungkap bahwa Pemprov Papua belum menyusun dan menetapkan sebanyak tiga perdasus dan tiga perdasi, sedangkan Pemprov Papua Barat belum menyusun dan menetapkan sebanyak empat perdasus dan 12 perdasi,” ujarnya.