Sebagian warga Balongan, Indramayu, Jawa Barat, berharap mendapat kompensasi serupa seperti warga Jenu, Tuban. Mereka menganggap apa yang mereka dapatkan selama ini jauh dari ideal.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Potret ceceran minyak di Pantai Indah Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jumat (23/10/2020). PT Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu masih meneliti sumber ceceran minyak tersebut.
Ketika warga Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, ramai-ramai membeli mobil, warga di Desa Sukareja, Balongan, Kabupaten Indramayu hanya bisa gigit jari. Padahal, kedua desa mendapat pembayaran lahan pembangunan proyek PT Pertamina (Persero).
“Enak ya di Tuban. Sudah dapat mobil, masuk TV (televisi) lagi,” ucap Hj Suneti (59), warga Sukareja, Kamis (18/2/2021). Ia mengomentari viralnya sejumlah warga Sumurgeneng yang menjelma miliuner setelah menerima pembayaran pembebasan lahan kilang minyak grass root refinery (GRR).
Suneti berharap bisa seperti warga di Tuban. Desanya juga terdampak pembangunan Petrochemical Complex tahap I. Megaproyek dengan investasi sekitar Rp 100 triliun ini dibangun atas kerja sama Pertamina dan China Petroleum Corporation Taiwan.
Pembangunannya membutuhkan lahan 331,92 hektar di lima desa di Balongan, yakni Sukaurip (35,44 ha), Tegal Sembadra (45,21 ha), Sukareja (86,47 ha), Balongan (31,08 ha), dan Majakerta (108,2 ha). Satu desa lainnya, yakni Limbangan (25,5 ha), berada di Kecamatan Juntinyuat.
Pembebasan lahan tahap pertama dilakukan di Sukaurip, Tegal Sembadra, dan Sukareja, seluas 167,12 ha. Ini sesuai Keputusan Gubernur Jabar Nomor 593/Kep.1000-Pemksm/2019 pada 10 Desember 2019 tentang Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Petrochemical Complex di Indramayu.
Akan tetapi, harga pembebasan lahan jauh di bawah proyek di Tuban. Sawahnya hanya dihargai Rp 240.000 per meter persegi. Harga pupuk urea non subsidi 50 kilogram saja lebih mahal dari kompensasi itu. Menurut dia, lahan warga ditawar paling tinggi sekitar Rp 400.000 per meter persegi. Sedangkan di Tuban dipatok Rp 500.000 – Rp 800.000 meter persegi.
“Kalau saya mau beli tanah lagi harus tombok. Harga sawah di sekitar sini sudah Rp 340.000 – Rp 350.000 per meter persegi,” ujarnya. Padahal, dari sawah seluas 7.700 meter persegi, tamatan sekolah dasar ini bisa mengantar lima anaknya ke perguruan tinggi dan memenuhi kebutuhan harian keluarga.
Petani mengecek tanaman padi di lahan persawahan yang berada di sekitar bangunan industri di wilayah Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Rabu (13/7/2016). Kemarau basah yang berlangsung di lumbung padi nasional itu mempermudah petani dalam memasuki musim tanam kedua atau gadu.
Suneti menyewakan sawahnya kepada petani penggarap. Dalam dua musim tanam, ia menerima 2,5 ton gabah kering giling. Gabah itu menjadi tabungan dan disimpan dalam gudang seluas 2,5 meter x 3 meter yang baru dibangun.
Kapasitas gudang itu bisa mencapai lebih dari 5 ton. Suneti tidak bisa memastikan, apakah gudang itu bakal penuh. Jika saja lahannya dihargai murah, ia tidak yakin bisa punya sawah lagi.
“Kami tidak menolak pembangunan Petrochemical Complex. Tapi, harganya harus adil, seperti di Tuban,” ujar H Tarsono (62), suami Suneti. Ungkapan penolakan harga pembebasan lahan yang murah juga yang terpajang di depan pagar Balai Desa Sukareja.
Tarsono juga berharap, warga setempat bisa bekerja dalam proyek Petrochemical Complex. Apalagi, megaproyek itu diprediksi bisa menyerap 250 pekerja pada tahap prakonstruksi, sekitar 20.000 orang saat konstruksi, dan 2.500 pekerja pascakonstruksi.
Pembebasan lahan di Sukareja bukan kali ini saja. Pada 1993, terjadi bedol desa untuk pengembangan proyek Exor I milik Pertamina. Sekitar 400 KK atau 2.000 jiwa penduduk Desa Sukareja direlokasi (Kompas, 6/11/1993). Seingat Tarsono, ia mendapatkan ganti rugi Rp 3.500 per meter persegi.
“Dulu, jumlahnya sudah menguntungkan. Kami bisa beli tanah yang lebih besar dan bangun rumah lebih bagus. Saya tahu, Pertamina pasti beli lahan warga berapa pun itu,” kata Tarsono yang mengaku pernah kerja di proyek Pertamina.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Warga mengaduk campuran serbuk kayu, efektif mikroorganisme, dan bahan lainnya untuk menjadi wadah pertumbuhan jamur tiram di markas Kelompok Wisma Jati di Desa Sukaurip, Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Rabu (7/8/2019).
Penjabat Kuwu (Kepala Desa) Sukaurip Warsono mengatakan, selain kenaikan harga pembayaran lahan, warga terdampak juga berharap kepastian harga segera turun. Sebelumnya, Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) datang untuk menaksir ulang harga lahan masyarakat.
“Katanya, kepastian harga turun 15 Januari lalu. Tapi, sekarang belum ada. Warga sampai bertanya, kien dolanan tah (rencana pembebasan lahan ini main-main saja)?” ujarnya.
Ketidakpastian itu juga membingungkan petani penggarap. “Kami mau sewa lahan setahun, takutnya nanti sawahnya sudah dijual. Kalau enggak digarap, sayang,” kata Ikrom (50), petani Sukaurip.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Nuriyah (42) menunjukkan pepes jamur tiram, di teras rumahnya di Desa Sukaurip, Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Rabu (7/8/2019). Setiap hari, ia mampu meraup Rp 100.000 dari menjual 50 pepes.
Bertahun-tahun menyewa lahan 8.400 meter persegi seharga Rp 11 juta per tahun, ia bisa membesarkan dan menyekolahkan dua anaknya. Setiap tahun, Ikrom bisa memanen 9 ton GKG. Sekitar 9 kuintal dijadikan zakat dan lebihnya dijual. Penghasilan dari sawah, katanya, lebih besar dibandingkan gajinya sekitar Rp 2 juta sebagai aparat desa dengan status honorer.
Sebenarnya, Ikrom masih ingin menggarap sawah. Tapi, ia tidak berwenang karena itu lahan orang lain. Dari sekitar 87 hektar sawah di Sukaurip, sebanyak 35,4 hektar terdampak megaproyek Pertamina. “Nanti saya cari lahan lagi. Tapi, harga sewanya pasti lebih tinggi. Itu juga kalau ada tanahnya. Orang dari kecamatan lain juga menggarap di sini,” katanya.
Secara terpisah, Unit Manager Communication Relations dan CSR Pertamina RU VI Balongan Cecep Supriyatna mengatakan, pembangunan Petrochemical Complex merupakan proyek Pertamina pusat. Pihaknya tidak mengetahui pasti perkembangan proyek tersebut. Namun, ia menjamin pembebasan lahan dilakukan secara independen.
Tarsono, Suneti, Ikrom, dan warga lainnya berharap, megaproyek Pertamina di Balongan bisa meningkatkan kesejahteraan mereka, bukan malah memperlebar jurang ketimpangan.