Tradisi Semana Santa di Larantuka Menjadi Ikon Katolik Nasional
Perayaan semana santa di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, direncanakan menjadi ikon Katolik nasional karena perayaannya melibatkan beberapa umat dengan latar belakang suku dan agama.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Prosesi semana santa di Larantuka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (13/4/2018).
LARANTUKA, KOMPAS — Perayaan semana santa di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, direncanakan menjadi ikon katolik nasional. Perayaan itu tidak hanya melibatkan umat katolik, tetapi juga beberapa umat dengan latar belakang suku dan agama berbeda. Sebagai ikon katolik nasional, Larantuka perlu ditata lebih baik. Tradisi semana santa di Larantuka muncul jauh sebelum agama katolik tiba di Larantuka tahun 1510.
Sekretaris Jenderal Keuskupan Larantuka, Flores Timur, RD Siprianus Sande, dihubungi di Larantuka, Jumat (19/2/2021), mengatakan, peringatan semana santa di Larantuka pada 2021 ini tidak diselenggarakan karena pandemi Covid-19. Keputusan ini telah diumumkan Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kung. Pada 2020 semana santa juga tidak dirayakan karena pandemi Covid-19 yang sama.
Menurut Siprianus Sande, Dirjen Bimas Katolik, dirinya ke Larantuka bertemu Uskup Larantuka. Dalam pertemuan itu, Dirjen Bimas Katolik menyebutkan, Menteri Agama memiliki perhatian khusus akan perayaan semana santa dan berencana menjadikan tradisi gereja Katolik itu sebagai ikon nasional dalam bingkai kerukunan umat beragama.
”Perayaan itu tidak hanya melibatkan umat Katolik, tetapi juga menyertakan banyak pihak dalam suasana toleransi yang tinggi antarumat beragama,” katanya.
Setiap perayaan semana santa, kelompok pemuda Katolik dibantu kelompok remaja masjid dan GP Ansor membantu menjaga keamanan dan ketertiban selama perayaan berlangsung. Sebaliknya, pada hari raya Idul Fitri orang muda katolik atau OMK Larantuka menjaga keamanan dan ketertiban selama kegiatan shalat Id berlangsung. Kerja sama ini sudah berlangsung sejak 1990-an sampai hari ini.
Prosesi laut melibatkan ratusan bahkan ribuan perahu motor dan perahu nelayan trandisional. Mereka mengarak patung Tuan Meninu atau Patung Yesus dari Kapela Tuan Meninu menuju Kapela Tuan Ma sejauh 7 km, sebagai persiapan untuk prosesi darat yang dilaksanakan hari Jumat (13/4/2018) malam.
Kementerian Agama menilai, perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia tidak hanya oleh salah satu kelompok masyarakat atau agama tertentu, tetapi juga semua elemen masyarakat Indonesia dengan latar belakang suku dan agama berbeda. Perbedaan suku, agama, dan budaya itu harus dilihat sebagi kekayaan bangsa yang perlu dilestarikan.
Perayaan itu tidak hanya melibatkan umat Katolik, tetapi juga menyertakan banyak pihak dalam suasana toleransi yang tinggi antarumat beragama.
Menurut dia, jika rencana tersebut benar, Keuskupan Larantuka dan umat Katolik Larantuka, khususnya, dan Flores patut berterima kasih kepada pemerintah. Lebih dari itu, juga diharapkan agar pemerintah tidak sekadar dalam penyebutan ikon nasional, tetapi juga Larantuka perlu ditata secara lebih baik.
”Maka, setiap orang datang berziarah atau mengikuti semana santa merasa nyaman berdoa, berefleksi, dan khusyuk sehingga kembali dari Larantuka bisa mendapatkan sesuatu secara rohani,” ujar Sande.
Kebinekaan
Tokoh masyarakat Larantuka, Yance Fernandes, mengatakan, jika hal ini terealisasi, itu luar biasa bagi pemerintah dan kebinekaan di Indonesia. Dunia internasional akan kaget dengan toleransi, kerukunan, dan kepedulian pemerintah terhadap kelompok minoritas di Indonesia.
