Seniman serba bisa, sosioart, Azis Suprianto (55) atau Azis ”Fraklin”, berpulang pada Jumat (19/2/2021) di Malang, Jawa Timur karena penyakit kanker darah.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Kabar berpulangnya Azis Suprianto (55) menyebar lewat grup percakapan Whatsapp, Jumat (19/2/2021) siang. Seniman serba bisa yang kerap tampil di atas panggung dengan membawa alat musik sape’ khas Dayak ini mengembuskan napas terakhir di rumahnya, di Jalan Ambon 26, Kota Malang, Jawa Timur.
Almarhum yang biasa disapa Azis ”Franklin” meninggalkan seorang istri, Felga Widyahnita, dan dua anak, masing-masing Firstyan Argista Sakti dan Carina Artistasari.
Rekan almarhum sesama seniman, Jumali, menuturkan, Azis meninggal akibat kanker darah stadium lanjut yang dideritanya. Sebelum meninggal, beberapa hari lalu, almarhum sempat dibawa ke Rumah Sakit Lavalette dan RS Islam (RSI) Malang. Bahkan, saat itu sejumlah seniman di Malang sempat menggalang donasi untuk pengobatan Azis.
”Awalnya diduga sakit lever. RS Lavalette angkat tangan, RSI angkat tangan, itu kanker darah stadium lanjut. Almarhum meninggal di rumah. Teman-teman sebenarnya masih mencari alternatif. Kita saling berkontak, tetapi sepertinya tidak nutut. Tadi pagi sudah tidak sadar,” ujarnya.
Menurut Jumali, sosok almarhum tidak rewel. Dia juga ”bertangan dingin”, termasuk kepada anak-anak. Tidak sulit berkoordinasi dengan Azis. Etika berbudayanya bagus. Almarhum juga tidak pelit berbagi ilmu, termasuk teknik sulap kepada teman-teman sesama seniman. ”Di kelompok kesenian, LSM (lembaga swadaya masyarakat), komunitas anak-anak, dia bagus,” ujarnya.
Jumali sendiri sudah lama mengenal sosok Azis. Bahkan, Jumali membuat istilah Wayang Wolak-Walik bersama almarhum saat masih berada di Yogyakarta. ”Sudah lama. Saya tidak ingat tahunnya. Saat itu, anak saya masih SD, sekarang anak saya sudah duduk di bangku SMA, mau kelas III,” tuturnya.
Dia sebagai guru sosial meski tidak menjadi guru formal.
Selama ini, Jumali memang berpartner dengan Azis. Keduanya menjelajah sejumlah kota untuk mementaskan Wayang Wolak-Walik, seperti Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Mataram, dan Lombok. Terakhir, keduanya sempat pentas saat peringatan Hari Lahir Nahdlatul Ulama di Malang bersama beberapa seniman.
Budayawan Universitas Negeri Malang (UM) M Dwi Cahyono menilai, almarhum sebagai sosok yang patut menjadi teladan di bidang sosioart (seni sosial). Apa yang dilakukan Azis bukan sekadar berkesenian, melainkan juga bermasyarakat. Ini yang agak jarang dilakukan oleh seniman lain.
”Dia sebagai guru sosial meski tidak menjadi guru formal. Dulu memang pernah jadi guru karena latar belakangnya seni rupa UM. Setelah itu, dia aktif di kegiatan sosial di masyarakat,” katanya. Menurut Dwi Cahyono, Azis sebagai musisi yang unik, orangnya bersahaja, tidak materialistis, ringan tangan, dan telaten dengan anak-anak.
”Dia musisi yang unik. Sape’ yang dia mainkan memiliki beat-beat Jawa. Gaya Jawanya masuk, padahal itu alat musik Kalimantan,” kata Dwi, yang pernah bersama almarhum terlibat aksi menolak lupa akan proses pelestarian Situs Sekaran, di Malang, beberapa waktu lalu.
Selain berkesenian, Azis juga dikenal sebagai pendongeng. Salah satu anggota kelompok Teater Keliling Jakarta ini mulai mendongeng sejak 1991. Ia biasa memenuhi undangan mendongeng dari siapa saja, termasuk di radio dan televisi lokal di Malang.
”Franklin” yang disematkan sebagai nama belakangnya, diambil dari nama tokoh fabel yang menjadi cerita dongengnya. Nama itu sekaligus diterjemahkan menjadi sahabat bersih (friend dan clean). Saat mendongeng, Azis biasa memasukkan keterampilan sulap dan melukis sebagai media bercerita.
Baginya, dongeng tidak sekadar media penghibur anak menjelang tidur. Akan tetapi, dongeng juga sebagai media penyampai pesan positif dan nilai luhur yang bisa diadopsi pendengarnya. Kini, seniman serba bisa yang ramah itu telah beristirahat dengan tenang selamanya. Selamat jalan, Mas Azis….