Ekonomi Alternatif Kawal Warga Tinggalkan Tambang Liar
Ekonomi alternatif dinanti masyarakat untuk dapat memberantas tambang emas liar di Jambi. Negara perlu kreatif dan kolaboratif menghidupkan kembali ekonomi lokal sekaligus memulihkan lingkungan tercemar.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
Penguatan ekonomi berbasis kearifan lokal coba dihidupkan kembali sebagai upaya memberantas masifnya tambang emas liar di Jambi. Sebelumnya telah berjalan budidaya madu, kini dikembangkan pula budidaya ikan dan pembiakan ikan (restocking) di lubuk larangan.
Bibit-bibit ikan secara bertahap mulai ditebar di Kabupaten Merangin, Jambi, mengambil lokasi di lubuk-lubuk larangan. Ke depan, upaya itu akan terus diperluas pada kolam-kolam budidaya.
Kepala Polres Merangin Ajun Komisaris Besar Irwan Andy Purnamawan mengatakan, semula banyak lubuk larangan kehilangan ikan seiring tercemarnya sungai oleh gempuran lumpur dari aktivitas tambang emas liar. Sejak akhir tahun lalu, operasi dan sejumlah upaya persuasif mulai gencar dilangsungkan untuk menyetopnya.
Perlahan, aktivitas tambang liar mulai berkurang. Agar perekonomian masyarakat tak meredup, perlu ada alternatif bagi sumber penghidupan mereka. Konservasi dan budidaya ikan lokal serta budidaya madu menjadi pilihan.
Pekan lalu, mulai ditebar benih-benih ikan di lubuk larangan. Tahap awal jumlahnya 2.000 benih ikan kelemak ditebar di lubuk larangan Desa Baru Nalo, Kecamatan Batang Masumai, Kabupaten Merangin.
Wakil Bupati Merangi Mashuri mengatakan, penebaran benih ikan lokal sebagai upaya memulihkan ekosistem perairan tawar setempat. Ia mengakui, akibat air sungai tercemar, banyak ikan mati. Kini, setelah aktivitas tambang menurun, pemulihan mulai diupayakan.
Program penebaran benih ikan di lubuk-lubuk larangan merupakan kolaborasi polres dan Pemerintah Kabupaten Merangin. Selain di Desa Baru Nalo, penebaran benih ikan akan berlanjut di desa-desa lainnya. Adapun lubuk larangan dikelola menjadi tabungan dan sumber ketahanan pangan desa. Jika berhasil, program dapat diperluas pada kolam-kolam budidaya.
Para mantan pekerja di lokasi tambang diprioritaskan untuk mengelolanya. Harapannya, dengan mengelola ikan, eks petambang tidak perlu lagi bergelut pada aktivitas ilegal. Budidaya ikan dapat menjadi sumber ekonomi yang berkelanjutan.
Peneliti Biologi dari Universitas Jambi, Tedjo Sukmono, mengapresiasi langkah negara mengembangkan budidaya ikan itu. Akan tetapi, ia mengingatkan agar sebelum ikan-ikan ditebar di lokasi eks tambang, perlu ada riset mengenai kualitas air.
Ia khawatir air yang tercemar oleh merkuri dari aktivitas tambang ilegal dapat meracuni ikan-ikan di sungai. Merkuri terakumulasi pada organisme air, seperti tanaman, moluska, dan ikan. Jika ikan-ikan itu dikonsumsi, bisa menimbulkan masalah baru yang mengancam kesehatan jangka panjang, mulai dari gangguan saraf hingga kanker. ”Apabila ikan dari situ dikonsumsi, semua merkuri di dalamnya akan turut berpindah ke dalam tubuh manusia,” ujarnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 soal bahan baku air minum, batas kadar aman merkuri pada manusia 0,001 mg/l, arsenik 0,005 mg/l, dan besi 0,3 mg/l.
Budidaya madu
Sebelumnya, dikembangkan pula budidaya madu di areal-areal eks tambang emas liar. Program itu diinisiasi bersama Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Merangin. Setiap desa memperoleh bantuan 10 kotak budidaya madu.
Hasil budidaya madu pun tak kalah menjanjikan. Satu kotak budidaya dapat menghasilkan 3 kilogram madu per bulan. Di tingkat petani, harga madu mulai Rp 70.000 hingga Rp 80.000 per kilogram. Itu berarti untuk 100 kotak madu akan menghasilkan nilai Rp 24 juta per bulan.
Itu seiring dengan kian populernya budidaya madu di Jambi selama masa pandemi Covid-19. Madu diminati masyarakat karena bermanfaat meningkatkan daya tahan tubuh dan memelihara kesehatan.
Salah satu lokasi budidaya madu yang telah berkembang pesat ada di salah satu lokasi di kawasan hutan tanaman industri Kabupaten Sarolangun. Budidaya madu semula 300 kotak telah melesat dalam dua tahun terakhir. Kini, diperkirakan lebih dari 3.000 kotak budidaya madu dikelola masyarakat di sekitar hutan itu.
Gairah budidaya madu diharapkan akan berlanjut pada budidaya ikan di areal eks tambang liar. Ketua Lembaga adat Desa Baru Nalo Sulaeman menyebut, seiring pemberantasan tambang emas liar, air sungai berangsur jernih.
Menurut dia, kalau bukan karena harga komoditas karet terpuruk, masyarakat tak ingin beralih pada usaha tambang liar. Jatuhnya harga karet hampir 10 tahun terakhir sangat meresahkan. Akibatnya, sebagian warga tak punya pilihan. Saat pemodal masuk menawari mereka jadi pekerja tambang, tawaran langsung disambut.
Jatuhnya harga karet hampir 10 tahun terakhir sangat meresahkan. Saat pemodal masuk menawari mereka jadi pekerja tambang, tawaran langsung disambut. (Sulaeman)
Kini, lanjutnya, masyarakat sangat berharap budidaya ikan dan restocking di Lubuk Larangan menjadi sumber penghidupan bagi mereka. Ia pun mengingatkan aparat konsisten dalam penegakan hukum dan pencegahan aktivitas serupa agar tak berulang. Sebab jika air kembali tercemar, masyarakat merasakan dampaknya yang meluas. ”Sewaktu tambang liar marak beroperasi di sungai, masyarakat terpaksa harus membeli untuk mendapatkan air bersih," ujarnya.
Hal lain yang mereka khawatirkan adalah ancaman banjir bandang dan longsor. Sejak maraknya tambang emas liar, debit air sungai menjadi fluktuatif. Jika hujan deras terjadi di hulu, desa-desa di bawahnya menjadi rentan banjir dan longsor.
Kerentanan lingkungan memicu bertambahnya jumlah desa yang mengalami banjir dan longsor di wilayah Jambi dari tahun ke tahun. Upaya-upaya preventif harus cepat didorong sebagai bentuk mitigasi bencana.
Berdasarkan hasil pendataan Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 30 persen desa dan kelurahan di wilayah Jambi mengalami banjir rutin sejak 2018. Dari total 1.562 desa yang tersebar pada 11 kabupaten dan kota di Provinsi Jambi, terdapat 575 desa dan kelurahan mengalami banjir. Jumlah itu meningkat dibandingkan kondisi pada 2014. Saat itu, terdata 518 desa yang mengalami banjir.
Peningkatan dampak kejadian juga pada banjir bandang dan longsor. Wilayah yang mengalami longsor di Jambi ada 98 desa pada tahun ini, atau bertambah hampir dua kali lipat dari tahun 2014 yang terjadi di 58 desa.