Tes PCR di DIY Terus Turun, Penularan Berpotensi Lebih Sulit Dikendalikan
Tren penurunan jumlah orang yang menjalani PCR di Daerah Istimewa Yogyakarta terus berlanjut. Penurunan jumlah tes ini berpotensi menyebabkan penularan penyakit Covid-19 di DIY menjadi lebih sulit dikendalikan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·6 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Tren penurunan jumlah orang yang menjalani tes reaksi rantai polimerase atau PCR di Daerah Istimewa Yogyakarta terus berlanjut. Penurunan jumlah orang yang menjalani tes ini dikhawatirkan membuat semakin banyak kasus Covid-19 yang tak terdeteksi sehingga penularan penyakit Covid-19 di DIY berpotensi menjadi lebih sulit dikendalikan.
Berdasarkan laporan harian Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, tren penurunan jumlah orang yang menjalani tes PCR itu terjadi sejak Minggu (14/2/2021) dan terus berlanjut hingga Rabu (17/2/2021). Selama empat hari terakhir, rata-rata jumlah orang yang menjalani tes PCR di DIY sekitar 600 orang dalam sehari.
Pada Minggu kemarin, misalnya, jumlah orang yang dites PCR di DIY hanya 652 orang. Sehari kemudian, jumlah orang yang dites meningkat menjadi 686 orang, tetapi kemudian menurun menjadi 612 orang pada Selasa (16/2/2021). Pada Rabu ini, jumlah orang yang melakukan tes PCR di DIY kembali turun menjadi hanya 600 orang. Padahal, beberapa pekan sebelumnya, jumlah orang yang dites PCR di DIY hampir selalu melebihi 1.000 orang per hari.
Penurunan jumlah orang yang menjalani tes PCR itu terjadi saat DIY menerapkan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro. Sejumlah provinsi di Jawa dan Bali, termasuk DIY, sedang melaksanakan PPKM mikro pada 9-22 Februari 2021.
Sebelum PPKM mikro, DIY menjalankan kebijakan pengetatan secara terbatas kegiatan masyarakat (PTKM) pada 11-25 Januari 2021. Substansi kebijakan PTKM di DIY itu sama dengan kebijakan PPKM yang dijalankan oleh sejumlah provinsi di Jawa dan Bali pada periode tersebut. Sesudah PTKM tahap pertama, DIY menerapkan PTKM tahap kedua pada 26 Januari-8 Februari 2021 dan disusul dengan penerapan PPKM mikro.
Menurut data yang dihimpun Kompas dari laporan harian Dinkes DIY, jumlah tes PCR di DIY pada masa PPKM mikro ternyata lebih rendah dibandingkan pada masa PTKM tahap pertama dan kedua. Saat PTKM tahap pertama, rata-rata terdapat 1.085 orang yang menjalani tes PCR di DIY dalam sehari.
Sementara itu, pada PTKM tahap kedua, rata-rata jumlah orang yang menjalani tes PCR di DIY meningkat menjadi 1.097 orang per hari. Namun, pada sembilan hari pertama PPKM mikro atau 9-17 Februari 2021, rata-rata jumlah orang yang menjalani tes PCR di DIY hanya 848 orang per hari atau menurun sekitar 22,7 persen dibandingkan dengan PTKM tahap kedua.
Tren penurunan jumlah orang yang dites itu kemudian diikuti menurunnya jumlah kasus Covid-19 di DIY. Pada 9-17 Februari, total kasus Covid-19 di DIY sebanyak 1.808 kasus atau rata-rata 201 kasus dalam sehari. Rata-rata kasus harian pada sembilan hari pertama PPKM mikro itu menurun sekitar 30,2 persen dibandingkan rata-rata kasus harian pada PTKM tahap kedua yang sebanyak 288 kasus per hari.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Riris Andono Ahmad, mengatakan, penurunan jumlah orang yang dites PCR itu berpotensi membuat pemotongan rantai penularan Covid-19 menjadi lebih sulit dilakukan. Sebab, semakin sedikit jumlah tes yang dilakukan, jumlah kasus Covid-19 yang tidak terdeteksi berpotensi semakin banyak.
Padahal, jika semakin banyak kasus Covid-19 yang tak terdeteksi, penularan akan terjadi lebih luas. Hal ini karena banyak orang yang terinfeksi Covid-19 tidak menyadari telah terinfeksi sehingga mereka tidak melakukan isolasi dan terus menularkan ke orang lain.
Berdasarkan laporan harian Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, tren penurunan jumlah orang yang menjalani tes PCR itu terjadi sejak Minggu (14/2/2021) dan terus berlanjut hingga Rabu (17/2/2021).
