Kejahatan di Selat Singapura Terus Berulang, Kepercayaan Dunia Internasional Terancam Luntur
Terus berulangnya kejahatan laut di Selat Singapura yang pelakunya merupakan WNI berpotensi membuat kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia untuk menjaga keamanan di perairan itu terancam luntur.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Personel TNI Angkatan Laut menangkap lima pelaku pencurian terhadap kapal tongkang Linau-133 berbendera Malaysia di Selat Singapura, Batam, Kepulauan Riau, Minggu (21/2/2021). Sepanjang 2021, telah terjadi tiga peristiwa serupa di lokasi yang sama. Hal itu berpotensi membuat kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia luntur.
Komandan Gugus Keamanan Laut Komando Armada I Laksamana Pertama Yayan Sofiyan, Senin (22/2/2021), mengatakan, lima pelaku itu ditangkap Kapal Republik Indonesia (KRI) Siwar-646 yang sedang berpatroli di perairan Karang Banteng dekat Pulau Pemping, Batam. Para pelaku yang menggunakan dua speedboat itu tertangkap basah sedang memindahkan kabel baja dan sejumlah jeriken dari tongkang Linau-133.
Yayan menjelaskan, tongkang Linau-133 itu ditarik oleh Kapal Tunda Danum-50 yang juga berbendera Malaysia. Kapal itu diawaki delapan warga negara Indonesia dan dua warga negara Malaysia. Saat ini, kapal beserta seluruh awaknya masih diamankan dan akan dimintai keterangan lebih lanjut di Pangkalan TNI AL Batam.
Selama 2021, telah terjadi tiga aksi kejahatan serupa di lokasi yang sama. Hal itu menjadi alarm bagi negara-negara di kawasan sekitar Selat Singapura yang merupakan salah satu perairan tersibuk di dunia. Pada 2020, ada 62.639 kapal yang melintas di selat sempit tersebut.
”Dunia internasional memberi kepercayaan kepada negara-negara di sekitar Selat Malaka untuk memberi jaminan keamanan kepada pengguna laut. Namun, kejadian pencurian di laut seperti ini pastinya akan mengurangi kepercayaan itu,” kata Yayan saat rilis pers di Dermaga Pangkalan TNI AL Batam.
Sebelumnya, pada 8-9 November 2020, dalam enam jam, juga terjadi tiga kali perompakan di perairan timur Selat Singapura. Kembali maraknya perompakan itu mengindikasikan lemahnya kontrol negara-negara di kawasan tersebut.
”Namun, untuk kasus (kali) ini tidak ditemukan bentuk kekerasan. Ini bukan perompakan dengan kekerasan, melainkan pencurian di laut,” ujar Yayan.
Sebelumnya, Panglima Komando Armada I Laksamana Madya Abdul Rasyid telah memerintahkan seluruh KRI agar terus siaga menyelenggarakan operasi keamanan di Selat Singapura. Secara khusus, dari Aceh sampai Batam, TNI AL mengoperasikan 14 radar dan sejumlah pesawat intai serta beberapa KRI untuk mengantisipasi kerawanan di Selat Malaka.
Yayan menambahkan, saat ini keamanan di Selat Singapura menjadi persoalan yang semakin penting karena pemerintah berencana membangun lima titik labuh jangkar di perairan sekitar Batam, Bintan, dan Karimun. Dengan begitu, diharapkan nantinya sejumlah kapal yang melintas di jalur internasional itu akan tertarik untuk mengisi bahan bakar dan menambah perbekalan dari Indonesia.
”Bisa dibayangkan apabila ada banyak kapal yang lego jangkar, itu akan menyumbang devisa yang cukup besar dan memberi peluang kerja kepada warga. Namun, kalau kasus pencurian di laut seperti ini tidak bisa diberantas, (Indonesia) bisa kehilangann kepercayaan dari pengguna laut dan dunia internasional,” ucap Yayan.
Oleh sebab itu, sejumlah pendekatan terus dilakukan TNI AL kepada warga di pulau-pulau kecil sekitar Selat Singapura. Tujuannya untuk membina orang-orang di sana tidak lagi terlibat kejahatan di laut internasional yang bakal mencoreng martabat bangsa.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto menilai, maraknya perompakan di Selat Singapura mengindikasikan lemahnya kontrol negara-negara di wilayah tersebut. Hal itu patut dipikirkan semua negara di Asia Tenggara karena sangat mungkin perompakan masih akan terjadi pada masa mendatang, bahkan mencakup lokasi yang lebih luas.
Jika negara-negara di Asia Tenggara tidak segera mengambil langkah strategis dan program nyata untuk menangkal pembajakan di laut, dapat diprediksi situasi ini akan menyuburkan kejahatan lain terkait yang menjadi ancaman bagi keamanan laut, seperti terorisme, perikanan ilegal, kejahatan lingkungan, perdagangan manusia, narkoba, barang-barang palsu, serta senjata ilegal, bahkan meningkatkan kecelakaan laut dan sengketa yurisdiksi.
Karena adanya zona maritim dengan rezim hukum yang berbeda-beda, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang dapat memerangi pembajakan sendirian. Pembajakan dan penyanderaan yang terjadi di laut umumnya merupakan problematika yang melibatkan yurisdiksi multinasional dan memerlukan pendekatan multinasional pula. Pendekatan domestik satu negara untuk menangani pembajakan dan penyanderaan di laut tidak akan memadai.
”Salah satu masalah krusial yang perlu dinegosiasikan dan dirinci lebih lanjut oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara adalah bagaimana menentukan lingkup kerja sama dalam rangka mewujudkan wilayah laut yang aman,” kata Sigit.
Ada baiknya, kata dia, negara-negara di Asia Tenggara mencermati code of conduct yang telah dikembangkan dan diterapkan di wilayah lain dalam memerangi pembajakan di laut. Beberapa contohnya diterapkan di Somalia dan Samudra Hindia.
Salah satu masalah krusial yang perlu dinegosiasikan dan dirinci lebih lanjut oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara adalah bagaimana menentukan lingkup kerja sama dalam rangka mewujudkan wilayah laut yang aman,
Code of conduct yang berlaku di kawasan lain dapat menjadi rujukan awal dan perbandingan dalam menyusun code of conduct yang akan diterapkan di wilayah Asia Tenggara, termasuk bagaimana mengintegrasikan prinsip-prinsip: kedaulatan, kesetaraan, non-intervensi, dan penghormatan integritas teritorial setiap negara.