Sedimentasi Masif di Teluk Kendari Tak Tertangani, Risiko Tinggi Mengintai
Sedimentasi yang semakin masif di Teluk Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, belum juga tertangani. Desakan pembangunan dan kerusakan daerah aliran sungai menjadi penyebab utama terus meningkatnya endapan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Sedimentasi yang semakin masif di Teluk Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, belum juga tertangani. Desakan pembangunan dan kerusakan daerah aliran sungai menjadi penyebab utama terus meningkatnya endapan. Hal ini menjadi ancaman serius yang berisiko tinggi karena berdampak pada ekosistem dan berubahnya kontur perairan di wilayah ini.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kendari Nismawati menyampaikan, sedimentasi memang menjadi ancaman serius di Teluk Kendari. Sejak bertahun lalu, penumpukan sedimen semakin tinggi dan terus terjadi hingga sekarang. ”Untuk sementara, penanganan kami dengan mengeruk (sedimen). Menurut rencana, dalam beberapa waktu ke depan kami lakukan,” kata Nismawati selepas peringatan Hari Peduli Sampah Nasional, di Kendari, Senin (22/1/2021).
Sedimentasi di Teluk Kendari, ia melanjutkan, berasal dari 13 sungai yang bermuara ke wilayah seluas 29,5 kilometer persegi ini. Sungai-sungai ini membawa endapan pasir dan lumpur dari aktivitas di wilayah hulu atau sepanjang sempadan sungai.
Riset dari Catrin Sudardjat, M Syahril BK, dan Hadi Kardhana pada 2011, seperti dilansir dari laman LPPM Institut Teknologi Bandung (ITB), Sungai Wanggu yang menguasai daerah aliran sungai (DAS) seluas 339,73 kilometer persegi merupakan penyumbang sedimentasi terbesar di Teluk Kendari. Sedimentasi dari sungai itu mencapai 143.147 meter kubik per tahun atau sekitar 143 juta ton.
Selain laju sedimentasi, perubahan dasar di muara sungai dari tahun 2000 sampai tahun 2011 sebesar 22 sentimeter. Saat ini, sedimentasi telah sampai ke aliran sungai sehingga membuat ekosistem di wilayah sungai juga terancam.
Sejak riset ini dilakukan 10 tahun lalu, belum ada penanganan berarti untuk memulihkan kondisi teluk. Padahal, laju sedimentasi dipastikan terus bertambah, apalagi dengan kondisi daerah hulu yang kian terbuka dan pembangunan yang semakin masif.
Untuk penanganan saat air tinggi, ujar Nismawati, telah terbangun kolam retensi Sungai Wanggu dengan luas 5,9 hektar. Kolam ini menjadi pengendali saat air melimpah sehingga endapan tidak semua bermuara ke teluk. ”Dari tahun ke tahun memang semakin parah dan penanganan harus dikeruk menggunakan alat. Belum lagi masalah sampah yang mencapai 3 ton setiap hari,” ucapnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, penanganan menyeluruh harus dilakukan ke depan. Terlebih lagi, penyebab sedimentasi teluk merupakan pekerjaan lintas sektor yang harus dikerjakan bersama.
Wali Kota Kendari Sulkarnain Kadir menuturkan, sedimentasi memang masih menjadi masalah untuk teluk yang menjadi ikon kota tersebut. Kolam retensi yang telah terbangun menjadi salah satu cara penanganan, tetapi tetap memerlukan penanganan menyeluruh.
Salah satu sumber utama sedimentasi di Teluk Kendari berasal dari aliran Sungai Wanggu. DAS Wanggu merupakan aliran sungai terbesar yang bermuara di Teluk Kendari selain Sungai Kambu.
Ke depan, ujar Sulkarnain, sebuah tanggul pengendali banjir akan dibangun di daerah hilir Sungai Wanggu. Tanggul dengan kapasitas besar akan menjadi pengendali banjir, penyedia air bersih, sekaligus untuk meminimalisasi sedimentasi.
”Nanti akan dibangun dengan semua anggaran berasal dari pemerintah pusat. Kami harapkan, dengan upaya yang kami lakukan penanganan bisa dimaksimalkan,” katanya.
Salah satu hal yang sedang dalam penggodokan adalah Rancangan Peraturan Daerah Terkait Rencana Detail Tata Ruang (Raperda RDTR) Wilayah Central Business District di Sekitar Teluk Kendari. Aturan ini mengatur tentang pemanfaatan wilayah, termasuk pemanfaatan mangrove di sekitar teluk. Raperda ini dikritik banyak pihak karena dianggap hanya berpihak kepada korporasi, yang akan membuat wilayah teluk semakin terdesak.
Hasil penelitian Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sampara menyebutkan, dalam kurun waktu 13 tahun terakhir, terjadi pendangkalan di Teluk Kendari seluas 101,8 hektar dan kedalaman laut berkisar 9 meter sampai 10 meter. Luasan wilayah teluk ini menyusut dari semula 1.186,2 hektar menjadi 1.084,4 hektar pada tahun 2000.
Kepala BPDAS Sampara Azis Ahsoni menjelaskan, dampak dari sedimentasi adalah terjadinya pendangkalan, mulai dari muara hingga ke teluk. Kedalaman air berkurang setelah diterjang endapan dalam jumlah besar selama bertahun-tahun.
Persoalan utamanya itu ada di endapan yang terus datang akibat kerusakan di hulu atau aktivitas masyarakat.
Menurut Azis, jika tidak ada penanganan, endapan dipastikan terus mengalir dan memenuhi teluk. Bisa dipastikan pendangkalan terus terjadi, yang berdampak pada aliran air yang terganggu hingga bisa menyebabkan banjir serta terganggunya ekosistem di wilayah ini.
”Pengerukan itu bagus, tapi hanya solusi jangka pendek. Sementara kolam retensi atau tanggul bisa berdampak besar, tetapi masalahnya bukan di situ. Persoalan utamanya itu ada di endapan yang terus datang akibat kerusakan di hulu atau aktivitas masyarakat,” kata Azis.
Selain itu, ia menambahkan, upaya ini harus dibarengi dengan komitmen untuk menjaga teluk dari desakan pembangunan. Pendangkalan juga disebabkan penimbunan dan reklamasi yang menghilangkan sebagian wilayah pesisir. Kerja sama antarinstansi penting dilakukan agar gerakan penanganan berjalan optimal. Meski demikian, tahun ini pihaknya belum memiliki program untuk penghijauan di DAS Wanggu karena keterbatasan anggaran dan prioritas program.
Tidak hanya itu, tutupan mangrove di kawasan teluk ini juga berkurang drastis. Irfan Ido, akademisi dari Universitas Halu Oleo yang meneliti mangrove, menyampaikan, pembangunan skala besar membuat tutupan mangrove di kawasan teluk semakin kritis. Sebuah jalan membentang di tepian teluk dan menyisakan begitu sedikit alur air dari dan menuju sungai.
Mangrove yang merupakan tempat pemijahan ikan, udang, dan hewan lain terus berkurang. Hal ini berimbas pula pada berkurangnya habitat hewan endemik di wilayah ini, yang berdampak juga pada pendapatan nelayan kecil.
”Desakan pembangunan membuat Teluk Kendari, khususnya wilayah mangrove, tersisihkan. Setelah dibuka menjadi tambak oleh warga, tambak dialihkan ke pemilik modal untuk dibuat menjadi lokasi usaha atau perumahan. Padahal, kawasan ini termasuk kawasan hijau. Perlu kerja keras dari pemerintah untuk menyelamatkan mangrove dan wilayah teluk ini,” tutur Irfan.