Rasa aman semu
Riris juga mengingatkan, apabila jumlah kasus Covid-19 yang terdeteksi oleh pemerintah mengalami penurunan karena jumlah orang yang dites menurun, hal itu bisa menyebabkan munculnya rasa aman semu di masyarakat. Sebab, saat melihat data pemerintah yang menunjukkan jumlah kasus menurun, masyarakat bisa beranggapan penularan Covid-19 telah menurun sehingga mereka dapat menjadi lebih abai.
Padahal, penurunan jumlah kasus Covid-19 yang diumumkan oleh pemerintah itu belum tentu mencerminkan terjadinya penurunan laju penularan di masyarakat. ”Turunnya kasus itu kemungkinan besar bukan karena penularannya menurun, tetapi kemungkinan karena kita lebih sedikit menemukan kasus karena kita melakukan pengetesan yang lebih sedikit,” ungkap Riris.
Apalagi, meski jumlah kasus Covid-19 di DIY menurun selama PPKM mikro, positivity rate atau tingkat kepositifan di provinsi tersebut masih tinggi. Positivity rate merupakan perbandingan jumlah orang yang menjalani tes PCR dengan jumlah orang yang dinyatakan positif Covid-19.
Berdasarkan kalkulasi yang dilakukan Kompas dengan mengacu pada laporan harian Dinkes DIY, positivity rate di DIY pada periode 9-17 Februari 2021 sebesar 23,7 persen atau lebih dari empat kali lipat rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni kurang dari 5 persen.
Riris menuturkan, ada dua kemungkinan penyebab tingginya positivity rate tersebut. Kemungkinan pertama, positivity rate yang tinggi itu karena orang yang menjalani tes adalah mereka yang memiliki kemungkinan tinggi terinfeksi Covid-19. Kemungkinan kedua, tingginya positivity rate itu disebabkan oleh tingginya tingkat penularan Covid-19 yang terjadi.
”Positivity rate yang tinggi itu bisa menunjukkan bahwa tingkat penularan sangat tinggi dan kita tidak bisa menangkap (menemukan) semua kasus,” kata Riris.
Korelasi positivity rate yang tinggi dengan laju penularan yang tinggi itu juga diungkap dalam laporan situasi Covid-19 di Indonesia yang diterbitkan WHO pada 10 Februari 2021. Menurut laporan itu, positivity rate lebih dari 20 persen menunjukkan bahwa suatu wilayah berada dalam kondisi community transmission (CT) atau penularan komunitas level 4. Kategori CT4 menunjukkan terjadinya penularan yang sangat tinggi di komunitas.
Tes massal
Riris menyatakan, dalam kondisi penularan Covid-19 yang meluas di komunitas seperti sekarang, upaya tracing atau pelacakan tidak akan cukup untuk memutus rantai penularan. Sebab, saat penularan Covid-19 sudah meluas, upaya tracing yang dilakukan petugas tidak akan bisa mengimbangi kecepatan penularan yang terjadi.
Untuk mengimbangi penularan yang terjadi, Riris menyebut, ada dua pilihan. Pertama, menyiapkan petugas tracing yang sangat banyak beserta perlengkapan dan anggaran memadai. Kedua, melakukan tes massal agar orang-orang yang terinfeksi Covid-19 bisa dideteksi secara lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak.
”Ketika transmisi (penularan) sudah sangat meluas dan kita masih bertumpu pada tracing individu, kita harus menginvestasikan sumber daya yang sangat besar untuk melakukan tracing. Sementara itu, cara yang lain adalah melakukan screening (tes) massal,” papar Riris.
Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji mengatakan, hingga sekarang, Pemda DIY masih melakukan tes PCR berdasarkan hasil tracing. Kadarmanta menyebutkan, tes yang dilakukan berdasarkan tracing dinilai lebih efektif untuk menemukan kasus positif Covid-19 dibandingkan melakukan tes PCR secara acak.
”Melakukan tes yang acak itu sebetulnya tidak efektif. Tes yang paling bagus adalah tes yang dilakukan karena tracing. Kalau berdasarkan tracing, kemungkinannya besar (untuk menemukan kasus Covid-19),” ungkap Kadarmanta.
Kadarmanta menambahkan, sampai saat ini, jumlah tes PCR yang dilakukan di DIY masih lebih tinggi dibandingkan dengan rekomendasi WHO. WHO merekomendasikan jumlah orang yang dites PCR di suatu wilayah minimal 1 per 1.000 penduduk per minggu.
Berdasarkan rekomendasi WHO itu, jumlah orang yang harus menjalani tes PCR di DIY minimal 3.882 orang per minggu atau 555 orang per hari. Oleh karena itu, Kadarmanta menilai, tidak ada masalah terkait jumlah tes PCR di DIY. ”Dari sisi jumlah tes, saya kira enggak ada persoalan,” ujarnya.