Warga Desa Melenting Bangkit dari Pandemi
Hampir setahun pandemi, tidak melulu berisi luka. Ada juga kabar baik di sana. Warga desa, misalnya, punya cara mentas dari keterpurukan. Harus diakui, bangsa kita punya daya lenting tinggi menghadapi tekanan.
Hampir setahun kita dibekap pandemi. Selama itu, tidak melulu berisi cerita luka. Ada juga kabar baik di sana. Warga desa, misalnya, punya cara berusaha mentas dari keterpurukan. Harus diakui, bangsa kita punya daya lenting tinggi dalam menghadapi tekanan.
Daya lenting atau resiliensi adalah suatu sistem untuk kembali lagi ke kondisi awal atau semula. Dan, masyarakat desa sudah membuktikannya. Mereka berusaha melenting kembali, untuk bangkit dari pandemi.
Gortberg (1995) menyatakan ada tiga sumber resiliensi, yaitu I am (sikap dan kepercayaan diri pribadi), I can (sesuatu yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah), dan I have (daya dukung sekitar). Tiga sumber kekuatan itu nyata ada di desa.
Di Desa Sitirejo, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, sekelompok warga korban PHK (dampak pandemi) tidak ingin menyerah pada keadaan. Mereka berkelompok dan membangun usaha bersama untuk melanjutkan hidup. Beruntungnya, pemerintah desa mendukung semangat mereka untuk bangkit.
Arifin (48) dan anaknya adalah dua orang terdampak pandemi yang tidak ingin menyerah pada nasib. Sebelumnya, Arifin memiliki usaha sound system yang bisa disewakan untuk berbagai kegiatan. Namun, pandemi membuat semua kegiatan yang mengundang keramaian dilarang. Hasilnya, penghasilan Arifin pun melayang.
Anak Arifin juga mengalami nasib serupa. Ia di-PHK dari pabrik tripleks tempatnya bekerja. Lagi-lagi, alasannya, selama pandemi, pabrik melakukan efisiensi.
Baca juga : Mendampingi Desa Manggapai Asa
”Kalau hanya diam setelah situasi seperti itu, anak istri mau makan apa. Akhirnya saya mengajak anak saya untuk membangun usaha ternak lele dan nila ini. Usaha kami kemudian bekerja sama dengan kelompok lele dan nila lain di desa ini, guna memenuhi permintaan pembeli yang sangat banyak dan sampai tidak bisa kami penuhi,” papar Arifin.
Di Desa Sitirejo, ada tiga kelompok ikan lele dan nila seperti milik Arifin. Usaha lele Arifin dan anaknya cukup sukses karena kini sudah memiliki 10 kolam, dengan hasil panen 1-2,5 kuintal per kolam. Mereka sudah empat kali panen.
”Pembeli nila sangat banyak. Warung dan restoran bahkan sudah inden. Kami sampai menolak karena tidak bisa memenuhi tingginya kebutuhan itu,” kata Arifin. Tiga hari sekali, Arifin akan kedatangan pembeli nila dan lele, yang membeli 70 kilogram sekali datang. Harga lele dan nila antara rentang Rp 16.000-Rp 27.000 per kg.
Usaha lele dan ikan nila di Desa Sitirejo bermula dari keluh kesah para warga desa yang terkena PHK akibat pandemi. Keluh kesah itu pun sampai pada kepala desa.
Pembeli nila sangat banyak. Warung dan restoran bahkan sudah inden.
”Mereka awalnya kumpul-kumpul dan mengeluh terkena PHK. Lama-lama mereka punya niat baik membuat usaha sendiri, dan kami sebagai pemerintah desa pun hanya bisa mendukung niat baik itu,” kata Buwang Suharja (49), Kepala Desa Sitirejo.
Baca juga : Dana Desa Belum Angkat Kapasitas Warga dan Perangkat Desa
Bentuk dukungan tersebut, antara lain, adalah memberi suntikan dana untuk mengembangkan usaha serta mencarikan 3.000 ekor bibit ikan nila ke dinas pada awal memulai usaha. Di sini, dukungan pemerintah desa menjadi salah satu kunci kesuksesan usaha masyarakat untuk bangkit dari pandemi. Di sini, sumber resiliensi I have (daya dukung) kelihatan bekerja.
Selain ternak ikan, warga Desa Sitirejo pun mengembangkan kreativitasnya dengan membuat bonsai kelapa. Purwadi (43) adalah warga Desa Sitirejo yang kini membuat bonsai kelapa untuk menyambung hidup.
Purwadi sebelumnya bekerja sebagai sopir antar-jemput anak sekolah serta penjahit. Oleh karena sekolah tatap muka dihentikan, otomatis pendapatan Purwadi dari mengantar dan jemput siswa sekolah pun hilang.
”Persis setelah besoknya sekolah tatap muka dihentikan, saya langsung berangkat membeli sembilan buah kelapa untuk dibuat bonsai. Saya terinspirasi membuat bonsai dari kakak saya di Blitar yang telah membuat bonsai kelapa sebelumnya,” kata Purwadi.