Dengan status sebagai ikon katolik nasional, pemerintah harus memperhatikan Larantuka secara khusus, terutama pembangunan sarana, prasarana, dan infrastruktur pendukung. Rumah-rumah ibadah dibenahi dan juga tempat wisata rohani lain sebagai pendukung semana santa, seperti di Wure di Pulau Adonara dan Konga sekitar 30 km sebelah barat Larantuka.
Patung Mater Dolorosa atau Bunda Berdukacita, di mana Bunda Maria sedang memangku jenazah Yesus, seusai diturunkan dari Salib, Jumat (13/4/2018).
Ia mengatakan, peringatan semana santa di Larantuka wajar mendapat perhatian pemerintah. Tradisi ini muncul jauh sebelum kemerdekaan RI, bahkan sebelum agama katolik masuk di Larantuka.
Penghormatan terhadap Bunda Maria diawali dengan penemuan patung Bunda Maria oleh seseorang bernama Resiona di tepi Pantai Kebi, Larantuka. Patung itu diduga dibawa kapal Portugis yang melintas perairan Larantuka, kemudian terjatuh di dalam air laut.
Patung itu pun disimpan dan disembah di rumah adat, disebut ”Korke”. Sampai tahun 1510 datang seorang pastor dari ordo Dominikan di Larantuka, menyaksikan masyarakat menyembah patung itu, kemudian dijelaskan bahwa patung itu adalah Bunda Maria, yang anaknya bernama Yesus.
Peralihan ini juga berpengaruh terhadap semua dampak dari prosesi dan penyembahan kepada Tuan Ma dan Tuan Meninu.
Saat itu pula raja Larantuka Ola Adobala dibaptis menjadi katolik dengan nama Fransisco Ola Adobala Dias Viera de Godinho (DVG). Ia lalu menyerahkan Larantuka kepada kepemimpinan Bunda Maria. Larantuka pun disebut kota Renya Rosario. Secara rohani, Larantuka dipimpin Bunda Maria, secara duniawi dipimpin raja Fransisco Ola Adobala DVG.
Patung Bunda Maria saat keluar dari dalam gereja Katedral untuk diarak keliling kota Larantuka sejak pukul 18.00 Wita sampai pukul 04.00 Wita. Selama prosesi diikuti doa dan nyanyian rohani, yang disampaikan setiap kelompok peziarah dari sejumlah tempat.
Berlangsung tujuh hari
Saat prosesi semana santa Jumat Agung itu, patung Tuan Ma berada paling depan dan raja Ola Adobala DVG serta keturunannya di belakang patung. Ini berlangsung sampai hari ini selama prosesi semana santa. Namun, pelaksanaan semana santa ditentukan oleh 13 suku di Larantuka, yang lengkap dengan rumah adat atau ”tori” masing-masing, bukan oleh raja sendiri.
Jumlah 13 tori itu, antara lain, adalah Tuan Meninu, Tuan Trewa, Mulawato, dan Tori Fernandes. Jumlah 13 suku itu masuk dalam keanggotaan ”Confreria” atau persaudaraan. Confreria ini memiliki peran utama dalam menjalankan kegiatan semana santa di Larantuka, bukan pastor atau uskup.
Ia mengatakan, dari 13 tori itu, 2 tori di antaranya sudah diubah oleh gereja Larantuka menjadi kapela, yakni Tuan Ma dan Tuan Meninu, dan dikuasi oleh gereja. Padahal, sesuai dengan sejarah asal-usulnya, kepela Tuan Ma dan Tuan Meninu adalah tori milik suku Tuan Ma dan Tuan Meninu.
”Peralihan ini juga berpengaruh terhadap semua dampak dari prosesi dan penyembahan kepada Tuan Ma dan Tuan Meninu,” kata Fernandes.
Sebagian Kota Larantuka dilihat dari laut. Tampak kota ini berada persis di bawah lereng Gunung Ile Mandiri sehingga pengembangan kota pun sangat sulit. Sebagai kota wisata religius, Pemerintah Kabupten Flores Timur perlu membenahi kebersihan dan keindahan kota, termasuk di bibir pantai, yang menjadi permukiman warga.