Banjir Semarang, Momentum Penanganan Terpadu Bencana Pantura
Infratruktur teknis selalu menjadi senjata andalan penanganan banjir di Semarang. Namun, banjir awal Februari lalu menunjukkan, penurunan muka tanah, perubahan iklim, dan DAS kritis juga penting dikendalikan.
Banjir yang melanda Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Sabtu (6/2/2021) dan bertahan hingga berhari-hari di sejumlah lokasi, menjadi alarm bahwa penanganan banjir di wilayah pesisir utara perlu dilakukan komprehensif. Infrastruktur teknis hanya satu cara, tetapi aspek ekologi dan sosial jangan sampai terlupa.
Banjir yang berdampak pada 8 dari 16 kecamatan di Kota Semarang itu, salah satunya dipicu cuaca ekstrem, yakni curah hujan hingga 171 milimeter (mm). Namun, sejumlah faktor lain turut berkontribusi, seperti penurunan muka tanah sekitar 10 sentimeter (cm) per tahun, kritisnya daerah aliran sungai sejak hulu, hingga pengaruh pasang air laut.
Beberapa tahun terakhir, sejumlah proyek pengendalian banjir dan rob di Kota Semarang terus digenjot. Proyek-proyek itu, antara lain, normalisasi Kanal Timur, Sistem Kali Sringin, dan Sistem Kali Tenggang yang disertai pembangunan rumah pompa. Banjir dan rob di Semarang pun cenderung berkurang dua tahun terakhir. Namun, begitu dihantam cuaca ekstrem, sistem-sistem itu tak berdaya juga.
Baca juga : Banjir di Pantura Semarang Diperparah Cuaca dan Penurunan Muka Tanah
Dalam sistem pengelolaan sungai, daerah hilir, seperti wilayah utara Kota Semarang, kerap kali paling terdampak banjir. Sebut saja Kelurahan Kemijen Kecamatan Semarang Timur, Kelurahan Tambakrejo Kecamatan Gayamsari, dan Kelurahan Trimulyo Kecamatan Genuk, yang warganya dipaksa biasa menghadapi bencana hidrologi.
Kondisi itu, di antaranya, dialami Alex Saputro (44), warga Tambakrejo. Sejak 2005, ia telah meninggikan rumah sekitar 2 meter. Meskipun demikian, berganti tahun, banjir tetap merendam rumahnya. Peninggian rumah juga dilakukan karena harus berkejaran dengan jalan di depan rumahnya yang juga terus ditinggikan. Peninggian jalan selama ini, termasuk oleh pemerintah, dinilai langkah termudah mengatasi genangan banjir.
Di sejumlah lokasi lain, antara lain, di Trimulyo Kecamatan Genuk, permukaan tanah yang rendah membuat banjir lama surut. Rumah warga pun masih terendam banjir meski sebagian besar wilayah kota yang sebelumnya terendam sudah surut.
Kondisi tersebut kemudian menjadi perhatian konsorsium Ground Up yang terdiri atas sejumlah peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri. Penelitian terkait faktor-faktor penyebab banjir di Semarang pada awal Februari pun dilakukan di enam lokasi mengacu sejumlah kriteria, yakni zona air tanah, akses terhadap jaringan PDAM, risiko banjir, dan amblesan tanah.
Dari penelitian itu, temuan yang dinilai relevan dengan penyebab banjir salah satunya adalah ketergantungan pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan air di Semarang yang mencapai 79,7 persen. Dari angka tersebut, 48,6 persen menggunakan air tanah dalam dan 31,1 persen menggunakan air tanah dangkal.
Temuan yang dinilai relevan dengan penyebab banjir salah satunya adalah ketergantungan pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan air di Semarang yang mencapai 79,7 persen.
