Polisi Masih Telusuri Kasus Penjualan Senjata dan Amunisi dari Ambon
Kasus penjualan dua pucuk senjata dan 600 butir peluru dari Ambon ke kelompok kriminal bersenjata di Papua diduga melibatkan banyak pihak. Polisi janji akan mengusut hingga tuntas.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN dan FABIO M LOPES
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kasus penjualan dua pucuk senjata dan 600 butir peluru dari Ambon, Maluku, ke kelompok kriminal bersenjata di Papua diduga melibatkan sejumlah pihak. Sejauh ini empat warga dan dua oknum polisi ditangkap. Polisi masih terus mengusut kasus ini dan berjanji menuntaskannya.
Hingga Senin (22/2/2021) malam, Kepolisian Daerah Maluku belum juga menggelar konferensi pers untuk menjelaskan kronologi resmi kasus tersebut kepada publik. Padahal, kasus tersebut mulai terungkap pada 10 Februari lalu ketika anggota Polres Bintuni, Papua Barat, menangkap pelaku yang membawa senjata itu.
”Masih dalam tahap pemeriksaan. Banyak pihak terlibat sehingga polisi masih mengumpulkan bahan keterangan agar lengkap dan clear (jelas),” ujar Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat. Roem enggan menyebutkan pihak-pihak dimaksud.
Menurut informasi yang dihimpun Kompas, dua oknum polisi yang terlibat dalam penjualan senjata itu bertugas di Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease. Mereka menjual satu pucuk revolver standar dan satu pucuk laras panjang SS1 rakitan.
Sementara itu, pelaku yang terlibat penjualan 600 butir peluru adalah warga Ambon. Amunisi tersebut diperoleh dari seorang oknum aparat di luar institusi Polri. Roem tidak membantah informasi tersebut. ”Makanya, masih dikumpulkan bahan selengkap-lengkapnya,” ujar Roem.
Menurut dia, keterlibatan anggota Polri dalam upaya penjualan senjata ke kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua mencoreng nama baik institusi Polri yang selama ini membantu TNI memerangi kelompok tersebut. ”Tidak ada toleransi sedikit pun bagi anggota yang bertindak seperti itu,” katanya.
Roem berjanji, pihaknya akan mengusut tuntas kasus tersebut, termasuk mendalami jika ada keterlibatan pihak lain di luar Polri, seperti masyarakat umum atau instansi yang lain.
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Maluku Benediktus Sarkol menyayangkan keterlibatan oknum aparat keamanan. Penjualan senjata kepada kelompok kriminal bersenjata akan memperpanjang tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua.
Benediktus mempertanyakan sistem pengawasan penggunaan senjata api oleh Polri. Pengawasan yang lemah membuat anggota menyalahgunakan senjata untuk hal seperti itu. ”Jangan-jangan ini tidak dua orang saja, tetapi bisa lebih. Ini jadi momentum untuk evaluasi,” katanya.
Menurut dia, Maluku yang berbatasan langsung dengan Papua dan Papua Barat sangat rawan menjadi titik penyelundupan senjata. Pengiriman itu bisa dilakukan melalui jalur laut. Banyak pelabuhan rakyat minim pengawasan aparat keamanan. ”Apalagi yang menyelundupkan senjata itu aparat sendiri,” ujarnya.
Kabar penjualan senjata ke Papua oleh oknum anggota Polri menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Kota Ambon. ”Jangan-jangan, senjata itu bekas konflik dulu, terus dijual. Bisa berarti masih banyak senjata yang beredar di masyarakat. Ini sangat berbahaya,” ujar Ongky Wattimena (43), warga.
Dalam catatan Kompas, pada saat konflik sosial melanda Maluku sekitar dua dekade lalu, banyak senjata api beredar, baik standar maupun rakitan. Kala itu gudang senjata milik Brimob Polda Maluku pun dibobol dan ribuan puncuk senjata diambil dari sana.
Sementara itu, Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan Polda Papua Barat dan Polda Maluku untuk mengungkap jaringan penjualan amunisi dan senjata api oleh oknum anggota polisi ke KKB.
Ia mengatakan, aksi tersebut menyebabkan KKB tak pernah kehabisan stok amunisi dan senjata api. Akibatnya, KKB terus menebar teror di sejumlah kabupaten di Papua, seperti Nduga, Intan Jaya, dan Puncak.
Berdasarkan data Polda Papua, terjadi 49 kasus gangguan keamanan oleh KKB di Papua sepanjang tahun 2020. Teror penembakan KKB terjadi di tujuh wilayah hukum Polda Papua meliputi Nduga, Intan Jaya, Paniai, Mimika, Puncak Jaya, Keerom, dan Pegunungan Bintang. Sebanyak 17 orang meninggal akibat serangan KKB.
Pada tahun 2021, KKB masih terus meneror. Di Kabupaten Intan Jaya, misalnya, sudah terjadi tujuh serangan KKB sejak awal tahun ini. Tiga anggota TNI dan dua warga sipil meninggal. Sementara seorang anggota TNI dan warga mengalami luka berat karena terkena tembakan. ”Perbuatan oknum anggota yang menjual amunisi dan senjata api ke KKB tidak bisa ditoleransi. Mereka mengorbankan nyawa rekan anggota dan masyarakat sipil demi kepentingan pribadi,” ujar Paulus.