Kota Pekalongan Masih Banjir, Protokol Kesehatan di Pengungsian Diminta Kian Ketat
Setelah sebelas hari merendam, banjir di Kota Pekalongan, Jateng belum juga surut dan memaksa ribuan orang bertahan di pengungsian. Protokol kesehatan di pengungsian akan diperketat untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
PEKALONGAN, KOMPAS —Sebagian wilayah di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, tetap direndam banjir dalam 11 hari terakhir. Akibatnya, lebih kurang 1.700 orang masih bertahan di pengungsian. Protokol kesehatan di pengungsian akan diterapkan semakin ketat guna meminimalkan potensi penyebaran Covid-19.
Banjir mulai terjadi Sabtu (6/2/2021), setelah hujan deras turun selama beberapa jam di Kota Pekalongan. Saat itu, ketinggian air yang merendam rumah warga lebih dari 1 meter. Banjir itu menyebabkan sedikitnya 2.800 orang mengungsi.
Pada Minggu (7/2) malam, Pemerintah Kota Pekalongan menetapkan status tanggap darurat bencana banjir untuk mengoptimalkan penanganan bencana. Status itu diberlakukan hingga Sabtu (20/2). Namun, hingga Rabu (17/2) atau 11 hari sejak ditetapkannya status tanggap darurat, banjir belum juga surut.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Pekalongan Saminta mengakui tidak mudah menerapkan protokol kesehatan di pengungsian. Namun, ia meyakinkan sosialisasi terkait hal itu terus dilakukan.
"Kami tidak henti-hentinya menyosialisasikan pentingnya penerapan protokol kesehatan di pengungsian. Tapi, yang namanya orang banyak, tidak semuanya menurut. Ada 1-2 nekat tidak mau pakai masker," kata Saminta di Pekalongan.
Menurut Saminta, pihaknya juga sering membagikan masker kepada pengungsi. Tempat cuci tangan atau gel pembersih tangan juga sudah disiapkan untuk memudahkan pengungsi menjaga kebersihan tangan.
Dalam kunjungannya Rabu siang, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mendatangi lokasi pengungsian di Aula Kecamatan Pekalongan Barat. Dia melihat suasana di sana terlampau padat.
Ganjar kemudian meminta pengungsi disebar ke sejumlah lokasi. Tempat pengungsian juga diharapkan dilengkapi dengan sekat-sekat. Hal itu dlakukan untuk meminimalkan kerumunan dan mencegah penularan Covid-19.
"Mudah-mudahan mulai besok sudah bisa dibuat sekat-sekat di lokasi pengungsian. Kalau ruangannya kurang, nanti dicarikan di tempat lain yang lebih longgar, seperti bangunan sekolah," ujar Ganjar.
Ganjar juga akan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kota Pekalongan melakukan tes pada orang-orang yang beraktivitas di pengungsian. Menurut Ganjar, Pemprov Jateng sedang memesan GeNose, alat pendeteksi Covid-19 dari Universitas Gadjah Mada. Sebagian alat tersebut akan dikirim ke Kota Pekalongan untuk mendeteksi potensi penyebaran Covid-19 di pengungsian.
"Orang-orang yang masuk ke sini (pengungsian) harus dites semua. Begitu sudah dipastikan negatif, pintu pengungsian dikunci. Hanya yang dipastikan sehat dan negatif yang boleh masuk," imbuhnya.
Anik (26), penyintas banjir di Aula Kecamatan Pekalongan Barat khawatir tertular Covid-19 di pengungsian. Dia mengatakan, belum pernah ada pemeriksaan Covid-19 selama berada di pengungsian. Anik berharap, ia dan semua pengungsi segera dites.
"Saya sudah lebih dari 10 hari mengungsi tapi belum pernah ada rapid test atau swab. Sebenarnya saya takut juga tertular (Covid-19), apalagi saya bawa anak kecil," kata Anik.
Hingga Rabu, jumlah kasus positif Covid-19 di Kota Pekalongan sebanyak 1.743 orang. Dari jumlah tersebut, ada 34 kasus aktif dan 109 orang meninggal dunia. Kondisi itu membuat Kota Pekalongan dikategorikan sebagai daerah dengan risiko penularan sedang atau zona oranye.