”Ketergantungan pada air tanah relevan dengan pengelolaan banjir karena pengambilan air tanah yang berlebihan dari aquifer tertekan dapat menyebabkan amblesan tanah. Itu berdampak pada peningkatan risiko banjir,” kata peneliti dari Ground Up yang juga mahasiswa Program Doktor pada IHE Delft Institute for Water Education, Belanda, Bosman Batubara, saat memberi keterangan melalui virtual, Selasa (16/2/2021) sore.
Temuan lain adalah perubahan tata guna lahan yang terjadi di Panggung Lor, Panggung Kidul, dan Terboyo, yang berperan meningkatkan risiko banjir. Semula, kawasan itu ialah tempat resapan air, tetapi sekarang telah berubah menjadi daerah perumahan dan industri.
Penelitian juga menunjukkan bahwa respons dominan terhadap banjir selama ini adalah melalui infrastruktur besar dan teknologi mesin-mesin hidrolik. Terkait hal ini, Bosman mengungkapkan, dengan faktor kondisi jenis tanah aluvial muda, kenaikan muka air laut, dan konsentrasi penduduk serta aktivitas ekonomi, pendekatan infrastruktur besar tak bisa lagi jadi senjata utama.
Beberapa hal yang perlu dikembangkan untuk mengurangi risiko banjir adalah pengelolaan dari sisi permintaan melalui efesiensi penggunaan air, pemanenan air hujan pada beragam skala, serta pengembangan sistem peringatan dini.
Selain itu, perlu pula diupayakan demokrasi infrastruktur, yaitu mencari alternatif-alternatif dengan prinsip meninggalkan megainfrastruktur tersentral.
Urai masalah
Menurut Bosman, pengendalian banjir dengan infrastruktur teknik hanya satu cara. Namun, ada kompertemen lain yang perlu dibuka selain teknik, seperti ekologi, sosial, dan lainnya.
”Perlu diurai dulu masalahnya secara sistematis. Banjir itu gejala dari satu sistem ekologi. Perlu logika runtut agar (penanganan) menyentuh akar permasalahan,” katanya.
Bencana banjir, termasuk di Semarang, tidak selalu terkait dengan curah hujan. Namun, juga soal pilihan-pilihan yang diambil para pengambil kebijakan serta bagaimana arah kebijakannya. (Michelle Kooy)
Direktur Amrta Institute for Water Literacy, yang juga mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang, Nila Ardhianie menambahkan, rumah pompa dan sistem polder di beberapa lokasi memang dibutuhkan. Namun, selanjutnya, diharapkan respons teknis seperti itu tak dijadikan tumpuan, sebab ada beragam aspek lain mesti diperhatikan.
Baca juga : Kapasitas Pompa Tak Optimal, Banjir di Semarang Lama Surut
Pada telekonferensi yang sama, Ketua Departemen Sistem Air Terpadu dan Tata Kelola Air pada IHE Delft Institute for Water Education, Michelle Kooy, menuturkan, bencana banjir, termasuk di Semarang, tidak selalu terkait dengan curah hujan. Namun, juga soal pilihan-pilihan yang diambil para pengambil kebijakan, serta bagaimana arah kebijakannya. Dalam hal ini, perencanaan kota menjadi penting.
Sebelumnya, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi telah melakukan evaluasi terkait bencana banjir terakhir di wilayah jantung pantai utara Jawa Tengah itu. Hal-hal yang coba diperkuat, di antaranya, kapasitas pompa seiring perubahan iklim yang menyebabkan hujan ekstrem.
”Selain itu, drainase harus kami perbaiki karena saluran-saluran sudah tak mampu menampung. Maka, ini menjadi program prioritas ke depan. Di samping itu, kami juga berharap pada normalisasi kali dan tanggul laut atau tol (Semarang-Demak) yang sedang dikerjakan Kementerian PUPR,” kata Hendrar.
Sementara Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Jaringan Sumber Air Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana, Yulius, mengungkapkan, pihaknya telah mengoptimalkan dua rumah pompa untuk mengendalikan banjir di sekitar Kaligawe dan Genuk. Keduanya adalah Rumah Pompa Kali Tenggang dengan kapasitas 6 x 2 meter kubik per detik dan Rumah Pompa Kali Sringin berkapasitas 5 x 2 meter kubik per detik.