Meski tanpa ilmu dan pengalaman, Purwadi berkeras mengisi hari-harinya di rumah dengan belajar membuat bonsai kelapa dari media sosial. Awalnya, dari sembilan buah kelapa yang dibelinya hanya jadi 2-3 bonsai. Kini, koleksi bonsai kelapa Purwadi sekitar 100 buah.
”Daripada melamun dan mengeluh karena sepinya pendapatan akibat pandemi, saya lebih senang mengisi hari-hari saya dengan membuat bonsai kelapa. Kunci dan pupuk membuat bonsai agar berhasil hanya satu, yaitu sabar. Setelah belajar dari internet, lama-lama saya bisa. Saya yakin siapa pun bisa kalau mau mencoba,” kata Purwadi.
Sebuah bonsai mulai kelihatan hasilnya setelah 10-12 bulan dibuat. Model bonsai kelapa Purwadi, antara lain, nungging dan gurita. Harga sebuah bonsai kelapa bisa lebih dari Rp 700.000 per buah.
Terlihat, sumber resiliensi berupa kepercayaan diri sendiri (I am) menjadi salah satu jalan Purwadi keluar dari stres akibat kehilangan mata pencarian. Purwadi sejak awal yakin, ia adalah seorang kreatif yang tidak mudah menyerah dijerat pandemi.
Magnet
Di tempat berbeda, tepatnya di Desa Pandanlandung Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, warga sebuah RT justru menjadikan momen pandemi ini sebagai momen perekat hubungan bertetangga. Setelah sering kumpul bersama untuk jaga malam demi keamanan desa selama pandemi, warga RT 013 RW 003 Desa Pandanlandung kini justru keterusan untuk ”berkumpul bersama”.
Kumpul bersama warga ini dalam bentuk membuat usaha bersama ternak lele. Menariknya, warga desa dan RT pun patungan dalam mewujudkannya. Pengurus RT menyumbang dana untuk membeli empat terpal guna dijadikan kolam lele, komunitas pemuda menyumbang dana untuk membeli bibit dan pakan ternak, dan ada warga meminjamkan lahannya sebagai lokasi ternak lele tanpa harus sewa. Total dana awal untuk memulai usaha bersama tersebut kurang dari Rp 10 juta.
Baca juga : Desa Setengah Jalan
Warga yang terlibat dalam usaha bersama itu, antara lain, adalah pekerja serabutan yang biasanya bekerja di luar pulau dan kini akhirnya diminta tetap tinggal di desanya, pelajar, pemuda desa, dan warga lainnya.
Bahkan, beberapa orang yang dikenal sebagai preman pun turut serta mewujudkan usaha ternak lele itu. Misalnya, preman yang dinilai paham soal membuat pakan lele, diminta menyumbangkan ilmu untuk membuat pakan ternak. Tujuannya, agar ke depan, mereka bisa membuat pakan lele sendiri. Hal itu dinilai akan menghemat pengeluaran.
”Dari usaha ternak lele ini, yang terpenting adalah terjadi perubahan sikap warga. Ternak lele ini adalah magnet perekat hubungan antarwarga. Ajang kumpul bersama setiap hari guna merawat lele, kini justru menjadi tempat warga berdiskusi tentang berbagai hal. Dan hasilnya kelihatan bahwa warga semakin kritis,” kata Iman, salah satu penggerak usaha bersama ternak lele itu.
Ternak lele ini adalah magnet perekat hubungan antarwarga.
Contohnya, warga menjadi lebih peka dengan tetangganya yang selama ini gampang berkegiatan bersama, namun belakangan cenderung menjauh. Setelah ditelusuri, rupanya memang orang tersebut sedang menghadapi masalah.
”Sikap dan pandangan warga pun sedikit banyak mulai ada perubahan. Yang selama ini hanya menjadi pekerja dan terbiasa disuruh-suruh, kini, tampak terus belajar dan mulai bisa berinisiatif. Yang terpenting adalah mereka tahu bahwa untuk mencapai tujuan itu butuh proses, tidak tiba-tiba jadi,” papar Iman.
Ternak bersama lele oleh satu RT tersebut, tidak berjalan mulus-mulus saja. Dari awalnya mereka membeli 3.000 ekor bibit lele, awalnya langsung mati 500 ekor karena salah penanganan. Hal itu terjadi karena warga benar-benar berangkat dari nol dalam beternak lele. Sehingga, soal pakan, air, waktu makan, dan hal teknis lainnya, kadang kurang pas dengan kondisi seharusnya.
Saat ini, ternak lele itu sudah berjalan hampir sebulan. Dalam 2-3 bulan lagi mereka akan panen. Mereka mengatakan, sudah bersiap belajar lebih lanjut soal pemasaran dan pengolahan lele paskapanen. Warga RT 13 tersebut menunjukkan, mereka bisa bekerja sama melakukan usaha bersama-sama demi kebaikan. Di sini, sumber resiliensi I can tampak bekerja.
Begitulah, harus diakui, warga desa memiliki daya lenting tinggi untuk bangkit dari pandemi.
Baca juga : Ketika Desa Berpraktik dengan Baik