BBWS Pemali Juana bahkan telah mengirim tiga pompa portabel ke sekitar Terminal Terboyo. Namun, lanjut Yulius, pompa dengan kekuatan berapa pun akan sulit menyedot banjir dengan cepat jika hujan deras dengan intensitas ekstrem melanda. Belum lagi jika bersamaan dengan pasang air laut.
Yulius juga mencermati, banjir di pantura juga dipengaruhi muka tanah yang rendah. Pasalnya, laju penurunan muka tanah atau land subsidence di Semarang hingga 10 cm per tahun.
Adapun penanganan lebih lanjut, lanjut Yulius, baru dapat dilakukan pascabanjir dengan pengerjaan dua paket penanganan rob Semarang-Demak, yang direncanakan akan dikontrak pada Maret 2021 dan rampung Desember 2021.
Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Andiani mengatakan, pada 2020, pihaknya melakukan kajian menyeluruh terkait penurunan muka tanah di pantura Jateng, termasuk mencari faktor utama munculnya fenomena itu. (Kompas.id, 1/2/2020)
”Dari kajian, Semarang bagian utara turun hingga 10 sentimeter (cm) per tahun, Pekalongan 6 cm per tahun, dan Kendal 0,5 cm per tahun,” kata Andiani kala itu.
Dari hasil kajian tersebut, Badan Geologi merekomendasikan agar ada kajian lebih lanjut pada daerah yang tergenang rob secara permanen. Menurut Andiani, pengeringan bisa dilakukan, tetapi kemudian perlu terus dipantau bagaimana penurunan muka tanah selanjutnya.
Baca juga : Pekerjaan Rumah Menghalau ”Semarang Kaline Banjir”
Terkait pembangunan di wilayah itu, tingkat penurunan mesti diperhatikan. ”Harus dipertimbangkan berapa lama investasinya dan berapa penurunannya. Di kawasan industri, kami berharap agar diutamakan air permukaan sebelum air tanah. Itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 (tentang Sumber Daya Air),” katanya.
Apabila air tanah memang harus digunakan, lanjut Andiani, harus ada pengendalian. Kawasan industri diharapkan untuk mengelolanya. Artinya, bukan pihak penyewa yang mengambil air tanah sendiri-sendiri. Pengambilan mesti dilakukan pengelola untuk kemudian didistribusikan kepada para penyewa.
Pengendalian kebencanaan secara menyeluruh juga menjadi perhatian Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Pada Selasa (16/2/2021), Ganjar menggelar Rapat Koordinasi Kebencanaan, di lingkungan kantor Pemprov Jateng yang diikuti secara daring, antara lain, oleh Perum Perhutani, BBWS Pemali Juana, BBPJN VII Jateng-DIY, BPDas Bengawan Solo hingga BPDas Jratun.
”Ada banyak bencana yang kemarin terjadi. Saya minta, sekarang semua kekuatan dikonsolidasikan karena tidak hanya soal bencananya saja. Namun, perlu dicek hulunya seperti apa. Dengan demikian, seluruh pemangku kepentingan ini kami minta mengendalikan potensi bencana apakah itu longsor atau banjir sedini mungkin,” kata Ganjar.
Tol Semarang-Demak, yang sebagian ruasnya berfungsi sebagai tanggul laut, saat ini tengah dibangun. Tanggul laut itu kerap kali disebut sebagai solusi pamungkas permasalahan banjir dan rob Semarang yang berlangsung sejak puluhan tahun silam. Namun, penurunan muka tanah, perubahan iklim, dan DAS kritis juga perlu dikendalikan. Jangan sampai, solusi yang diambil hanya menyentuh permukaan, tak sampai ke akar persoalan.
Baca juga : Penurunan Muka Tanah Mesti Diperhatikan dalam Pembangunan Pesisir